KAIDAH FIQH: MUJMAL-MUBAYYAN, MURADIF-MUSYTARAQ, ZHAHIR-TAKWIL, DAN NASIKH-MANSUKH

Kepada seluruh pembaca yang budiman, mohon ma'af apabila dalam artikel ini terdapar kesalahan,  juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari. 

         Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
         Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.

Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:



MUJMAL - MUBAYYAN
A.    Pengertian Al-mujmal dan Al-mubayyan
            Arti Al-Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya suatu perkara atau lafaz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan.
            Al-mujmal menurut istilah ushul fiqih adalah:
مَا يَفْتَقِرُّ اِلَى الْبَيَانِ
            “lafaz atau mantuq yang memerlukan bayan (penjelasan).”
Arti Al-mubayyan menurut bahasa adalah: yang menjelaskan. Maksudnya adalah suatu lafaz yang mengandung penjelasan.
            Al-mubayyan menurut istilah ushul fiqih adalah:
اِخْرَجَ الشَّىِٔ مِنْ خَيْزِ الْاِشْكَالِ اِلَى حَيِّزِ الْتَّجَلىِّ
“mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.”
Jadi ringkasnya, bayan adalah penjelasan atau yang menjelaskan, sedang mujmal adalah yang dijelaskan.[1]
B.     Macam-macam Mujmal
Bila dilihat dari segi bentuknya lafaz-lafaz mujmal ada dua macam, pertama lafaz mufrad dan kedua lafaz murakab.
1.      Lafaz mufrad (اَلْمُفْرَدَات) yakni lafaz lafaz yang terdiri dari satu kalimat. Lafaz-lafaz mufrad juga dapat dilihat dari segi jenis ada tiga macam:
a)      Isim (اِسْمٌ) artinya “nama” atau “nama benda”.
Contoh: (مُخْتَارٌ) boleh sebagai pelaku (fa’il), dalam hal  ini diartikan dengan “orang yang memilih”, dan boleh juga sebagai maf’ul (tujuan) atau penderita yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang dipilih”.
b)      Fi’il (فِعْلُ) artinya “kata kerja”.
Contoh: "عَسْعَسَ" boleh diartikan dengan “datang”, dan boleh  juga dengan arti “kembali” atau “pulang”. "بَاعَ" boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan “membeli”.

c)      Huruf "حُرْفٌ" kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya.
Contoh: "و" artinya “dan” kedudukannya boleh sebagai athaf  (اَلْعَطْفُ) aritnya penyambung, tetapi boleh juga sebagai al-Ibtida (اَلْإِبْتِدَاءُ) artinya kata awal atau permulaan

