HADIS TENTANG OBYEK DIDIK DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN
A. Hadis tentang Potensi fitrah pada anak (LM:
1702)
1. Potensi Fitrah pada anak
حديث أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ. قَالَ النَّبِىِّ صلى
الله عليه و سلم: (مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إَلاَّيُوْلَدُ
عَلَى الفِطْرَةِ. فَأَبَوَهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ. كَمَا تُنْتَجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ
تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ؟)
ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْهُرَيْرَةَ رضي
اللهُ عنه: فِطْرَةَ اللهِ التِّى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ, ذَالِكَ الدِّيْنُ القَيِّمُ-
أخرجه البخرى
Artinya:
Abuhurairah r.a berkata: Nabi SAW. Bersabda: Tiada bayi yang dilahirkan
melainkan lahir di atas fitrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya menjadi yahudi, nasrani, dan majusi, sebgai lahirnya binatang yang
lengkap sempurna. Apakah ada binatang yang lahir terputus telinganya? Kemudian
Abuhurairah r.a membaca: Fitrallahi Allati Fatharannaasa alaihi, laa Tabdila Likhalqillahi (fitrah yang
diciptakan Allah pada semua manusia, tiada perubahan terhadap apa yang dicipta
oleh Allah). Itulah agama
yang lurus. (Bukhari,
Muslim).
2.
Mufradat
lahirnya binatang
: تُنْتَجُ البَهِيْمَةُ
lengkap / sempurna
: جَمْعَاءَ
tiada perubahan
: لاَتَبْدِيْل
3. Penjelasan Hadis
At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan,
dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn)
Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya
bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah
janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana
diisyaratkan dalam surah al-A’raf 172-173 :
Artinya: 172.Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
173. Atau
agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunan
yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami Karena
perbuatan orang-orang yang sesat dahulu[582]?"
[582]
Maksudnya: agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa
bapak-bapak mereka dahulu Telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka tidak tahu
menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada lagi jalan bagi mereka,
hanyalah meniru orang-orang tua mereka yang mempersekutukan Tuhan itu. Karena
itu mereka menganggap bahwa mereka tidak patut disiksa Karena kesalahan
orang-orang tua mereka itu.
Maka fitrah yang adalah seperti yang disampaikan oleh Ibn Abd
al-Bar dan Ibn ‘Athiyah, yaitu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada diri
anak ketika dilahirkan, yang menyediakan atau menyiapkan untuk mengidentifikasi
ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikan dalil pengakuan terhadap Robb-nya,
mengetahui syaritnya dan mengamatinya.
Abu al-‘Abbas menyatakan bahwa Allah Swt. menciptakan hati anak
Adam siap untuk menerima kebenaran seperti menciptakan mata siap untuk melihat
dan telinga siap untuk mendengar. Hanya saja, faktor-faktor berupa bisikan
setan jin maupun setan manusia serta hawa nafsu bisa meggelincirkannya dari
kebenaran. Jadi, ibu-bapaknya dalam hadis di atas merupakan permisalan dari
bisikan setan yang menjadikannya seorang kafir atau musyrik.
Ibn al-Atsir mengomentari hadis di atas: Fitrah adalah ciptaan atau
kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadis
tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari
jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siap-sedia untuk menerima agama. Hal senada
diungkapkan oleh Zamakhsyari. (Al-Fâ’iq, 3/128).
Berdasarkan nash-nash di atas, maka makna fitrah adalah
karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap
manusia sejak dilahirkan.
Jika kita analisis, karakteristik bawaan itu tidak lain adalah
potensi kehidupan manusia berupa hajât al-‘udhâwiyah (kebutuhan untuk tetap
hidup) dan gharâ’iz—jamak dari gharîzah—(naluri/insting). Tabiat yang berupa
kesiapan menerima agama dan kelurusan itu tidak lain adalah gharîzah
at-tadayyun (naluri beragama). Jadi, kesaksian dalam surat al-A'raf tersebut
adalah kesaksian naluriah/instingtif (syahâdah ghâriziyyah atau syahâdah
fithriyyah) dan bukan kesaksian imani (syahâdah îmâniyyah). Kesaksian itu tidak
akan bisa dilupakan oleh manusia karena melekat dalam dirinya dan tidak akan
hilang sampai kematiannya dan sampai generasi manusia yang terakhir.
