Makalah tentang DOKTRIN KEPERCAYAAN DALAM ISLAM ALLAH, WAHYU, RASUL, MANUSIA, ALAM SEMESTA DAN ESKATOLOGI
Kepada
seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini
terdapat kesalahan, juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap
teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi
sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari.
Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.
Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pemahaman
terhadap Islam sebagai suatu objek kajian ilmiah tentu saja merupakan suatu
langkah yang niscaya, dalam kenyataannya, bahkan umat Islam sudah
merealisasikannya dalam bentuk pencarian ilmu-ilmu keislaman, baik melalui
pesantren, sekolah maupun studi perguruan tinggi.
Di
Indonesia, kegiatan-kegiatan studi keislaman memang dapat kita jumpai
dengan mudah. Namun, kini muncul
tuntutan yang serius untuk meningkatkan kualitasnya. Pemahaman yang berkualitas
terhadap Islam dipandang sangat berpengaruh terhadap keberagaman umat Islam,
khususnya.
Pengembangan
mata kuliah metodologi Studi Islam bisa jadi merupakan respons terhadap
tuntutan tersebut. Faktor metodologi dalam kajian dipersepsi sebagai kata kunci
yang dapat meningkatkan kualitas pengkajian. Anggapan ini merupakan suatu hal
yang logis. Karena, selama ini studi keislaman lebih banyak bersifat
substansif.
Banyak
sekali pembahasan dalam metodologi studi Islam, pada kesempatan ini kami akan
beberapa hal yakni tentang “Doktrin Kepercayaan dalam Islam: Allah, Wahyu,
Rasul, Manusia, Alam Semesta, dan Eskatologi”
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep
Islam tentang iman kepada Allah ?
2.
Bagaimana konsep
Islam tentang wahyu dan kenabian ?
3.
Bagaimana konsep
Islam tentang manusia ?
4.
Bagaimana konsep
Islam tentang Alam semesta ?
5.
Bagaimana konsep
Islam tentang eskatologi ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
Menjelaskan Islam tentang iman kepada Allah.
2.
Untuk
Menjelaskan Islam tentang wahyu dan kenabian .
3.
Untuk
Menjelaskan Islam tentang manusia.
4.
Untuk Menjelaskan
Islam tentang Alam semesta.
5.
Untuk
Menjelaskan Islam tentang eskatologi.
D. Metode Penulisan
Adapun
metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library
research dan internet research. Yang mana penulis menggunakan
buku-buku dari perpustakaan dan internet sebagai bahan referensi dimana penulis
mencari literatur yang sesuai dengan materi yang dikupas dalam makalah ini dan
penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
DOKTRIN
KEPERCAYAAN DALAM ISLAM
A. Iman kepada Allah
Iman
kepada Allah adalah doktrin utama dalam Islam yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Ia adalah dimensi ta’abudi yang terkait dengan petunjuk dan pertolongan
Allah atas hamba-Nya. Tanpa hidayah dari Allah, akan sulit bagi siapa pun untuk
dapat mempercayai-Nya.
Terminologi
iman tidak hanya sekadar kepercayaan dan pengakuan akan adanya Allah, tetapi
mencakup dimensi pengucapan dan perbuatan (tashdiq bi al-qalb wa qaul bi
al-lisan wa afal bi al-jawa-. Keyakinan atau pengakuan merupakan gerbang pertama
keimanan. Keyakinan itu adanya di hati. Ia merupakan bentuk pengakuan yang
sungguh-sungguh tentang kebenaran adanya Allah Yang Maha Esa. Keyakinan ini,
selanjutnya diikuti dengan suatu pernyataan lisan dalam bentuk melafalkan dua
kalimah syahadat: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Dua
unsur iman, keyakinan dan pernyataan lisan, disempurnakan oleh unsur yang
ketiga, yaitu perbuatan ('amal). Unsur ketiga menunjukkan bahwa iman itu
memerlukan perbuatan atau kerja yang nyata. Dengan demikian, orang yang mengaku
beriman kepada Allah tidak cukup dengan adanya keyakinan akan adanya Allah yang
selanjutnya diucapkan dengan lisan, tetapi harus sampai pada bentuk-bentuk
pengamalan segala ajaran-Nya.
