Makalah tentang: BAIK DAN BURUK


            Kepada seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini terdapat kesalahan,  juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari. 



         Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
         
           Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.

Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:
 








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Baik dan buruk adalah persoalan yang pertama kali muncul di kalangan para filsuf Yunani. Persoalan ini pula yang menjadi pembicaraan utama dalam kajian ilmu akhlak dan ilmu estetika. Sebelum membahas lebih dalam tentang baik dan buruk alangkah baiknya untuk memahami kedua istilah tersebut yaitu baik dan buruk. Istilah baik dan buruk merupakan dua kata yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Bahkan, setiap filsuf hampir mebicarakan persoalan ini, terutama para filsuf dari kalangan Marxisme. Di kalangan para teolog, persoalan ini memunculkan perdebatan yang sengit diantara aliran – aliran. Mu’tazilah, umpanya, berpendapat bahwa akal manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Ini berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wa Jamaah, diantaranya Asy’ariyyah. Mereka berpendapat bahwa penentu baik dan buruk mutlak merupakan otoritas wahyu, bukan domain akal.
Pembicaraan mengenai baik dan buruk penting karena dua alasan. Pertama, persoalan ini menjadi pembahasan utama ilmu akhlak sekaligus menjadi inti keberagaman seseorang. Kedua, mengetahui pandangan Islam tentang persoalan ini di tengah maraknya berbagai aliran yang memperbincangkan persoalan ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian baik buruk itu?
2.      Bagaimana pandangan(ukuran) islam mengenai baik dan buruk itu?
3.      Apa saja aliran-aliran baik buruk pada masa itu?



C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian baik dan buruk.
2.      Mengetahui cara pandang (ukuran) mereka mengenai sifat baik dan buruk.
3.      Mengetahui aliran-aliran penggagas pada masa itu.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Baik dan Buruk
Pengertian baik secara bahasa adalah terjemahan dari kata khoir dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma`luf dalam kitab Munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan[1]. Selanjutnya, yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepuasan. Yang baik itu juga sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik itu adalah sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Adapula pendapat bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, apabila hal tersebut menuju kesempurnaan manusia. Sedangkan kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkrit.
Dari beberapa kutipan diatas, menggambarkan bahwa yang disebut baik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia. Dengan mengetahui sesuatu yang baik, maka akan mempermudah dalam mengetahui yang buruk. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal dengan istilah syarr. Dan diartikan dengan sesuatu yang tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai, keji jahat, tidak bermoral dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat  yang berlaku. Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik.
Definisi diatas, memberikan kesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relatif sekali, karena tergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang merumuskan. Dengan demikian nilai baik atau buruk menurut pengertian tersebut bersifat relatif dan subyektif, karena bergantung kepada individu yang menilainya. [2]
Dalam mendefinisikan baik buruk, setiap orang pasti berbeda- beda. Sebab sumber penentu baik dan benar, yaitu Tuhan dan manusia, wahyu dan akal, agama dan filsafat.

B.     Ukuran Baik dan Buruk
Kebanyakan manusia berselisih dalam pandangannya mengenai sesuatu: diantara mereka ada yang melihatnya baik dan diantara mereka ada yang melihatnya buruk, bahkan ada orang yang melihat sesuatu baik dalam waktu ini, lalu melihatnya buruk pada waktu lain.
Setiap gerak dan langkah untuk mencari nilai, sudah tentu manusia memiliki suatu standar untuk mengukur sesuatu yang baik dan buruk, kendati ukuran tersebut berlainan antara yang satu dengan yang lainnya.
Ukuran baik dan buruk dalam ilmu akhlak antara lain:
1.      Adat Istiadat
Adat istiadat yang berlaku dalam kelompok ataupun masyarakat tertentu menjadi salah satu ukuran baik dan buruk anggotanya dalam berperilaku. Melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan masyarakat sekitarnya ataupun kelomponya akan menjadi problem dalam beriteraksi. Masing-masing kelompok atau masyarakat tertentu memiliki batasan-batasan tersendiri tentang hal-hal yang harus diikuti dan yang harus dihindari. Sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat satu belum tentu demikian menurut masyarakat yang lain. Mereka akan mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang mereka anggap baik dan melarang melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan mereka.