Sumber lain menyebutlan bahwa Orang Nasrani
percaya, bahwa anak lahir itu membawa dosa warisan. Untuk menebus dosa yang di
bawa anak baru lahir itu, maka Isa di Salib. Tujuannya untuk menebus dosa
manusia.
Lalu Islam menjelaskan, bahwa bayi lahir
itu Fitroh. Yang menjadikan Nasrani, Majusi adalah kedua orang tuannya. Sesuai
dengan Surat Ar-Ruum ayat: 30
artinya: 30. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168].” (QS. Ar-Ruum: 30)
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah.
manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau
ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak
beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan. Dengan pentingnya
Tabularasa, konvergensi dan lain-lain.
Setelah anak itu di didik oleh kedua orang tuanya, maka pendidik
selanjutnya adalah lingkungan. Tetapi, Allah menciptakan manusia itu mempunyai
naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
maka itu hanya pengaruh lingkungan.
Maka, lingkungan itu penting sekali untuk perkembangan anak. Maka kita
harus berhati-hati dalam memilih lingkungan. Kalau lingkungan itu bagus, maka
perkembangan jiwa anak itu akan bagus. Tapi bisa sebaliknya. Kalau manusia itu di dalam akal atau pikirannya sudah
tahu yang benar dan yang salah, maka itu dirinci oleh al qur’an. Memang,
manusia perlu dan butuh al qur’an. Dan manusia harus:
a. Baca al qur’an
b. Memahami isi al qur’an
c.
Melaksanakan isi al qur’an
d. Menyiarkan atau mengamalkan al qur’an
sampai akhir zaman.
B. Hadis tentang Tahapan Penciptaan Manusia
(LM: 1702)
1. Tahapan penciptaan manusia
عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَا لَ: حَدَّثَنَا رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ، قَالَ:
إِنَّ أًحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
ثُمَّ يَكُوْنُ عَلًقًةً مِثْلَ ذًلِكَ. ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذًلِكَ. ثُمَّ يَبْعَثُ الله مَلًكًا فًيُؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلًهُ وَرِزْقَهُ وَأًجَلَهُ
وَشَفِيٌّ أَوْسَعِيْدٌ. ثُمَّ يُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوحُ فَإِ نَّ
الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجَنَّةً
إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كَتَابُهُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ. وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ النَّارِإٍلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَا بُ،
فًيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
{أخرجه البخا
ري في :٥٩ كتا ب بدء الخلق :٦ با ب ذكر الملا ئكة}
Artinya: “Hadist Abdullah bin Mas’ud RA ia berkata: Rasulullah SAW, yang benar dan
harus dibenarkan telah menerangkan kepada kami: sesungguhnya seorang terkumpul
kejadiannya dalam perut ibunya empat puluh hari berupa mani, kemudian berupa
sekepal darah selama itu juga, kemudian berubah berupa sekepal daging selama
itu juga, kemudian Allah mengutus Malaikat yang diperintah mencatat empat
kalimat dan diperintah: tulislah amalnya, rizqinya, ajalnya dan nasib baik atau
sial (celaka), kemudian ditiup ruh kepadanya. Maka sesunggunya adakalanya
seorang dari kamu melakukan amal ahli surga sehingga antaranya dengan surga
hanya sehasta, tetapi ada ketentuan dalam suratan pertama, tiba-tiba melakukan
amal ahli neraka, dan adalakanya seorang berbuat ahli neraka sehingga antaranya
dengan neraka hanya sehasta, tiba-tiba dalam ketentuan suratannya ia berubah
mwngerjakan amal ahli surga” {Bukhari dan Muslim}
2.
Penjelasan kata
·
يُجْمَعُ (dikumpulkan)
maksudnya dengan pengumpulan disini adalah penggabungan sebagiannya dengan
sebagian lainnya setelah tercerai berai.
·
خَلْقَ (penciptaan)
adalah bentuk mashdar yang digunakan untuk mengungkapkan tentang tubuh.