Dalam
doktrin keimanan ini, kita menemukan beberapa doktrin lain yang dinyatakan
dalam Al-Qur'an: Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan segala
makhluk mengabdi dan meminta pertolongan. Oleh karena itu, doktrin Islam
menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara, Penguasa, dan Pemberi
rezeki kepada hamba-Nya.
Konsekuensi
logis dari iman kepada Allah adalah keharusan mengimani ajaran Allah dan segala
yang datang dan bersumber dari Allah, seperti mengimani malaikat Allah,
kitab-kitab Allah, hal-hal yang gaib seperti hari Kiamat, alam kubur, surga dan
neraka.
Dalam
Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-berar
ada. Sebagai contoh, berikut ini dike-mukanan ayat-ayat yang mendukung
pernyataan tersebut. [1]
ٱللَّهُ
خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ ٦٢ لَّهُۥ مَقَالِيدُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
٦٣
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia
memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan bumi.
Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang
yang merugi”. (Q.S. al-Zumar [39]: 62-63)
هُوَ
ٱللَّهُ ٱلَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِۖ
هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ ٢٢
Artinya: “Dia-lah
Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang Maha Mengetahui
yang gaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. al-Hayr [59]: 22)
B. Konsep Islam tentang Wahyu dan Kenabian
1. Pengertian
Secara
etimologis Nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan, atau dari kata
na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang yang
ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. dengan memberinya berita (wahyu).
Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah Swt. terhadap
salah seorang dari hamba-Nya dengan memberinya wahyu.
Sedang arti
terminologis Nabi adalah manusia biasa yang mendapatkan keistimewaan menerima
wahyu dari Allah Swt. Di antara para Nabi ada yang diamanatkan untuk
menyampaikan wahyu yang diterimanya, kepada umat manusia. Nabi yang demikian
itu disebut Rasul.
Dalam
ajaran Islam, beriman kepada para Rasul dan para Nabi adalah salah satu dari
enam rukun iman. Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 177 mengatakan[2]:
۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ
وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ
بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ
وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ
وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ
وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ
فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ
وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧
Artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
2. Tugas
Kenabian dan Hubungannya terhadap Wahyu
Di antara para
Nabi ada yang diamanatkan untuk menyampaikan wahyu atau risalah yang dibawanya.
Dengan kata lain menyampaikan wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt merupakan
salah satu pokok dari tugas Rasul. Berikut ini adalah rinciannya[3]:
a.
Sebagai penyampai
syariat rabbani kepada manusia (QS Al-Maidah [5]: 67 dan QS Al-Ahzab [33]: 38).
b.
Menjelaskan
makna nas yang diturunkan kepada umat (QS Al-Nahl [16]: 44).
c.
Menuntun umat
kepada kebaikan dan mewanti-wanti mereka agar menghindari keburukan. Hal ini
ditegaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Muslim yang
artinya sebagai berikut: “Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku kecuali
diharuskan untuk menuntun dan menunjukkan kebaikan pada umatnya, apa yang
diajarkan kepada mereka dan memperingatkan akan kejahatan yang diajarkan kepada
mereka’’.
C. Konsep Islam tentang Manusia
1. Pengertian
manusia dalam al-Qur’an
Istilah kunci
yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan
kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Kata basyar
disebut dalam Al-Qur'an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia
sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imrân [3]: 47) tegasnya memberi pengertian
kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan
lain-lain.
Kata al-insan
dituturkan sampai 65 kali dalam Al-Qur’an yang dapat dikelompokkan dalam tiga
kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai penanggung
amanah (QS Al-Ahzâb [33]: 72), kedua al-insan dihubungkan dengan predisposisi
negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al Ma’arij
[70]: 19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang
terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS Al- Hijr [15]:
28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat manusia psikologis
dan spiritual.