2.      Nurani
Jiwa manusia memiliki kekuatan yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.Kekuatan tersebut dapat mendorongnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat buruk. Jiwanya akan merasa bahagia jika telah  berbuat baik dan merasa tersiksa jika telah berbuat buruk. Kekuatan ini disebut nurani. Masing-masing individu memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kekuatan ini dapat menyebabkan perbedaan persepsi tentang sesuatu yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
3.      Rasio
Rasio merupaka anugrah Tuhan yang diberika kepada manusia, yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan rasio yang dimiliki, manusia dapat menimbang mana perkara yang baik dan yang buruk.Dengan akalnya manusia dapat menilai bahwa perbuatan yang berakibat baik layak disebut baik dan dilestarikan, dan begitu sebaliknya. Penilaian manusia akan terus berkembang dan mengalami perubahan dengan pengalaman-pengalaman yang mereka miliki.
4.      Pandangan individu
Kelompok atau masyarakat tertentu memiliki anggota atau masyarakat yang secaraindividual memiliki pandangan atau pemikiran yang berbeda dengan kebanyakan orangdi kelompoknya.Masing-masing individu memiliki kemerdekaan untuk memiliki pandangan dan pemikiran tersendiri meski harus berbeda dengan kelompok atau masyarakatnya.Masing-masing individu memiliki hak untuk menentukan mana yang dianggapnya baik untuk dilakukandan mana yang dinggapnya buruk. Tidak mustahil apa yang semula dianggap buruk oleh masyarakat, akhirnya dianggap baik, karena terdapat seseorang yang berhasil meyakinkan kelompoknya bahwa apa yang dianggapnya buruk adalah baik.
5.      Norma Agama
Saluruh agama didunia ini mengajarkan kebaikan. Ukuran baik dan buruk menurut norma agama lebih bersifat tetap, bola dibandingkan dengan ukuran baik dan buruk dimata nurani, rasio, adat istiadat dan pandangan individu. Keempat ukuran tersebut bersifat relative dan dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu.ukuran baik dan buruk yang berlandaskan norma agama kebenarannya lebih dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, Karena norma agama merupakan ajaran tuhan Tuhan yang maha suci. Disamping itu, ajaran tuhan lebih bersifat universal. Lebih terhindar dari subyektifitas individu maupun kelompok.
Sejalan denganperkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna berhubungan erat dengan pandangan filsafat tentang manusia dan ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya.
6.      Kebahagiaan (Hedonism)
Kebanyakan filosofi berpendapat bahwa tujuan akhir dari hidup dan kehidupan manusia ialah untuk mencapai kebahagiaan. Perbuatan manusia dapat dikatakan baik bila ia mendatangkan kebahagiaan, kenikmatan dan kelezatan. Para pengikut aliran hedonism membagi kebahagiaan menjadi dua ialah :
a.       Kebahagiaan diri (Egoistic Hedonism)
Pendapat ini mengatakan bahwa manusia itu hendaknya mencari sebanyak mungkin kebahgiaan untuk dirinya dan mengorientasikan segala usahanya ke arah kebahagiaan.
b.      Kebahagiaan bersama (Universalistic Hedonism)
Paha ini menghendaki agar manusia mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesame manusia, bahkan untuk segala makhluk yang berperasaan. Untuk memberikan nilai terhadap suatu perbuatan bahwa ia baik atau buruk, yang perlu diperhatikan adalah kesenangan dan kepedihan yang diakibatkan oleh perbuatan itu. Dalam hal ini bukan untuk diri sendiri tetapi untuk seluruh makhluk, ikut merasakan kenikmatan dari akhibat perbuatan itu.
Karena kesenangan yang dikehendaki oleh pengikut paham ini bukan kenikmatan bagi orang yang melakukannya, tetapi kenikmatan semua orang yang ada hubungannya dengan perbuatan itu, maka si pembuat harus menjadi pokok pandangan setiap orang. Suatu perbuatan bernilai keutamaan bila menghasilkan kebahagiaan kepada manusia. Dia adalah utama, meskipun menghasilkan kepedihan kepada sebagian kecil orang atau kepada si pembuat sendiri.
Setelah meninjau secara seksama tentang tolak ukur perbuatan manusia dengan kebahagiaan, ada beberapa kelemahan yang terdapat di dalamnya :
1)      Nilai yang diberikan berfifat local dan temporal. Artinya suatu perbuatan memberi manfaat bagi manusia suatu bangsa, tetapi merugikan bagi bangsa lain, menyenangkan pada hari ini tetapi menyedihkan pada hari esok.
2)      Nilai yang diberikan bersifat subyektif, yakni tergantung pada masing-masing orang yang membutuhkannya. Jika sesuai keinginan, mendatangkan kebahagiaan baginya, belum tentu bagi orang lain.
3)      Paham ini hanya memandang hasil dari suatu perbuatan, tanpa melihat pada niat dan cara si pembuat dalam menjalankan perbuatannya. Hal ini tidak dibenarkan dalam ajaran akhlak.
4)      Pendapat yang mengatakan bahwa tujuan hidup itu hanya mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan merendahkan martabat manusia dan tidak pantas kecuali bagi jenis perbuatan dan akibatnya.[3]
7.      Intuisi (Intuition)
Intuisi merupakan kekuatan batin yang dapat mengenal sesuatu yang baik atau buruk dengan sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Paham ini berpendapat bahwa tiap manusia itu mempunyai kekuatan batin sebagai suatu instrument yang dapat membedakan baik dan buruk. Kekuatan ini dapat berbeda antara seorang dengan yang lainnya karena perbedaan masa. Tetapi tetap berakar dalam tubuh tiap individu.
Apabila ia melihat suatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang memberi tahu nilai perbuatan itu lalu menetapkan hokum baik dan buruknya, sebagaimana diberikan mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar. Melihat sekilas pandangan dapat menetapkan putih atau hitamnya sesuatu. Mendengar suara dapat menyatakan bahwa ia merdu atau tidak. Demikian pula bila melihat suatu perbuatan dapat menetapkan baik buruknya.[4]

