Makalah tentang DOKTRIN KEPERCAYAAN DALAM ISLAM ALLAH, WAHYU, RASUL, MANUSIA, ALAM SEMESTA DAN ESKATOLOGI

         Kepada seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini terdapat kesalahan,  juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari. 
         Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
         
           Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.

Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pemahaman terhadap Islam sebagai suatu objek kajian ilmiah tentu saja merupakan suatu langkah yang niscaya, dalam kenyataannya, bahkan umat Islam sudah merealisasikannya dalam bentuk pencarian ilmu-ilmu keislaman, baik melalui pesantren, sekolah maupun studi perguruan tinggi.
Di Indonesia, kegiatan-kegiatan studi keislaman memang dapat kita jumpai dengan  mudah. Namun, kini muncul tuntutan yang serius untuk meningkatkan kualitasnya. Pemahaman yang berkualitas terhadap Islam dipandang sangat berpengaruh terhadap keberagaman umat Islam, khususnya.
Pengembangan mata kuliah metodologi Studi Islam bisa jadi merupakan respons terhadap tuntutan tersebut. Faktor metodologi dalam kajian dipersepsi sebagai kata kunci yang dapat meningkatkan kualitas pengkajian. Anggapan ini merupakan suatu hal yang logis. Karena, selama ini studi keislaman lebih banyak bersifat substansif.
Banyak sekali pembahasan dalam metodologi studi Islam, pada kesempatan ini kami akan beberapa hal yakni tentang “Doktrin Kepercayaan dalam Islam: Allah, Wahyu, Rasul, Manusia, Alam Semesta, dan Eskatologi”

B.     Rumusan Masalah
           1.      Bagaimana konsep Islam tentang iman kepada Allah ?
           2.      Bagaimana konsep Islam tentang wahyu dan kenabian ?
           3.      Bagaimana konsep Islam tentang manusia ?
           4.      Bagaimana konsep Islam tentang Alam semesta ?
           5.      Bagaimana konsep Islam tentang eskatologi ?

C.    Tujuan Penulisan
           1.      Untuk Menjelaskan Islam tentang iman kepada Allah.
           2.      Untuk Menjelaskan Islam tentang wahyu dan kenabian .
           3.      Untuk Menjelaskan Islam tentang manusia.
           4.      Untuk Menjelaskan Islam tentang Alam semesta.
           5.      Untuk Menjelaskan Islam tentang eskatologi.

D.    Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library research dan internet research. Yang mana penulis menggunakan buku-buku dari perpustakaan dan internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang dikupas dalam makalah ini dan penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.



 BAB II
PEMBAHASAN
DOKTRIN KEPERCAYAAN DALAM ISLAM
      A.    Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah doktrin utama dalam Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia adalah dimensi ta’abudi yang terkait dengan petunjuk dan pertolongan Allah atas hamba-Nya. Tanpa hidayah dari Allah, akan sulit bagi siapa pun untuk dapat mempercayai-Nya.
Terminologi iman tidak hanya sekadar kepercayaan dan pengakuan akan adanya Allah, tetapi mencakup dimensi pengucapan dan perbuatan (tashdiq bi al-qalb wa qaul bi al-lisan wa afal bi al-jawa-. Keyakinan atau pengakuan merupakan gerbang pertama keimanan. Keyakinan itu adanya di hati. Ia merupakan bentuk pengakuan yang sungguh-sungguh tentang kebenaran adanya Allah Yang Maha Esa. Keyakinan ini, selanjutnya diikuti dengan suatu pernyataan lisan dalam bentuk melafalkan dua kalimah syahadat: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Dua unsur iman, keyakinan dan pernyataan lisan, disempurnakan oleh unsur yang ketiga, yaitu perbuatan ('amal). Unsur ketiga menunjukkan bahwa iman itu memerlukan perbuatan atau kerja yang nyata. Dengan demikian, orang yang mengaku beriman kepada Allah tidak cukup dengan adanya keyakinan akan adanya Allah yang selanjutnya diucapkan dengan lisan, tetapi harus sampai pada bentuk-bentuk pengamalan segala ajaran-Nya.
Dalam doktrin keimanan ini, kita menemukan beberapa doktrin lain yang dinyatakan dalam Al-Qur'an: Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan segala makhluk mengabdi dan meminta pertolongan. Oleh karena itu, doktrin Islam menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara, Penguasa, dan Pemberi rezeki kepada hamba-Nya.
Konsekuensi logis dari iman kepada Allah adalah keharusan mengimani ajaran Allah dan segala yang datang dan bersumber dari Allah, seperti mengimani malaikat Allah, kitab-kitab Allah, hal-hal yang gaib seperti hari Kiamat, alam kubur, surga dan neraka.
Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-berar ada. Sebagai contoh, berikut ini dike-mukanan ayat-ayat yang mendukung pernyataan tersebut. [1]
ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ ٦٢ لَّهُۥ مَقَالِيدُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ٦٣
Artinya:  “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Q.S. al-Zumar [39]: 62-63)
هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِۖ هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ ٢٢