Kata an-nas
yang disebut sebanyak 240 kali dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai
makhluk sosial dengan karakteristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman
padaha sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]: 8).
Sebuah pertanyaan
yang harus kita tanamkan betul-betul ke dalam lubuk hati kita masing-masing
‘‘untuk apa diciptaka' manusia?'. Semua sudah tahu jawabannya, bahwa manusia
ini datang dari Allah yang menciptakan dan yang mengatur serta mengurus
kehidupan ini. Dialah yang mengetahui segala rahasia apa yang dibalik
penciptaan-Nya itu. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’anul Karim:
وَمَا
خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Artinya: “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(QS Az-Zariyat [51]: 56)
Kata “Abdi”
berasal dari kata bahasa Arab yang artinya memperhambakan diri, ibadah
(mengabdi/memperhambakan diri). Manusia diciptakan oleh Allah agar ia beribadah
kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini tidak sesempit pengertian ibadah yang
dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni kalimat syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji tetapi seluas pengertian yang dikandung oleh kata
memperhambakan diri menjadikan dirinya sebagai hamba (budak) Allah. Berbuat
sesuai dengan kehendak dan kesukaan (rida) Nya dan menjauhi apa yang menjadi
larangan-Nya.[4]
D. Konsep Islam tentang Alam Semesta
Ada tiga teori
yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan Tuhan. Pertama,
paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada (creatio
ex-nihilo). Ia terjadi dengan sendirinya. Kedua, paham yang mengatakan
bahwa alam semesta ini berasal dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga,
paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang menciptakan.
Teori pertama
tampaknya sudah sangat tidak relevan. Ia dapat ditolak dengan teori
sebab-akibat (causality theory). Menurut teori kausalitas, adanya
sesuatu itu disebabkan adanya sesuatu yang lain. Dengan demikian, menurut teori
ini, alam semesta tidak terjadi dengan sendirinya tetapi melalui proses
penciptaan, yang karenanya tentu ada yang menciptakan.
Al-Farabi,
dengan teori pancaran (emanasi)-nya, mengatakan bahwa alam semesta ini adalah
hasil pancaran dari wujud kesebelas atau akal kesepuluh. Jika diurut secara
vertikal, maka akal kesepuluh itu secara hierarkis adalah kelanjutan dari
akal-akal sebelumnya, yang berawal dari akal pertama. Akal pertama (first
intelligence) adalah sebab pertama (prima causa). Ia merupakan wujud
pertama (al-wujud al-awwal) yang melahirkan wujud-wujud berikutnya.
Wujud pertama itu adalah Tuhan.
Selain
al-Farabi, Ibnu Sina membangun sebuah teori yang disebut teori wujud (filsafat
wujud). Teori wujud dibangun dalam upaya membuktikan eksistensi Tuhan. Menurut
teori ini, sifat wujud lebih penting dari sifat-sifat lainnya, meskipun sifat
esensi (mahiyah) sendiri. Esensi, menurutnya, terdapat pada akal
sedangkan wujud berada di luar akal. Wujud menjadikan esensi vang berada di
dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Oleh karena itu, masih menurut
teori ini, esensi itu ada yang mustahil berwujud (mumtani' al-wujud),
ada yang mungkin berwujud (mumkin al-wujud) atau tidak mungkin berwujud
{gair mumkin al-wujud), dan ada pula yang mesti berwujud (wajib al-wujud).
Dalam wajib al-wujud, esensi tidak mungkin berpisah dari wujud. Wajib al-wujud
adalah Tuhan yang terjadi dengan sendirinya. Oleh karena itu, Tuhan itu mesti
adanya. Adapun yang mustahil wujud, mungkin wujud, dan tidak mungkin wujud
adalah setiap selain Tuhan.