C.    Macam-macam aliran serta gagasan mereka mengenai baik dan buruk
1.      Aliran Hedonisme
Aliran Hendonisme berpendapat bahwa norma baik dan buruk adalah “kebahagiaan” karenanya suatu perbuatan apabila dapat mendatangkan kebahagiaan maka perbuatan itu baik, dan sebaliknya perbuatan itu buruk, apabila mendatangkan penderitaan. Baik dan buruk adalah berdasarkan pertimbangan nafsu dan naluri.[5]
Beberapa pandangan aliran hendonisme:
a.       Setiap perbuatan yang dikatakan itu susila apabila perbuatan itu mengandung kelezatan dan kenikmatan;
b.      Kelezatan dan kenikmatan merupakan suatu tolak ukur dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan.
2.      Aliran Eudaemonisme
Aliran ini ditemukan oleh Aristoteles (384-322 SM). Dalam bukunya, nicomedian ethics, ia mengenukakan bahwa dalam setiap kegiatannya, manusia mengejar  suatu tujuan, sedangkan tujuan btertinggi atau terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan. Akan tetapi, Aristoteles beranggapan bahwa tidak semua hal bisa diterima sebagai kebahagiaan. Ada yang beranggapan kesenangan sebagai kebahagiaan, dan ada pula yang mengnggap ketentraman sebagai kebahagiaan.
3.      Aliran Utilitarianisme
Maksud dan paham ini adalah agar manusia dapat mencari kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sesama manusia atau semua makhluk yang memiliki perasaan.
4.      Aliran Intuitionisme
Aliran Intuitionisme berpendirian bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan naluri batiniah yang dapat mambedakan sesuatu itu baik atau buruk dengan hanya selintas memandang. Jadi, sumber pengetahuan tentang suatu perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk adalah kekutan naluri, kekuatan batin atau bisikan hati nurani. Baik dan buruk adalah berdasarkan ilham ataupun kekuatan batin seseorang.[6]
5.      Aliran Naturalisme
Yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia menurut aliran naturalisme ialah perbuatan yang sesuai dengan fitrah/ naluri manusia itu sendiri, baik mengenai fitrah lahir maupun fitrah batin. Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang menjadi tujuan dari pada setiap manusia di dapat dengan jalan memenuhi panggilan nature atau kejadian manusia itu sendiri. Itulah sebabnya aliran ini disebut naturalisme.
Manusia menuju tujuannya dengan naluri akal pikirannya. Karena akal pikiran itulah yang menjadi wasilah bagi manusia untuk mencapai tujuan kesempurnaan, maka manusia harus melakukan kewajibannya dengan berpedoman kepada akal. Akhlak yang menjadi pedoman hidupnya. Seolah-olah naluri itulah jalan lurus, dimana akal sebagai suluh yang manerangi menuju jalan tujuan kesempurnaan.[7]