2.      lafaz-lafaz murakkab (اَلْمُرَكَّبَاتُ) artinya lafaz-lafaz yang terdiri dari beberapa kalimat.
Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:
÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# . . .  
Artinya : “Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah...” (QS. Al-Baqarah: 237)
Dalam hal demikian ini, yakni “orang yang memegang ikatan nikah” (nÏuÎ/) dalam ayat tersebut, boleh si suami dan boleh juga si wali.[2]
C.    Macam-macam Bayan (اَلْبَيَانِ)
Bayan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa macam:
1.      Penjelasan dengan kata-kata (بَيَانُ بِاالْقَوْلِ)
Contoh, firman Allah yang berbunyi:
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×'s#ÏB%x. 3 y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 öN©9 ô`ä3tƒ ....¼ã&é#÷dr&
Artinya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh hari setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS. Al-Baqarah: 196)
Perkataan “sepuluh hari yang sempurna” pada ayat tersebut adalah sebagai penjelas dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.
2.      Penjelasan dengan perbuatan (بَيَانٌ بِا الْفِعْل)
Contoh, seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan perbuatan beliau sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:
 (حدث) صَلُوْا كَمَارَ أَيْتُمُوْانِى اُصَلِّى
Artinya : “Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melaksanakan shalat.” (Hadis)
3.      Penjelasan dengan Tulisan/Surat  (بَيَانٌ بِا الْكِتَابِ)
Contoh, seperti ukuran zakat dan ukuran diat anggota-anggota badan, banyak Nabi melakukan dengan surat-surat. Untuk dikirim ke daerah-daerah Islam diwaktu itu.
4.      Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (بَيَانٌ بِالْإِشَارَةِ)
Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan, dengan mengucapkan
(اَلْشَّهْرُ هكَذَا، وَهكَذَا، وَهكَذَا،  (حدث
Artinya: “Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian.” (Hadis)
Sewaktu Nabi mengucapkan “Sekian” pertama dan kedua adalah dengan mengangkat semua jarinya tangan, dan sedang mengucapkan “Sekian” yang ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal tersebut merupakan isyarat yang menunjukan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh sembilan hari. Yang demikianlah yang dinamakan penjelasan dengan isyarat.
5.      Penjelasan dengan Meninggalkan (بَيَانٌ بِا الْتَرْكِ)
Contoh, seperti yang disebutkan dalam satu riwayat oleh Jabir:
كَانَ اخْرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللّٰه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَمَ الْوُضُوْءَ مِمَّا (مَسَّتِ النَّارُ. (ابن حبَان
Artinya: “adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil wudhu (lagi) setelah makan sesuatu yang dibakar.” (Hadis Ibnu Hibban)
Dari riwayat tersebut tampak bahwa pada mulanya, setiap sesuatu yang dibakar maka Nabi SAW wudhu, kemudian Nabi tinggalkan , yakni Nabi tak berwudhu lagi walau makan makanan yang dibakar. Nabi meninggalkan wudhu dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai penjelasan atau bayan dengan jalan meninggalkan. [3]
D.    Contoh Mujmal Mubayyan
1.      Menghubungkan hukum haram atau halal kepada benda orang (a’yan) seperti

(Mohon Maaf ayat Al-Qur'an tidak bisa tampil, silahkan di masukan sendiri yaa)

Artinya:    “Diharamkan atasmu ibumu”. (QS. An Nisa: 23)
                 Diharamkan atasmu bangkai”. (QS. Al Maidah: 3)
Ada yang mengatakan, ayat tersebut mujmal, karena ibu dan bangkai (a’yan) tidak bisa disifati dengan haram ataupun halal. Yang bisa disifati demikian (mahkum fih), ialah perbuatan-perbuatan kita seperti makan, melihat, atau menjual (dalam contoh ibu). Sedang perbuatan-perbuatna tersebut tidak disebutkan. Karena itu perlu penjelasan, mana yang diharamkan manapula yang tidak. Menurut pendapat lain, kedua ayat tersebut tidak mujmal. Pendapat inilah yang kuat. Dari penyelidikan bahasa, ternyata bahwa yang dimaksud dengan perkataan yang semacam itu ialah perbuatan. Dalam soal bangkai yang dimaksud ialah memakannya, sedang dalam contoh ibu adalah mengawininya.
2.      Perkataan yang meniadakan suatu perbuatan, seperti:
(لَانِكَاحَ اِلَّا بِوَلِيِّ (حدث
(لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ (حدث
Artinya:    “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
                 “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca fathihah”. (HR. Muslim)
Menurut golongan olama, kedua hadis tersebut mujmal, karena yang ditiadakan ialah perkawinan dan salat, padahal keduanya dapat terwujud. Jadi yang dimaksudkan, ialah meniadakan sifat-sifat (hal-hal) yang tidak disebut dalam kedua hadis tersebut, yaitu tidak sahnya atau tidak sempurnanya. Untuk mengetahui mana sifat tersebut yang dikehendaki, masih diperlukan penjelasan.
Menurut pendapat lain, kedua hadis tersebut tidak mujmal. Pendapat inilah yang benar. Nabi bukannya meniadakan ujudnya perbuatan, tetapi meniadakannya menurut syari’at (meniadakan hukumnya). Dengan perkataan lain yang ditiadakan ialah sahnya. Seolah-olah dikatakan, perkawinan tidak akan sah menurut syari’at kecuali dengan wali. Demikian juga shalat juga tidak akan sah tanpa membaca fatihah.
Kalau kedua hadits itu ditinjau dari sudut bahasa, maka yang dimaksudkan ialah tidak ada gunanya. Tidak sah sama dengan tidak ada gunanya.
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& . . .
Artinya:   “pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangannya”. (QS. Al-Maidah: 38).
Ada yang mengatakan, ayat ini mujmal. Sebab tangan bisa diartikan ujung jari sampai pergelangan atau sampai siku-siku atau sampau bahu. Karenanya, perlu penjelelasan mana yang dikehendaki.
Pendapat lain mengatakan, ayat tersebut tidak mujmal. Ayat tersebut disebutkan dengan mutlak. Maka yang dimaksudkan ialah ujung jari sampai pergelangan tangan, sebagai mana yang terdapat dalam ayat tayamum (baca QS. Al Maidah: 6)[4]