·
يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّه (dikumpulkan {penciptaannya}
di dalam perut ibunya). Al Qurthubi dalam kitab Al-Mufhim berkata,
“maksudnya, mani masuk kedalam rahim ketika memancar dengan kuat akibat
dorongan syahwat sehingga berceceran, lalu Allah menghimpunnya di tempat anak
di dalam rahim.
·
أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا (selama empat puluh
hari) tanpa keraguan. Sedangkan dalam riwayat Salamah bin Kuhil disebutkan,
أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً (empat puluh malam) tanpa keraguan.
Kesimpulannya, yang dimaksud adalah hari dan malamya, atau malam dan harinya.
·
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَا بُ (lalu ia lalui oleh
ketetapan itu). Dalam riwayat Abu Al Ahwash disebutkan, كِتَا بَةٌ (catatan). Huruf fa’
pada kalimatفَيَسْبِق (lalu ia didahului) mengisyaratkan hal itu terjadi
secara langsung tanpa jeda. Kata يَسْبِق juga mengandung makna
mendominasi, demikian yang dikatakan oleh Ath-Thaibi. Kata عَلَيْهِ berada pada posisi
nashab karena berfungsi sebahai hal (keterangan kondisi)
3. Penjelasan hadis
a. Penjelasan Fase
perkembangan janin di dalam rahim:
Hadits diatas ini
menunjukkan bahwa janin diciptakan seratus dua puluh hari dalam tiga tahapan.
Setiap tahapan adalah selama empat puluh hari. Pada empat puluh hari pertama
berupa nuthfah, pada empat puluh hari kedua berupa ‘alaqah dan
empat puluh hari ketiga berupa mudhghah, dan pada hari ke seratus dua
puluh, malaikat meniupkan ruh kepadanya, lalu dituliskan baginya kalimat. Allah
Ta’ala menyebutkan dalam
kitab-Nya bahwa janin diciptakan dalam fase-fase tersebut, sebagaiamana
firman-Nya:
Artinya: 12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. Kemudian kami jadikan saripati
itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian air mani itu kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-Mukminun:
12-14)
Dalam ayat ini Allah
menyebutkan empat fase yang disebutkan didalam hadits, lalu menambahinya dengan
fase lainnya sehingga menjadi tujuh fase.
Hikmah dari penciptaan
Adam dengan urutan-urutan diatas sesuai dengan hukum perkembangan dan tahapan
dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, walau sesungguhnya Allah Mahakuasa
untuk menciptakannya sekaligus dalam waktu sekejap, adalah agar adanya kesesuaian
penciptaan manusia dengan penciptaan alam yang luas, sesuai dengan hukum
sebab-akibat, pendahuluan dan kesimpulan (mukaddimah dan natijah). Ini
merupakan penjelsan yang paling gambling tentang kekuasaan Allah. Dengan
pentahapan ini Allah mengajarkan kepada para hamba-Nya untuk bertindak tenang
dan tidak tergesa-gesa dalam urusan mereka. Ini juga merupakan pemberitahuan
bahwa jiwa akan meraih kesempurnaan dengan cara bertahap sesuai dengan
bertahapnya jasad dalam penciptaannya dari satu fase ke fase berikutnya hingga
mencapai dewasa. Maka demikian pula yang semestinya berlaku pada pembinaan
akhlak. Jika tidak, maka dia akan berjalan serampangan tanpa arah yang jelas.
b.
Penjelasan ditiupnya
ruh
Para ulama bersepakat bahwa ruh ditiupkan ke dalam janin setelah janin
berumur seratus dua puluh hari terhitung dari mulai terjadinya pembuahan. Yaitu
ketika usia kehamilan sudah empat bulan dan memasuki bulan yang kelima.