Artinya: “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hayr [59]: 22)

B.     Konsep Islam tentang Wahyu dan Kenabian
1.      Pengertian
Secara etimologis Nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan, atau dari kata na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. dengan memberinya berita (wahyu). Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah Swt. terhadap salah seorang dari hamba-Nya dengan memberinya wahyu.
Sedang arti terminologis Nabi adalah manusia biasa yang mendapatkan keistimewaan menerima wahyu dari Allah Swt. Di antara para Nabi ada yang diamanatkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, kepada umat manusia. Nabi yang demikian itu disebut Rasul.
Dalam ajaran Islam, beriman kepada para Rasul dan para Nabi adalah salah satu dari enam rukun iman. Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 177 mengatakan[2]:
۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
2.      Tugas Kenabian dan Hubungannya terhadap Wahyu
Di antara para Nabi ada yang diamanatkan untuk menyampaikan wahyu atau risalah yang dibawanya. Dengan kata lain menyampaikan wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt merupakan salah satu pokok dari tugas Rasul. Berikut ini adalah rinciannya[3]:
a.       Sebagai penyampai syariat rabbani kepada manusia (QS Al-Maidah [5]: 67 dan QS Al-Ahzab [33]: 38).
b.      Menjelaskan makna nas yang diturunkan kepada umat (QS Al-Nahl [16]: 44).
c.       Menuntun umat kepada kebaikan dan mewanti-wanti mereka agar menghindari keburukan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya sebagai berikut: “Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku kecuali diharuskan untuk menuntun dan menunjukkan kebaikan pada umatnya, apa yang diajarkan kepada mereka dan memperingatkan akan kejahatan yang diajarkan kepada mereka’’.

     C.    Konsep Islam tentang Manusia
1.      Pengertian manusia dalam al-Qur’an
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur'an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imrân [3]: 47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalam Al-Qur’an yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzâb [33]: 72), kedua al-insan dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al Ma’arij [70]: 19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS Al- Hijr [15]: 28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 kali dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial dengan karakteristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman padaha sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]: 8).
Sebuah pertanyaan yang harus kita tanamkan betul-betul ke dalam lubuk hati kita masing-masing ‘‘untuk apa diciptaka' manusia?'. Semua sudah tahu jawabannya, bahwa manusia ini datang dari Allah yang menciptakan dan yang mengatur serta mengurus kehidupan ini. Dialah yang mengetahui segala rahasia apa yang dibalik penciptaan-Nya itu. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’anul Karim:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Az-Zariyat [51]: 56)
Kata “Abdi” berasal dari kata bahasa Arab yang artinya memperhambakan diri, ibadah (mengabdi/memperhambakan diri). Manusia diciptakan oleh Allah agar ia beribadah kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini tidak sesempit pengertian ibadah yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji tetapi seluas pengertian yang dikandung oleh kata memperhambakan diri menjadikan dirinya sebagai hamba (budak) Allah. Berbuat sesuai dengan kehendak dan kesukaan (rida) Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya.[4]