MURADIF - MUSYTARAQ
A.    Pengertian Muradif dan Musytarak
Muradif (اَلْمُرَادِفُ) menurut bahasa artinya adalah membonceng/ikut serta.
Muradif yang dimaksud oleh ahli ushul fiqih adalah:
اَللَّفْظُ الْمُتَعَدِّدُ لِلْمَعْنَى الْوَاحِدِ
“Beberapa lafaz terpakai untuk beberapa makna”
Contoh:
·       اَلأَسَدُ dan اَللَّيْثُ artinya adalah singa.
·       اَلدَّارُ dan اَلْمَنْزِل dan اَلْبَيْتُ artinya adalah rumah.
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa dua, tiga atau beberapa lafaz yang mempunyai satu makna dinamakan lafaz muradif.
Musytarak artinya menurut bahasa adalah berserkat, berkumpul.
Musytarak yang dimaksudkan dalam ushul fiqh adalah:
اَللَّفْظُ اَلْمَوْظُوْعُ لِحَقِيْقِتَيْنِ مُحْتَلِفَتَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ
“lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda.”
Sebagai contoh misalnya lafaz “Quru” (اَلْقُرْءُ) yang mana quru itu sendiri di sisi orang  arab mengandung makna. Pertama, dengan arti “haid”. Kedua dengan arti “Suci” . Tiap-tiap leafaz yang mempunyai arti lebih dari satu sebagaimana lafaz quru’ dan lainnya, dinamakan lafaz musytaraq.
Dicantumkannya ayat tersebut di sini hanya sebagai cotnoh, adapun tentang arti quru’ yang dimaksudkan oleh syara sebenarnya sesuai hadis dari Aisyah yang dipegangi Syafi’I menyatakan bahwa quru’ itu adalah suci. Sedang Abu Hanifah mengartikan haid. Bagi Abu Hanifah hadis ahad tidak dapat mencantumkan hukum halal dan hukum haram.
B.     Hukum Muradif dan Hukum Musytaraq
1.      Hukum Muradif
Hukum muradif yang dimaksudkan di sini adalah tentang timbulnya persoalan yang dikarenakan adanya lafa-lafaz muradif, dalam hal demikian, para ulama mempersoalkan hukumnya, seperti misalnya apakah boleh satu lafaz diganti dengan lafaz lain yang maknanya sama seperti lafaz اَلأَسَدُ diganti dengan lafaz اَللَّيْثُ.
Para ulama umumnya yang berpendirian bahwa bacaan Al-Qur’an yang bersifat TA’ABUDI, tidak boleh diganti dengan lafaz muradifnya karena Al-Qur’an dan seluruh lafaznya adalah mengandung mukjizat, sedang muradif satu lafaz dalam Al-Qur’an bukanlah teks AL-Qur’an yang dengan sendirinya tidak mengandung mu’jizat.
Sehubungan dengan masalah muradif ada juga para ulama yang berselisih pendapat dalam hal-hal tertentu, seperti dalam masalah zikir. Dalam masalah dzikir itupun bagi golongan yang membenarkan muradif, memberikan yakni:
a.       Boleh dipakai lafaz muradif, bila penggantian lafaz muradif tersebut tidak mendapat halangan dari agama, baik secara jelas atau samar-samar.
b.      Boleh dipakai lafaz muradif, bila penggantian lafaz boleh dipakai lafaz muradifnya itu beradal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab misalanya.
2.      Hukum Musytarak.
Yang dimaksud dengan hukum musytaraq. Di sini adalah tentang boleh tidaknya menggunakan lafaz Musytarak. Tentang hal ini para ulama berselisih, pendapat satu piha membolehkan, sedang di lain pihak sebaliknya.
Menurut jumhur ulama adalah :
اِسْتِعْمَالُ الْمُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْةِ يَجُوْرُ
“menggunakan lafaz musytaraq dalam dua makna atau beberapa makana adalah boleh”
Mereka ini beralasan dengan firman Allah yang berbunyi:
(Mohon Maaf ayat Al-Qur'an tidak bisa tampil, silahkan di masukan sendiri yaa)
Artinya:  Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? ….” (QS. Al-Hajj: 18)
Lafaz sujud adalah musytaraq, karena bisa berarti meletakkan dahi di tanah dan bisa berarti tunjuk. Dan dalam ayat tersebut ditujukan pada manusia dan makhluk yang tidak berakal seperti bumi, langit, bulan dan lain-lain.
Disamping itu, memang ada juga Ulama yang beranggapan bahwa menggunakan lafaz musytaraq dalam dua makna atau lebih adalah tidak boleh ( يَجُوْزْ لَا).