Semua itu benar berdasarkan kenyataan yang dapat disaksikan, maka semenjak
itu ditetapkan hukum-hukum untuk memenuhi kebutuhannya seperti hukum tentang
penyandaran nasabnya dan kewajiban pemberian nafkah. Dan hal itu diyakinkan
dengan bergeraknya janin dalam rahim. Inilah hikmah mengapa istri yang
ditinggal mati suaminya, masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Alasannya ialah untuk meyakinkan bahwa rahimnya benar-benar kosong dari janin
tanpa ada sedikit pun tanda-tanda kehamilan. Ruh, yang membuat manusia hidup,
adalah urusan Allah sebagaimana firman-Nya,
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Isra: 85)
Dalam syarah Muslim
karangan Imam Nawawi disebutkan bahwa ruh adalah jasad halus yang mengalir
dalam badan dan merambat di dalamnya sebagaimana merambatnya air didalam batang
pohon yang hidup. Dalam kitab Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali berkata,
“ruh adalah unsur yang berdiri sendiri yang bekerja di dalam badan.”
c.
Penjelasan tentang Ilmu
Allah Ta’ala
Sesungguhnya Allah mengetahui keadaan makhluk sebelum penciptaannya. Maka,
tidak ada satu keadaan pun berupa iman, taat, kafir, maksiat, bahagia dan
celaka kecuali semuanya diketahui oleh Allah dan berdasarkan kehendak-Nya.
Banyak nash dari kitab yang menjelaskan hal itu.
Dalam riwayat Bukhari dari Ali bin Abi Thalib RA dari Nabi SAW berkata, “Tidak ada makhluk yang bernafas
kecuali Allah telah menentukan tempatnya
di surga atau di neraka, telah dituliskan celaka atau bahagia.” Seseorang
bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita berpegang dengan ketentuan tersebut dan
meninggalkan amal?” Nabi menjawab, “Bekerjalah kalian dan setiap orang akan
diberikan kemudahan sesuai dengan yang diciptakan baginya. Adapun orang-orang
yang berbahagia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan-amalan kebaikan dan
orang-orang celaka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan-amalan yang akan
menghantarkan kepada kecelakaan.”
Kemudian beliau membaca firman Allah,
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga),” (Q.S. Al-Lail: 5-6)
Ilmu Allah tidak menghalangi
kebebasan hamba untuk memilih dan meraih apa yang mereka inginkan. Karena ilmu
adalah sifat yang tidak memiliki pengaruh. Allah memerintahkan makhluk-Nya
untuk beriman dan taat, melarang mereka untuk kufur dan maksiat dan itu merupakan
bukti bahwa hamba memilki kebebasan untuk memilih dan meraih apa yang mereka
inginkan. Karena kalau tidak demikian, maka sia-sialah semua perintah dan
larangan-Nya dan ini mustahil bagi Allah SWT. Allah berfirman,
Artinya: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syam: 7-10)
d.
Penjelasan tentang amal
dinilai dengan akhirnya
Riwayat bukhari dari Sahal bin Sa’ad dari Nabi SAW, beliau bersabda,
“sesungguhnya amal itu tergantung kepada niatnya.” Artinya barangsiapa yang
baginya dituliskan keimanan dan ketaatan di akhir umurnya, adakalanya dia kufur
dan maksiat pada suatu saat, kemudian Allah memberi taufik kepadanya dengan
keimanan dan ketaatan pada waktu menjelang akhir hayatnya. Dia meninggal dalam
keadaan demikian, maka dia masuk surga. Barangsiapa yang telah ditetapkan
baginya kekufuran dan kefasikan di akhir hayatnya. Walau dalam suatu waktu dia beriman dan taat, kemudian Allah
membiarkannya – dikarenakan usaha, amal dan keinginannya – dia mengatakan
kalimat kekufuran, lalu beramal dengan amal ahli neraka dan meninggal dalam
keadaan demikian, maka dia masuk neraka.
Maka janganlah seseorang tertipu dangan apa yang tampak dari keadaan
seseorang, karena yang dinilai adalah akhirnya, jangan pula berputus asa atas
keadaan seseorang karena yang dinilai adalah akhir umurnya. Kita memohon kepada
Allah keistiqamahan dalam kebenaran, kebaian dan khusnul khatimah.
C.