Terhadap teori
kedua yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal dari sel, melihatnya
sebagai teori yang lebih sesat daripada teori pertama. Menurutnya, sel tidak
mungkin mampu menyusun dan memperindah sesuatu seperti yang terjadi pada
struktur alam semesta. Umpamanya, aspek gender dan tata surya.
Adapun teori
ketiga yang mengatakan bahwa alam semesta ada yang menciptakan adalah teori yang
bersesuaian dengan pemikiran akal yang sehat. Oleh karena itu, ia, baik secara 'aql
maupan naql dapat diterima. Masalah yang kemudian muncul dari teori
ketiga ialah: siapakah yang menciptakan alam semesta ini? Menurut doktrin
Islam, yang hal ini pun menjadi akidah dan keyakinan umat Islam, pencipta alam
semesta ini ialah Tuhan. Jawaban itu membawa kepada pengertian bahwa Tuhan itu
ada.
Ada beberapa
argumen yang mendukung keabsahan teori ketiga, di antaranya argumen kosmologis
seperti yang sudah dibicarakan terdahulu, argumen ontologis, argumen
teleologis, argumen moral, dan argumen epistimologis.
Ontologis mulai
dikembangkan oleh Plato (428-348 SM). Dalam kajian ontologis, segala sesuatu
yang ada di alam ini mempunyai idea. Idea adalah konsep universal dari setiap
sesuatu. Manusia, umpamanya, mempunyai konsep universal atau idea.
Idea itu
merupakan hakikat sesuatu. Ia merupakan dasar adanya sesuatu. Ia berada di alam
tersendiri, yaitu alam idea yang bersifat kekal. Idea-idea itu tidak berdiri
sendiri, tetapi bersatu pada idea tertinggi yang disebut Idea Kebaikan atau The
Absolute Good, yaitu Yang Maha Mutlak Baik. Ia adalah sumber, tujuan, dan sebab
dari segala yang ada. Dia itulah Tuhan.
Alam semesta ini
adalah teleologis, artinya diatur menurut tujuan-tujuan tertentu. Alam dalam
pandangan teleologis tersusun dari bagian-bagian yang satu sama lain erat
sekali hubungannya. Bagian-bagian yang saling berhubungan itu bergerak dan
berkerja sama atau berevolusi menuju tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu ialah
kebaikan alam secara totalitas. Penggerak alam sehingga rerevolusi adalah zat
yang maha sempurna, zat yang lebih tinggi dari alam itu sendiri. Zat inilah
yang disebut Tuhan.
Dalam Al-Qur'an
terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-berar ada.
Sebagai contoh, berikut ini dike-mukanan ayat-ayat yang mendukung pernyataan
tersebut[5].
ٱللَّهُ
خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ ٦٢ لَّهُۥ مَقَالِيدُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
٦٣
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia
memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan bumi.
Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang
yang merugi”. (Q.S. al-Zumar [39]: 62-63)
هُوَ
ٱللَّهُ ٱلَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِۖ
هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ ٢٢
Artinya: “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hayr [59]: 22)
E. Konsep Islam tentang Eskatologi
1. Pengertiaan
Eksatologi
Dalam
kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “eskatologi”
adalah ilmu tentang akhir riwayat/ kehidupan manusia; ilmu kematian manusia.[6]
Dalam dunia islam kita kenal berbagai macam riwayat (al-Qur’an & hadits
)yang membicarakan tentang kehidupan setelah mati.
Adapun
yang menjadi landasan dalam memotret dan mengklasifikasikan persoalan
esskatologi ini adalah berdasarkan konsep eskatologi islam secara umum.
Eskatologi islam secara sederhana diklasifikasikan menjadi dua bagian: akhir
dunia dan akhirat. Dalam kontek akhir dunia, pembahasan eskatologi islam
tertuju pada konsep mengenai kiamat. Namun sebelum kiamat ini, dikenal pula
sosok eskatologi (eschatological figures) islam, yaitu : Ya’juj dan Ma’juj,
Imam mahdi, Dajjal, dan Isa. Sedangkan dalam kontek akhirat,
pembahasannya tertuju pada konsep hari kebangkitan, konsep pengadilan, serta
konsep surga dan neraka.