ZHAHIR DAN TAKWIL
A.    Pengertian Zhahir
Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut :
إسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته .
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.”
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi :
ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأمّل.
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”
Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan zhahir itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Atas dasar defenisi-defenisi tersebut, Muhammad Adib Shaleh menyimpulkan bahwa zhahir iru adalah :
اللفظ الذي يدلّ عليها معناه من غير توقف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتأويل و قبول النسخ.
Artinya : “Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu adanya qorinah yang ada diluar lafazh itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsish, di ta’wil dan di nasakh.”
Adapun contoh yang dapat dikemukakan disini adalah firman Allah SWT yang berbunyi :
وَ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya sudah jelas bahwa mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk itu diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Kedudukan lafazh zhahir wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang men-takhsish-nya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.[5]

B.       Hukum Zhahir
Yang dimaksud dengan hukum zhahir adalah, dalam hal bagaimana kita boleh atau harus berpegang pada makna yang zhahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti zhahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakain lafaz zhahir sebagai berikut :
الظاهر دليل شرعي يجب اتباعه إلا أن يدل الدليل علي خلافه
“Zhahir itu adalah dalil syar’I (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah, apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.[6]
C.     Pengertian takwil (muawwal)
Secara etimologi, takwil ditrujuk dari kata : أَوَّلَ – يُؤَوِّلُ  yang berarti At-Tafsir, Al-Maarja’, Al-Mashir. Demukian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib Shalih, 1984 : 356).
Disamping itu, takwil juga bermakna Al-Jaza’, seperti firman Allah SWT :
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْللًا
Artinya : “..... yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akubatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Dengan demikian, takwil mempunyai makna At-Tafir (penjelas, uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali padanya).[7]
Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan takwil.Para ulama salaf mendefenisikan takwil antara lain sebagai berikut:
1.      Imam Ghazali dalam kitab Al-Musthashfa(Al-Ghazali, 1973: 128)
إنّ التأويل عبارة عن احتمال يغضّده دليل يصير به أغلب على الظنّ من المعنى الّذي يدلّ عليه الظاهر.
Artinya : “Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir”.
2.      Imam Al-Mudi dalam kitab Al-Mushtashfa :
حمل اللفظ على غير مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يغضّده
Artinya : “Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil.”
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwilyaitu sejalan dengan defenisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqh, yaitu :