6.      Aliran Theologis
Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, adalah didasarkan atas ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu diperintahkan atau dilarang oleh-Nya. Segala perbuatan yang diperintahkan tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh tuhan itulah perbuatan yang buruk.
7.      Aliran Deontologi
Menurut aliran ini, suatu tindakan dianggap baik bukan berdasarkan tujuan ataupun dampak perbuatan itu, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, perbuatan tersebut bernilai moral karena tidakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu.
8.      Aliran Prakmatisme
Aliran ini menitik beratkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri, baik yang bersifat moril maupun materiil. Titik beratnya adalah pengalaman. Oleh karena itu, penganut paham ini tidak mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran bersifat abstrak dan akan diperoleh dalam dunia empiris.
9.      Aliran eksistensialisme
Etika eksistensialisme berpandangan bahwa eksistensi di atas dunia selalu terikat pada keputusan-keputusan individu. Artinya, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan, pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangatlah menentukan terhadap suatu yang baik, terutama bagi kepentingan dirinya. Ungkapan dari aliran ini adalah Truth is subjectivity atau kebenaran terletak pada pribadinya maka disebutlah baik, sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya maka itulah yang buruk.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Baik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan luhur, bermartabat, menyenangkan, disukai manusia dan memiliki tujuan yang baik. Sedangkan buruk adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang rendah, hina, menyusahkan, dibenci manusia dan tidak mempunyai tujuan yang baik.
Ukuran baik dan buruk dalam ilmu akhlak antara lain adat istiadat, nurani, rasio, pandangan individu dan norma agama.
Aliran-aliran baik buruk pada masa itu antara lain aliran hedonisme, eudaemonisme, utilitarianisme, intuitionisme, naturalisme, theologis, deon-tology, prakmatisme dan eksistensialisme.

B.     Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis. Kami selaku penyusun makalah tersebut mengharapkan saran, dan ide yang bisa membangun, untuk  melengkapi makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Louis Ma`luf, Munjid, al-Maktabah al-Katulikiyah, tt. Beirut.

Nata, Abuddin. 2006.  Akhlak Tasawuf. Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Dudung Rahman Hidayat, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan. Bagian 3 Pendidikan Disiplin ilmu, (Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, 2007.


Rohison Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Mohd liki hamid, Pengajian tamadun islam, (Jakarta: Propesional pendidikan, 2008.

Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro,1993).



[1] Louis Ma`luf, Munjid, al-Maktabah al-Katulikiyah, tt. Beirut, h. 198
[2] Abuddin Nata, 2006.  Akhlak Tasawuf. Jakarta : Rajagrafindo Persada. h. 104
[3] Dudung Rahman Hidayat, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan. Bagian 3 Pendidikan Disiplin ilmu, (Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, 2007), hal 19
[5] Rohison Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 72
[6] Mohd liki hamid, Pengajian tamadun islam, (Jakarta: Propesional pendidikan, 2008),         h. 121
[7] Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro,1993), hal. 43.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LANDASAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN

Makalah tentang Rabi'ah al-Adawiyah