Hadis tentang Pengaruh
Pergaulan (LM: 1687)
1. Pengaruh pergaulan
وَ عَنْ أَ بِيْ مُوْ سَى رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَثَلُ الْجَلِيْسِ
الصَّا لِحِ السُّوْءِ, كَحَا مِلِ الْمِسْكِ, وَنَا فِخِ الْكِيْرِ, فَحَا مِلُ الْمِسْكِ
إِمَّا أَنْ يُحْذِ يَكَ, وَإِمَّا أَنْ تَبْتَا عَ مِنْهُ, وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ
مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً. وَ نَا فِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَا بَكَ,
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا خَبِيشَةً. (أخرجة البخارى)
Artinya: Abu Musa
r.a berkata: Nabi Saw, bersabda; Perumpamaan kawan yang baik dan yang jelek,
bagaikan pembawa misik (kasturi) dengan peniup api tukan besi, maka yang
membawa misik adakalanya memebri tahumu atau anda membeli padanya, atau mendapat
bau harum dari padaya. Adapun peniup api tukang besi, jika tidak membakar
bajumu atau anda mendapat bau yang busuk dari padanya. (Bukhari)
2.
Kosa kata (Mufradat)
a. الْجَلِيْسِ
|
Asalnya
diartikan orang yang duduk kemudian diartikan teman duduk, teman akrab.
|
b. السُّوْءِ
|
Boleh
dibaca sau’ atau su’ berarti; yang membencikan yakni teman yang
berwatak buruk atau nakal yang membencikan orang lain.
|
c. كَحَا مِلِ
الْمِسْكِ
|
Seperti
pembawa minyak misik atau minyak kasturi. Minyak kasturi itu berasal dari
darah kijang yang tersimpan dalam kantong yang berada dekat dengan lehernya.
|
d. وَنَفِخِ
الْكِيْرِ
|
Peniup api
untuk keperluan patria tau las. Asal arti al-kir adalah sebuah alat
pompa angin yang dibuat dari kulit binatang, biasanya dipakai oleh tukang
besi seperti patri.
|
e. أَنْ
يُحْذِ يَكَ
|
Ia memberi
minyak kepadamu
|
f.
أَنْ
تَبْتَا عَ
|
Engkau
membeli
|
g. أَنْ
يُحْرِقَ ثِيَا بَكَ
|
Api itu
membakar pakaianmu
|
h. رِيْحًا خَبِيشَةً
|
Bau tidak
enak, busuk
|
3.
Penjelasan Hadis
Hadis ini
membimbing kepada umat manusia bagaimana membentuk keperibadian yang baik yang
merupakan cita-cita dan tujuan pendidikan dalam islam. Salah satunya adalah
faktor pengaruh dari teman pergaulan dimana seseorang itu hidup. Dalam
pendidikan, teman mempunyai pengaruh yang menentukan dalam pembentukan watak,
karakter atau kepribadian seseorang di samping faktor lain, karena melalui
teman inilah manusia sangat mudah dibentuk dan diwarnai pola hidup, pola pikir
dan perilaku. Rasulullah Saw. Memberikan perumpamaan teman yang baik dan teman
yang nakal atau teman yang buruk wataknya, sebagai berikut :
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّا
لِحِ وَجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَا مِلِ الْمِسْكِ وَنَا فِخِ الْكِيْرِ
“Sesungguhnya
perumpamaan bergaul dengan teman shalih dan teman nakal adalah seperti berteman
dengan pembawa minyak kesturi dan peniup api.”
Maksud teman disini adalah teman akrab sehari-hari
sehingga terjadi interaktif antara dua belah pihak. Dalam hadis diatas
diungkapkan dengan kata al-Jalis artinya
teman duduk dimaksudkan lebih umum bukan teman dalam duduk saja tetapi
dalam segala hal, baik teman duduk, maupun berdiri, teman se-iya atau sekata
atau teman akrab. Berbeda dengan teman sekedar atau sesaat dalam suatu tempat
atau teman yang menjadi sasaran tujuan misalnya bergaul dengan anak nakal ada
tujuan agar bisa merubah sikapnya menjadi baik.