Dalam
pembahasan akhirat ini, sebagian besar ahli tafsir juga menyebutkan detail
mengenai kepercayaan kepada Alam barzakh (alam antara) antara kematian,
kebangkitan, dan pengadilan akhir. Terkait dengan konsep kematian, terdapat
indikasi didalam al-Qur’an bahwa pengalaman dan wujud eksistensial manusia
terdiri dari dua kematian dan dua kehidupan. Kematian pertama iaah masa sebelum
manusia dilahirkan, sedang kematian yang kedua adalah kematian manusia setelah
manusia dilahirkan. Adapun kehidupan pertama adalah kehidupan di dunia, sedang
kehidupan kedua adalah kehidupan di akhirat. Kematian pertama, karena terkesan
mitologis,dan bukan merupaknan rangkaian kehidupan, maka tidak termasuk dalam
bidaang garapan eskatologi. Begitulah agaknya gambaran umum tentang eskatologi
islam.[7]
Hal
ini sebagimana yang ditulis antara lain oleh William J. Hamblin dan Daniel C.
Peterson, Toshihiko Izutsu, H.P. Owen, dan Cyril Glasse. Dari semua sumber
acuan teoritis ini, penulis mengklasi-fikasikannya menjadi :
a. Kematian;
b. Alam
barzakh;
c. Hari
kiamat; dan
d. Surga
dan Neraka
2.
Konsep – konsep
eskatoogi Islami
Pembahasan
mengenai kematian tanpaknya tidak bisa semata-mata didekati oleh sebuah
konsep/ranah rasional-ilmiah. Ada sebuah ungkapan menarik yang menyatakan “Dan
akhirnya ada suatu teka-teki penuh dengan rasa kesakitan,yaitu teka-teki mati.
Teka-teki itu tidak ada obatnya pada waktu ini, dan kiranya tidak akan obatnya
di kelak kemudian hari.” (Sigmund Freud) bila hanya mengandalkan rasionalitas
atau indrawi, akan “gagal” mengkonsepsikan kematian.
Islam,
dalam hal ini Al-Qur’an, memiliki seperangkat argumen untu merespon pandangan
bahwa kematian adalah akhir dari segalanya. Namun, respon Al-Qur’an ini
tidaklah diperuntukkan bagi keseluruhan masyarakat arab jahiliyah. Sebab,
melalui syair-syair yang masih terpelihara sampai kini,ada indikasi kuat yang
menunjukkkan bahwa sebagian diantara mereka telah beriman kepada Allah dan
menerima doktrin kebangkitan kembali. Jadi, yang menjadi sasaran Al-Qur’an adalah
mereka yang hanya benar-benar tidak mengakui doktrin akhir, atau yang dalam
istilah Toshihiko izutsu yang menganut doktrin nihilisme. Dengan demikian,
sejak masa-masa awal, Al-Qur’an sebetulnya telah mengajukan berbagai argument
untuk membungkam para pengingkar doktrin akhir. Fazlur Rahman mengeksplorasi,
paling tidak, tiga argument dimaksud :
Pertama,
bahwa Allah telah menciptakan bumi dan segala bentuk kehidupan yang bjumlahnya
tidak terhitung atau tidak diketahui, sehingga hal ini direnungkan, berarti
Allah dapat pula menciptakan manusia yang baru dan bentuk kehidupan lain yang
tidak pula diketahui.
Kedua,
Sebagaimana menciptakan percikan api dari kayu – kayuan hijau ( yang basah)
Allah dapat pula membuat mati dan hidup secara bergantian,yang kelihatannya
mustahil karena dihasilkan dari sesuatu yang berlawanan. Hal ini, terbukti
bahwa Dia menciptakan siang dan malam,silih berganti,seperti yang diperbuat-Nya
terkait dengan kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa. Jika kedua fenomena
tersebut adalah “alami” hingga tak perlu dipersoalkan, maka fenomena
kebangkitan kembali dan penciptaan bentuk-bentuk kehidupan yang baru, harus
pula dipandang sebagai kenyataan yang ‘Alami’.