3.      Menurut Wahab Khalaf :
صرف اللفظ عن ظاهر بدليل
Artinya : “Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil.”
4.      Menurut Abu Zarhah :
إخراج اللفظ عن ظاهر معناه إلى معنى آخر يحتمله و ليس هو الظاهر فيه
Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain , tetapi bukan zhahirnya.”
Dengan demikian pengertian takwil menurut bahasa lebih umum dari pada pengertian khas, amm, atau muthlak, karena lafazh-lafazh tersebut menunjukkan arti yang dimaksud dan dianggap dalil qoth’i.
Penyebab adanya penakwilan terhadap lafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat diantaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti yang hakiki, sehingga dalil hasil takwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain, mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.[8]

D.    Syarat-syarat Takwil
Dasar umum yang ditetapkan ulama untuk menetapkan adanya takwil berasal dari teks bahasa dan uslub-uslubnya, yang menjaga agarijtihad dan ra’yu tidak menjadi sesat. Para ulama juga mewajibkan agar mengamalkan syari’at sesuai dengan zhahir ayat sehingga terdapat isyarat untuk menggunakan takwil.
Persyaratan takwil bergantung pada makna teks agar ketetapan nash dan makna zhahir-nya tidak bertentangan dengan syari’at. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna syari’at yang berhubungan dengan takwil berkaitan erat dengan takhsish, taqyid, perubahan ke artimajaziy dan pengompromian antara nash-nashyang zhahir-nya saling bertentangan. Semuanya sesuai dengan dalil shahih yang kuat, dan tidak hanya berdasarkan kepada pemahaman arti saja, tetapi juga makna hakikatnya.
Takwil itu erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal dari nash, bukan hanya dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk salah satu metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Agar lebih jelas, dibawah ini akan diterangkan persyaratan takwil tersebut, yaitu :
1.      Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya
Telah diterangkan bahwa dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan hukumnya tidak bisa ditakwilkan. Namun menurut Hanafiyah, takwlil itu boleh sekalipun pada nash yang zhahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syari’at Islam.
Adapun dasar-dasar umum syari’at adalah sumber takwil karena banyak nashyang arti zhahir-nya mengandung maknajuz’i.

2.      Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil
a.       Takwil berdasarkan dalil adalah Maslahat
Yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu adalah nash tertentu, tetapi dalil yang menakhsish dalil umum, atau mengistitsnakan dari landasan umum, baik secara khas ataupunamm.
Takhsish merupakan salah satu bagian dari takwil, bahkan yang paling banyak dipakai. Contohnya firman Allah SWT yang berbunyi :
……وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Artinya : “Para ibu hendaklah menyuusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.”
Dari zhahir ayat tersebut dapat dipahami bahwa menyusui adalah kewajiban seorang ibu. Dan kata al-waalidatu itu lafazhnya umum mencakup semua ibu.
Imam Maliki menaksish keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaly). Dia berpendapat bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka apabila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya karena menjaga dari kemudharatan dan menjaga kemashlahatan adalah maslahat. Hal itu juga bisa disebut kemaslahatan individu.
Golongan Hambali memperluas pelaksanaan takhsish umum,diantaranya dalam masalah penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena takwilseperti itu berlandaskan pada kemashlahatan umum.
b.      Mentakhsish keadaan umum dengan kemashlahatan
Yang dimaksud kemashlahatan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan yang berdasar firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
….هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا
Artinya : “Dia-lah yang menjadikan untuk kamu semua yang ada di Bumi...”
Di antara kemerdekaan umum adalah kemerdekaan berjual-beli dan hak memiliki barang. Dengan mengutamakan persamaan, itu merupakan perbuatan yang diperbolehkan.
Rasulullah SAW melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badui, karena jual-beli semacam itu dikategorikan jual-beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang sangat penting bagi manusia.
Yang perlu diingat, sebuah larangan harus berdasarkan dalil, ,eskipun terkadang larangan tersebut berupa keadaan umum sebagaimana yang telah disebutkan.