Sebagian ulama mengartikan kata”al-Jalis”
dengan teman mujalasah duduk berbincang-bincang. Hadis diatas
menganjurkan untuk duduk bersama berbincang-bincang yang baik seperti majlis
zikir, majlis ilmu, dan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Sebaliknya jauhilah
duduk bersama teman yang berbincang-bincang tentang hal-hal yang tidak baik
atau yang tidak ada manfaatnya seperti bergunjing, berdusta, omong porno dan
sebagainya. Dalam menggambarkan bagaimana pengaruh teman, Rasul Saw. Membuat
perumpamaan yang mudah dicerna dan dipahami oleh akal manusia biasa.
Ada beberapa titik temu atau persamaan antara beberapa
sifat yang dijadikan perumpamaan Rasul dalam hadis :
a.
Persamaan teman baik dengan pembawa
minyak kasturi
Persamaan
kedua hal tersebut dijelaskan Nabi pada teks Hadis berikutnya secara terperinci
yakni ada tiga hal :
1)
Memberi minyak wangi
فَحَا مِلُ
الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِ يَكَ
“Pembawa
minyak kesturi itu adakalanya memberi minyak kepadamu”.
Ada tiga kemungkinan jika kita berteman dengan pembawa
minyak misik atau minyak kesturi. Pertama, pembawa minyak itu adakalanya
memberi minyak kepada kita secara gratis sekalipun banyak diolesi satu kali
olesan atau satu kali semprotan dengan parfum. Maknanya, dengan berteman sama
orang shaleh kita akan mendapat pemberian rahmat atau manfaat dari Allah SWT.
Dan mendapat contoh serta keteladanan yang baik dari orang saleh itu.
2)
Membeli minyak wangi
وَإِمَّا
أَنْ تَبْتَا عَ مِنْهُ
“Atau
adakalanya kamu membeli daripadanya”
Alternatif kedua, jika kita tertarik dengan minyak
wangi teman yang harum itu sementara kita punya uang, pasti kita mau membeli
minyak itu. Maknanya, teman saleh itu mengajarkan kebaikan kepada kita dan kita
pun belajar daripadanya, teman saleh itu selalu memberi nasehat, arahan,
bimbingan, dan pembinaan kepada kita. Teman saleh itu selalu mengajak kebaikan
dan mencegah kejahatan, apabila melihat sesuatu yang tidak benar pada temannya
diluruskan dan apa bila melihat temannya sedang menghadapi kesulitan dibantu
dan sebagainya.
3)
Ikut mencium keharuman minyak
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً
“Dan
adakalanya kamu mendapatkan bau harum darinya”
Alternatif ketiga, kita mendapat bau harum dari teman
pembawa minyak. Maknanya, seseorang yang berteman dengan orang saleh, citranya
terangkat menjadi harum atau terbawa harum sebab persahabatan yang baik itu.
Seseorang yang bersahabat dengan orang yang saleh dinilai baik atau saleh oleh
masyarakat sekitarnya dan dihormati sebagaimana layaknya orang saleh.
b.
Persamaan teman nakal dengan peniup
api
Ada dua persamaan sifat antara teman
buruk dengan peniup api, yaitu:
1)
Membakar pakaian
وَ نَا فِخُ
الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَا بَكَ
“Dan peniup
api itu adakalanya ia membakar kain bajumu”
Teman nakal itu akan membakar kamu sebagaimana tukang
las yang memercikan api ke lingkungan sekitarnya, baju dan celananya
berlubang-lubang karena percikannya. Orang yang bersahabat dengan teman nakal
akan terbakar kepribadiannya dan rusak akhlaknya. Banyak orang yang semula baik
kepribadiannya, tetapi kemudian rusak karena pergaulan dengan teman yang tidak
baik. Berapa banyak anak yang semula datang dari desa berkepribadian polos dan
jujur mungkin karena pendidikan dalam keluarganya baik dan belajar disekolah
yang baik pula. Tetapi setelah keluar ke kota pergaulan anak tersebut menjadi
bebas, anak-anak nakal ditemani tanpa selektif, peminum, pemabuk, dan lain-lain
yang berakibat hancurnya akhalak anak tersebut.
2)
Mencium bau busuk
وَإِمَّا
أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْتِنَةً
“Dan
adakalanya kamu mendapatkan bau busuk daripadanya”.