D.    Konsep Islam tentang Alam Semesta
Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan Tuhan. Pertama, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada (creatio ex-nihilo). Ia terjadi dengan sendirinya. Kedua, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga, paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang menciptakan.
Teori pertama tampaknya sudah sangat tidak relevan. Ia dapat ditolak dengan teori sebab-akibat (causality theory). Menurut teori kausalitas, adanya sesuatu itu disebabkan adanya sesuatu yang lain. Dengan demikian, menurut teori ini, alam semesta tidak terjadi dengan sendirinya tetapi melalui proses penciptaan, yang karenanya tentu ada yang menciptakan.
Al-Farabi, dengan teori pancaran (emanasi)-nya, mengatakan bahwa alam semesta ini adalah hasil pancaran dari wujud kesebelas atau akal kesepuluh. Jika diurut secara vertikal, maka akal kesepuluh itu secara hierarkis adalah kelanjutan dari akal-akal sebelumnya, yang berawal dari akal pertama. Akal pertama (first intelligence) adalah sebab pertama (prima causa). Ia merupakan wujud pertama (al-wujud al-awwal) yang melahirkan wujud-wujud berikutnya. Wujud pertama itu adalah Tuhan.
Selain al-Farabi, Ibnu Sina membangun sebuah teori yang disebut teori wujud (filsafat wujud). Teori wujud dibangun dalam upaya membuktikan eksistensi Tuhan. Menurut teori ini, sifat wujud lebih penting dari sifat-sifat lainnya, meskipun sifat esensi (mahiyah) sendiri. Esensi, menurutnya, terdapat pada akal sedangkan wujud berada di luar akal. Wujud menjadikan esensi vang berada di dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Oleh karena itu, masih menurut teori ini, esensi itu ada yang mustahil berwujud (mumtani' al-wujud), ada yang mungkin berwujud (mumkin al-wujud) atau tidak mungkin berwujud {gair mumkin al-wujud), dan ada pula yang mesti berwujud (wajib al-wujud). Dalam wajib al-wujud, esensi tidak mungkin berpisah dari wujud. Wajib al-wujud adalah Tuhan yang terjadi dengan sendirinya. Oleh karena itu, Tuhan itu mesti adanya. Adapun yang mustahil wujud, mungkin wujud, dan tidak mungkin wujud adalah setiap selain Tuhan.
Terhadap teori kedua yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal dari sel, melihatnya sebagai teori yang lebih sesat daripada teori pertama. Menurutnya, sel tidak mungkin mampu menyusun dan memperindah sesuatu seperti yang terjadi pada struktur alam semesta. Umpamanya, aspek gender dan tata surya.
Adapun teori ketiga yang mengatakan bahwa alam semesta ada yang menciptakan adalah teori yang bersesuaian dengan pemikiran akal yang sehat. Oleh karena itu, ia, baik secara 'aql maupan naql dapat diterima. Masalah yang kemudian muncul dari teori ketiga ialah: siapakah yang menciptakan alam semesta ini? Menurut doktrin Islam, yang hal ini pun menjadi akidah dan keyakinan umat Islam, pencipta alam semesta ini ialah Tuhan. Jawaban itu membawa kepada pengertian bahwa Tuhan itu ada.
Ada beberapa argumen yang mendukung keabsahan teori ketiga, di antaranya argumen kosmologis seperti yang sudah dibicarakan terdahulu, argumen ontologis, argumen teleologis, argumen moral, dan argumen epistimologis.
Ontologis mulai dikembangkan oleh Plato (428-348 SM). Dalam kajian ontologis, segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai idea. Idea adalah konsep universal dari setiap sesuatu. Manusia, umpamanya, mempunyai konsep universal atau idea.
Idea itu merupakan hakikat sesuatu. Ia merupakan dasar adanya sesuatu. Ia berada di alam tersendiri, yaitu alam idea yang bersifat kekal. Idea-idea itu tidak berdiri sendiri, tetapi bersatu pada idea tertinggi yang disebut Idea Kebaikan atau The Absolute Good, yaitu Yang Maha Mutlak Baik. Ia adalah sumber, tujuan, dan sebab dari segala yang ada. Dia itulah Tuhan.
Alam semesta ini adalah teleologis, artinya diatur menurut tujuan-tujuan tertentu. Alam dalam pandangan teleologis tersusun dari bagian-bagian yang satu sama lain erat sekali hubungannya. Bagian-bagian yang saling berhubungan itu bergerak dan berkerja sama atau berevolusi menuju tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu ialah kebaikan alam secara totalitas. Penggerak alam sehingga rerevolusi adalah zat yang maha sempurna, zat yang lebih tinggi dari alam itu sendiri. Zat inilah yang disebut Tuhan.
Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-berar ada. Sebagai contoh, berikut ini dike-mukanan ayat-ayat yang mendukung pernyataan tersebut[5].
ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ ٦٢ لَّهُۥ مَقَالِيدُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ٦٣
Artinya:   “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Q.S. al-Zumar [39]: 62-63)
هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِۖ هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ ٢٢