3.      Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual ataumajaz. Bisa juga mencakup asas yang berasal dari pemakaian yang sudah dikenal atau adat syara’.
Adat syara’ telah banyak menakhsish dalil-dalil umum pada sebagian besar nashsehingga para ulama Ushuliyyin berkata, “Tidak ada sesuatu yang umum, kecuali telah ditakhsish.” Hal itu menunjukkan bahwa adat syara’ telah banyak menakhsish sebagian besar dalil yang umum, sehinggatakhsish tersebut menjadi sunnah dalam syari’at. Hal itu cukup menunjukkan bahwa bagian ini sah menjadi bagian takwil.
Semuanya tetap berlangsung sesuai dengan penempatan syara’ itu sendiri, yang manunjukkan bahwa takwil shahih membutuhkan keadilan dengan sendirinya. Apalagi kalau yang mewajibkan adanyatakwil itu adalah adanya pertentangan antara yang juz’iy dengan yang kulliy.
Jika pembuat syari’at menetapkan istilah khusus dalam istilah syari’at, istilah khusus haruslah didahului dari arti bahasa kalau keduanya bertentangan, sebagai realisasi terhadap maksud pembuat syari’at dari segi artinya. Dengan demikian lafazh pembuat syari’at itu berdasarkan pemahaman maksudnya sesuai dengan kabiasaan dalam penggunaannya.

4.      Takwil tidak boleh bertentangan dengannash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yangzhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan yang qath’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an dengan mengubah arti yang Zhahirmenjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.

5.      Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.
Nash yang berarti juz’idikompromikan artinya dengan dasar umum, yaitu dengan cara men-taqyid-nya dan dasar umum itu merupakan dalil yang lebih kuat. Sedangkan pertentangan antara zhahur dannash, tidak diragukan lagi bahwa nashmenakhsish yang zhahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu, ucapan juga membutuhkan arti asli, maka nash harus diutamakan.
Penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syari’at. Hal itu merupakan rohnash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokoknya. Tidak dirgukan lagi bahwa maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zhahir lafazh-nya.
Takwil itu terkadang tidak membutuhkan dalil sebagaimana telah dijelaskan, tetapi dimungkinkan berdasarkan pada pemahaman yang dangkal, akal dan teks sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qorib yang cukup memakai dalil yang terendah. Seperti firman Allah SWT :
….إِذَا قُمتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya : “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku,”
Arti zhahir ayat tersebut adalah mengharuskan berwudhu’ seteleh melaksanakan shalat. Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mengharuskan berwudhu’ terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik menurut akal ataupun syara’ agar shalatnya sah. Untuk itu, lafazh al-qiyamudalam firman Allah ta’ala diatas harus ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya yang hakiki kepada artinya yang majazi yaitual-‘ajmu (bermaksud) mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya.

E.     Takwil Jauh (اَلتَّأْوِيْلْ الْبَعِيْدُ)
Yang dimaksud dengan takwil jauh (اَلتَّأْوِيْلْ الْبَعِيْدُ) adalah suatu takwil yang mana makna takwilnya terlalu jauh hubungannya dengan makna dzahir-nya.
Sebagai contoh misalnya: kifarat orang yang bersetubuh dengan istrinya dalam bulan puasa wajib memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

…..فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا.....
Artinya : “maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin…..” (QS. Al-Mujadilah: 4).
Golongan Hanafiyah mentakwilkan lafaz 60 (enam puluh) orang miskin dalam ayat tersebut dengan 60 mud. Dengan demikian, maka berarti boleh memberikannya kepada seorang miskin sejumlah 60 mud.
Takwil yang demikian oleh sebagaian ulama digolongkan pada takwil ba’id atau takwil jauh, karena makna yang diistimbatkan dari ayat tersebut adalah membatalkan ayat itu sendiri.[9]
Kecacatan Itakwil diatas disebabkan oleh beberapa perkara, yaitu :
1)      Meremehkan ‘adad, lafazh khushus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i, maka haruslah menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.
2)      Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.
Kesimpulannya, kajian ijtihad dengan ra’yu dalam takwil, harus sesuai dengan persyaratannya, tidak hanya sebatas pengambilan istimbath berdasarkan akal semat-mata, melainkan yang berlandaskan pada bahasa yang mampu menghasilkan arti yang tercakup dalam arti lafazh tersebut.