Akibat kedua, adakalanya citra seseorang yang berteman
dengan teman yang nakal menjadi busuk dan hancur. Seperti halnya ketika seorang
penjahat ditangkap polisi, teman-teman dekatnya pun diciduk polisi karena
dianggap mempunyai andil yang sama. Demikian juga status sosialnya, orang itu
dinilai rendah tidak berharga di tengah-tengah masyarakat sekalipun sebenarnya
dia orang baik.
Pengaruh teman memang sangat besar dalam membentuk
kepribadian seorang anak didik baik dan buruknya, lingkungan masyarakat di
sekitarnya sangat berpotensi dalam mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.
Al-Zurnujiy memberi bimbingan kepada para pelajar agar memilih teman yang tekun
belajar, memelihara hukum (wara’), berkarakter yang baik dan cerdas. Pelajar
hendaknya menjauhi teman pemalas, penganggur, banyak bicara sedikit kerja,
perusak dan pemfitnah. Pengaruh tersebut bukan saja dalam membentuk kepribadian
akan tetapi juga berpengaruh dalam penilaian masyarakat untuk menentukan status
seseorang. Status seseorang bisa dinilai baik atau buruk karena teman dekatnya,
sekalipun status sesungguhnya berlawanan dengan penilaian mereka. Penilaian
seseorang yang didasarkan pada teman dekatnya tidak salah karena pada umumnya
kepribadian teman mempunyai pengaruh menjalar dan menular kepada sesame teman
dekatnya. Hal ini juga dikatakan ‘Adiy bin Zayd al-‘Ibadiy dalam kitabnya Diwan
al-Ma’aniy (1/124) dan juga disebutkan oleh al-Zurnujiy dlam kitabnya
Ta’lim al-Muta’allim :
عَنِ
الْمَرْءِ لاَ تَسْأَ لْ وَ أَبْصِرْ قَرِ يْنَهُ # فَإِ نَّ الْقَرِ يْنَ بِا
لْمُقَا رَنِ مُقْتَدِي
Tentang
(kepribadian) seseorang janganlah engkau tanyakan dan lihatlah siapa temannya. Sesungguhnya teman dengan persahabatannya itu pasti
mengikuti
Teman memang mempunyai pengaruh yang besar yang dapat
membantu kesuksesan para pengajar dalam mencapai suatu tujuan dalam pendidikan.
Teman yang baik selalu dibutuhkan siapapun yang menghendaki kebaikan dalam
kehidupannya baik dlam urusan duniawi maupun ukhrawi. Abdullah Nashih Ulawan
memberikan kriteria teman saleh yang baik tidak cukup sekedar terdidik, cerdas,
dan pandai. Akan tetapi teman yang baik adalah yang dapat mengkompromikan
dengan sifat-sifat keutamaan saleh, takwa, berpikiran matang atau dewasa, peka
terhadap problematika sosial dan paham
islam secara benar.
4.
Pelajaran yang dapat dipetik dari
hadis
a.
Anjuran berteman dengan orang atau
anak yang berkepribadian saleh, baik dalam agama maupun dalam urusan dunia.
b.
Larangan berteman dengan orang yang
berkepribadian buruk.
c.
Persahabatan mempunyai pengaruh yang
besar dalam pendidikan, baik dan buruknya kepribadian seseorang di antaranya
ditentukan oleh teman-teman yang ada disekelilingnya.
d.
Anjuran kepada pendidik, pengajar,
guru, orang tua dan yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak agar
memilihkan teman-teman yang baik buat anak didiknya.
e.
Berhati-hatilah dalam memilih teman
karena penilaian masyarakat terhadap kepribadian seseorang umumnya tergantung
dari dengan siapa ia berteman.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu hajar
al-Asqolani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari,diterjemahkan
oleh Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari jus 1, Jakarta, Pustaka Azzam,
2003.
Khon, Abdul Majid. Hadis
Tarbawi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012.
M. Fuad Abdul
Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu
wal Marjan jus 2, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003.
Muhammad, Abubakar. Hadis
Tarbiyah. Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Komentar
Posting Komentar