Artinya:      “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hayr [59]: 22)

E.     Konsep Islam tentang Eskatologi
1.      Pengertiaan Eksatologi
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “eskatologi” adalah ilmu tentang akhir riwayat/ kehidupan manusia; ilmu kematian manusia.[6] Dalam dunia islam kita kenal berbagai macam riwayat (al-Qur’an & hadits )yang membicarakan tentang kehidupan setelah mati.
Adapun yang menjadi landasan dalam memotret dan mengklasifikasikan persoalan esskatologi ini adalah berdasarkan konsep eskatologi islam secara umum. Eskatologi islam secara sederhana diklasifikasikan menjadi dua bagian: akhir dunia dan akhirat. Dalam kontek akhir dunia, pembahasan eskatologi islam tertuju pada konsep mengenai kiamat. Namun sebelum kiamat ini, dikenal pula sosok eskatologi (eschatological figures) islam, yaitu : Ya’juj dan Ma’juj, Imam mahdi, Dajjal, dan Isa. Sedangkan dalam kontek akhirat, pembahasannya tertuju pada konsep hari kebangkitan, konsep pengadilan, serta konsep surga dan neraka.
Dalam pembahasan akhirat ini, sebagian besar ahli tafsir juga menyebutkan detail mengenai kepercayaan kepada Alam barzakh (alam antara) antara kematian, kebangkitan, dan pengadilan akhir. Terkait dengan konsep kematian, terdapat indikasi didalam al-Qur’an bahwa pengalaman dan wujud eksistensial manusia terdiri dari dua kematian dan dua kehidupan. Kematian pertama iaah masa sebelum manusia dilahirkan, sedang kematian yang kedua adalah kematian manusia setelah manusia dilahirkan. Adapun kehidupan pertama adalah kehidupan di dunia, sedang kehidupan kedua adalah kehidupan di akhirat. Kematian pertama, karena terkesan mitologis,dan bukan merupaknan rangkaian kehidupan, maka tidak termasuk dalam bidaang garapan eskatologi. Begitulah agaknya gambaran umum tentang eskatologi islam.[7]
Hal ini sebagimana yang ditulis antara lain oleh William J. Hamblin dan Daniel C. Peterson, Toshihiko Izutsu, H.P. Owen, dan Cyril Glasse. Dari semua sumber acuan teoritis ini, penulis mengklasi-fikasikannya menjadi :
a.       Kematian;
b.      Alam barzakh;
c.       Hari kiamat; dan
d.      Surga dan Neraka
2.      Konsep – konsep eskatoogi Islami
Pembahasan mengenai kematian tanpaknya tidak bisa semata-mata didekati oleh sebuah konsep/ranah rasional-ilmiah. Ada sebuah ungkapan menarik yang menyatakan “Dan akhirnya ada suatu teka-teki penuh dengan rasa kesakitan,yaitu teka-teki mati. Teka-teki itu tidak ada obatnya pada waktu ini, dan kiranya tidak akan obatnya di kelak kemudian hari.” (Sigmund Freud) bila hanya mengandalkan rasionalitas atau indrawi, akan “gagal” mengkonsepsikan kematian.
Islam, dalam hal ini Al-Qur’an, memiliki seperangkat argumen untu merespon pandangan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya. Namun, respon Al-Qur’an ini tidaklah diperuntukkan bagi keseluruhan masyarakat arab jahiliyah. Sebab, melalui syair-syair yang masih terpelihara sampai kini,ada indikasi kuat yang menunjukkkan bahwa sebagian diantara mereka telah beriman kepada Allah dan menerima doktrin kebangkitan kembali. Jadi, yang menjadi sasaran Al-Qur’an adalah mereka yang hanya benar-benar tidak mengakui doktrin akhir, atau yang dalam istilah Toshihiko izutsu yang menganut doktrin nihilisme. Dengan demikian, sejak masa-masa awal, Al-Qur’an sebetulnya telah mengajukan berbagai argument untuk membungkam para pengingkar doktrin akhir. Fazlur Rahman mengeksplorasi, paling tidak, tiga argument dimaksud :
Pertama, bahwa Allah telah menciptakan bumi dan segala bentuk kehidupan yang bjumlahnya tidak terhitung atau tidak diketahui, sehingga hal ini direnungkan, berarti Allah dapat pula menciptakan manusia yang baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak pula diketahui.