Ketiga,
contoh yang khas yang diberika Al-Qur’an tentang fenomena tersebut, bumi yang
menjadi subur di musim semi setelah ia ‘mati’ di musim salju.
Rahman
dalam hal ini telah melakukan eksplorasi yang bersifat deskriptif-analistis.
Akan tetapi ini sebenarnya belum merangkum semua argument yang diajukan
Al-Qur’an. Dinilah tampaaknya Al-Ghozali melengkapinya. Al –Ghozali mempunyai
tiga argument yang kiranya luput dari pantauan Rahman, yaitu :
Pertama,
bahwa sanya Al-qur’an menantang para pengingkar untuk memikirkan sesuatu yang
kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Tantangan
semacam ini sudah sering disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu
terbukti akan kebenarannya. Kedua, kekuasaan Allah tidak dapat
terelakkan yaitu dengan mampu membuat Ashhab al-kahf hidup selam ratusan tahun.
Hal ini memberi kesan bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Ketiga,
mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda
dengan memulai sesuatu untuk yang kedua kalinya.
Dengan
demikian, ada proses saling melengkapi antara kedua tokoh dalam upaya-upaya menggali
argument-argument Al-Qur’an untuk menjelaskan eksistensi kehidupan akhirat.
Jadi, penjelasan ini menyiratkan suatu konsep “sunnatullah“ bahwa
kematian dan kehidupan merupakan proses yang terjadi secara alami menurut
kehendak- Nya. Jika demikian halnya, maka tentu kematian dan kehidupan adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. [8]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iman kepada
Allah adalah doktrin utama dalam Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia
adalah dimensi ta’abudi yang terkait dengan petunjuk dan pertolongan Allah atas
hamba-Nya. Tanpa hidayah dari Allah, akan sulit bagi siapa pun untuk dapat
mempercayai-Nya.
Secara
etimologis Nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan, atau dari kata
na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang yang
ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. dengan memberinya berita (wahyu). Sedangkan
kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah Swt. terhadap salah
seorang dari hamba-Nya dengan memberinya wahyu.
Istilah kunci
yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan
kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Ada tiga teori
yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan Tuhan.
Pertama, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada
(creatio ex-nihilo). Ia terjadi dengan sendirinya. Kedua, paham yang mengatakan
bahwa alam semesta ini berasal dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga,
paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang menciptakan.
Dalam kamus
bahasa Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “eskatologi”
adalah ilmu tentang akhir riwayat/ kehidupan manusia; ilmu kematian manusia.
B. Saran
Makalah ini
mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi
penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Rremaja
Rosdakarya. 2009.
Budiono.
Kamus Populer Internasional Surabaya: Alumni. 2005.
Didiek
Ahmad Supadie dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. (Jakarta: PT Grafindo
Persada. 2011.
http://www.tongkronganislami.net/2015/11/pengertian-eskatologi-dalam-islam.html#ixzz46UozO2vU Di akses pada: jum’at. 22 April 2016 pukul
03:15
Sibawai.
Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Islamika. 2004.
[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Rremaja Rosdakarya, 2009),
h.113-114
[2] Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni,
Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2011), h.157
[3] Ibid, . . h. 161
[4] Ibid, . . . h.142-143
[5] Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Rremaja Rosdakarya, 2009),
h.111-113
[6] Budiono, Kamus Populer Internasional
( Surabaya: Alumni, 2005) hal.162
[7] Sibawai, Eskatologi Al
Ghozalidan Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Islamika, 2004 ) h.21
[8]
http://www.tongkronganislami.net/2015/11/pengertian-eskatologi-dalam-islam.html#ixzz46UozO2vU Di akses pada: jum’at, 22 April 2016 pukul
03:15
Komentar
Posting Komentar