Makalah Nasikh wal Mansukh
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’ secara bahasa ada empat (4) yaitu :
a.       Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).
b.      Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c.       Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d.      Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Adapun dari segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan naskh dengan, para ulama’ mendefinisikan naskh dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’I “(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi menghapuskan dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’  ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.[10]


B.     RUKUN DAN SYARAT NASIKH
Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum, hubungan antara  ketentuan hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu  ayat  dengan  ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:
Adapun rukun-rukun nasikh
1.      Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.
3.      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4.      Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat nasikh:
1.      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2.      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.      Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.[11]

C.    Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam AL-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu:
1.      Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :

 (Mohon Maaf ayat Al-Qur'an tidak bisa tampil, silahkan di masukan sendiri yaa)

Artinya : “Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti” ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama :

 (Mohon Maaf ayat Al-Qur'an tidak bisa tampil, silahkan di masukan sendiri yaa)

Artinya : “Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu  orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
b.      Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2):
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف  حقاعلى المتقين
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf”
Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
c.       Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
d.      Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan ukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu:
a.       Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah)secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya : “Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an”
b.      Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 )

(Mohon Maaf ayat Al-Qur'an tidak bisa tampil, silahkan di masukan sendiri yaa)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang” (QS.Mujadilah : 12)
Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13 :

(Mohon Maaf ayat Al-Qur'an tidak bisa tampil, silahkan di masukan sendiri yaa)

Artinya : “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” ( QS.Al-Mujadilah : 13 )
c.       Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat  rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah :
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya : “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”
Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam :
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة .
Artinya : “Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”
D.    CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.      Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
2.      Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3.      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).[12]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Arti Al-Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya suatu perkara atau lafaz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan. Sedangkan, arti Al-mubayyan menurut bahasa adalah: yang menjelaskan. Maksudnya adalah suatu lafaz yang mengandung penjelasan.
Muradif  menurut bahasa artinya adalah membonceng/ikut serta. Sedangkan musytarak artinya menurut bahasa adalah berserkat, berkumpul.
Zhahir itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain. Sedangkan takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain , tetapi bukan zhahirnya.
Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip serta mengubah dan mengganti.segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan naskh dengan, para ulama’ mendefinisikan naskh dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’I “(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Sedangkan, mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’  ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.

B.     Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
A. Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2.  Jakarta: Kencana.
Abu Anwar, 2002. Sebuah Pengantar Ulum Al-quran Bekasi: Media Grafika.
Rachmat Syafe’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqih.  Bandung: Pustaka Setia.
Rosihon Anwar. 2008. Ulum Al-quran. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syafi’i Karim. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Tengku Mohammad. 2002. Ilmu-Ilmu Al-quran. Semarang: PT Pustaka Riski Putra.



[1] A. Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2” Kencana, Jakarta, 2010, Hal. 108-109
[2] Ibid.” Ilmu Ushul Fiqih. . . Hal. 109 - 111
[3] Ibid.” Ilmu Ushul Fiqih. . . Hal. 113 - 115
[4] Syafi’i Karim, “Fiqih Ushul Fiqih”, Pustaka Setia, Bandung: 2001, hal. 192-194
[5] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih”, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 152
[6] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 121
[7] Saifuddin Shidik, Ushul Fiqih, (Jakarta: Intimedia, 2005),  hlm. 126
[8] H.A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 48
[9] H.A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 122
[10] Tengku Mohammad, Ilmu-Ilmu Al-quran (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2002), hlm. 150
[11] Rosihon Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),  165-166
[12] Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika, 2002),  hlm. 53

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah tentang: BAIK DAN BURUK

LANDASAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN

Makalah tentang Rabi'ah al-Adawiyah