Kedua, Sebagaimana menciptakan percikan api dari kayu – kayuan hijau ( yang basah) Allah dapat pula membuat mati dan hidup secara bergantian,yang kelihatannya mustahil karena dihasilkan dari sesuatu yang berlawanan. Hal ini, terbukti bahwa Dia menciptakan siang dan malam,silih berganti,seperti yang diperbuat-Nya terkait dengan kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa. Jika kedua fenomena tersebut adalah “alami” hingga tak perlu dipersoalkan, maka fenomena kebangkitan kembali dan penciptaan bentuk-bentuk kehidupan yang baru, harus pula dipandang sebagai kenyataan yang ‘Alami’.
Ketiga, contoh yang khas yang diberika Al-Qur’an tentang fenomena tersebut, bumi yang menjadi subur di musim semi setelah ia ‘mati’ di musim salju.
Rahman dalam hal ini telah melakukan eksplorasi yang bersifat deskriptif-analistis. Akan tetapi ini sebenarnya belum merangkum semua argument yang diajukan Al-Qur’an. Dinilah tampaaknya Al-Ghozali melengkapinya. Al –Ghozali mempunyai tiga argument yang kiranya luput dari pantauan Rahman, yaitu :
Pertama, bahwa sanya Al-qur’an menantang para pengingkar untuk memikirkan sesuatu yang kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Tantangan semacam ini sudah sering disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu terbukti akan kebenarannya. Kedua, kekuasaan Allah tidak dapat terelakkan yaitu dengan mampu membuat Ashhab al-kahf hidup selam ratusan tahun. Hal ini memberi kesan bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Ketiga, mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan memulai sesuatu untuk yang kedua kalinya.
Dengan demikian, ada proses saling melengkapi antara kedua tokoh dalam upaya-upaya menggali argument-argument Al-Qur’an untuk menjelaskan eksistensi kehidupan akhirat. Jadi, penjelasan ini menyiratkan suatu konsep “sunnatullah“ bahwa kematian dan kehidupan merupakan proses yang terjadi secara alami menurut kehendak- Nya. Jika demikian halnya, maka tentu kematian dan kehidupan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. [8]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Iman kepada Allah adalah doktrin utama dalam Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia adalah dimensi ta’abudi yang terkait dengan petunjuk dan pertolongan Allah atas hamba-Nya. Tanpa hidayah dari Allah, akan sulit bagi siapa pun untuk dapat mempercayai-Nya.
Secara etimologis Nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan, atau dari kata na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. dengan memberinya berita (wahyu). Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah Swt. terhadap salah seorang dari hamba-Nya dengan memberinya wahyu.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan Tuhan. Pertama, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada (creatio ex-nihilo). Ia terjadi dengan sendirinya. Kedua, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga, paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang menciptakan.
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “eskatologi” adalah ilmu tentang akhir riwayat/ kehidupan manusia; ilmu kematian manusia.

B.     Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Rremaja Rosdakarya. 2009.

Budiono. Kamus Populer Internasional Surabaya: Alumni. 2005.

Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. (Jakarta: PT Grafindo Persada. 2011.


Sibawai. Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Islamika. 2004.



[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Rremaja Rosdakarya, 2009), h.113-114
[2] Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2011), h.157
[3] Ibid, . . h. 161
[4] Ibid, . . . h.142-143
[5] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Rremaja Rosdakarya, 2009), h.111-113
[6] Budiono, Kamus Populer Internasional ( Surabaya: Alumni, 2005) hal.162
[7] Sibawai, Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Islamika, 2004 ) h.21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah tentang: BAIK DAN BURUK

LANDASAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN

Makalah tentang Rabi'ah al-Adawiyah