Makalah tentang: Tafsir Ayat tentang Tujuan Pendidikan QS. Adz-Dzariyat (51) Ayat 56, dan QS. Ar-Rahman (55) ayat 33

           Kepada seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini terdapat kesalahan,  juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari. 
         Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
         
           Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.

Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

TAFSIR AYAT TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN

QS. Adz-Dzariyat (51) Ayat 56

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦

 خَلَقۡتُ Aku Menciptakan =  

 وَٱلۡإِنسَ Dan Manusia   =

 ٱلۡجِنَّ Jin   =

 إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ Supaya Meraka Menyembah-Ku =

Artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. (Qs, Adz Dzaariyat: 56)

 

Tafsir QS. Adz-Dzariyat (51) Ayat 56 :

Didahulukannya penyebutan kata (الجن) Jin dari kata (الإنس) manusia karena jin memang lebih dahulu diciptakan Allah dari pada manusia. Huruf (ل) pada kata (ليعبدون) bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah, sedangankan menrut Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam tasirnya, Al-Misbah, penafsiaran ayat di atas adalah sebagai berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas meraka adalah beribadah kepada-Ku.

Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku), karena memang penekannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah swt, Huruf (ل) lam pada kata (ليعبدون) liya’budun, bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah. Huruf lam di sini sama dengan huruf lam pada firman-Nya: (فالتقطه ءال فرعون ليكون لهم عدوّا وحزنا) faltaqathahu liyakuna lahum aduwwan wa hazanan (QS. Qashahs (28): 8). Bila huruf lam pada kata liyakuna dpahami dalam arti agar supaya, ayat di atas berarti: Maka dipungutlah dia oleh keluarga Fir’aun agar supaya dia, Musa, yang dipungut itu menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.

Memang tidak mungkin huruf lam itu agar supaya, karena tentu tidak ada yang mengambil dan memelihara musuhnya. Tujuan fir’aun ketika menyetujui usul istrinya agar mengambil Musa adalah agar menjadi penyejuk mata mereka, serta untuk memanfaatkan dan menjadikannya menjadi anak. Tetapi kuasa Allah menjadikan musuh memelihara musuhnya sendiri.

Huruf lam pada kata ( ليكون) liyakunu pada ayat al-Qashash tersebut, demikian juga pada kata (ليعبدون) li ya’budun pada ayat di atas, dinamai oleh pakar-pakar bahasa lam al-aqibah, yakni berarti kesudahan atau dampak dan akibat sesuatu.

Ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dakan jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidakterjangkau arti hakikatnya. Begitu kurang lebih tulis Syaikh Muhammad Abduh.

Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (gairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Ibadah gairu mahdhah adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hubungan seks pun dapat menjadi ibadah jika dilakuin sesuai tuntutan agama. Nah, ayat diatas menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar segala aktivitas manusia dilakukannya demi karena Allah, yakni sesuai dan sejalan dengan tuntunan petunjuk-Nya.

Thabathaba’I memahami huruf lam pada ayat yang ditafsirkan dalam arti agar supaya, yakni tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah. Ulama ini menulis bahwa tujuan apapun bentuknya adalah sesuatu yang digunakan oleh yang bertujuan untuk menyempurnakan apa yang belum sempurna baginya atau menanggulangi kebutuhan/ kekurangannya. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah SWT, karena dia tidak memiliki kebutuhan. Dengan demikian tidak ada lagi baginya yang perlu disempurnakan. Namun disisi lain, suatu perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah perbuatan sia-sia yang perlu dihindari.[1]

Mengapa, hai Muhammad, kamu diperintahkan untuk memperingatkan umat manusia? Kamu diperintahkan untuk memperingatkan bahwa jin dan manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadat kepada-Ku.

Jin dan manusia dijadikan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya. Tegasnya, Allah menjadikan kedua makhluk itu sebagai makhluk-makhluk yang mau beribadah, diberi akal dan panca indera yang mendorong mereka menyembah Allah, untuk beribadahlah tujuan mereka diciptakan. Dengan demikian, ibadah yang dimaksud disini lebih luas jangkauannya daripada ibadah dalam bentuk ritual. Tugas kekahlifahan termasuk dalam makna ibadah dan dengan demikian hakekat ibadah mencakup dua hal pokok.

Pertama : kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan.

Kedua : mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup.

Beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini hanya khusus mengenai orang yang telah diketahui oleh Ilmu Allah bahwa ia pasti akan menyembah-Nya, oleh karena ayat ini menggunakan lafadz yang umum dengan makna yang khusus. Perkiraan yang dimaksud adalah tidak Aku ciptakan penduduk surga dari jin dan manusia kecuali untuk menyembahnya.

Al Qusyairi ayat ini pastilah memasuki oleh takhshish (pengkhususan dan pembatasan), karena tidak mungkin orang gila dan anak-anak kecil diperintahkan untuk beribahadah.

Allah juga berfirman dalam Surat Al A’raaf: 175

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (Isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia”. (Qs. Al A’raaf : 175).

Sementara orang-orang yang memang diciptakan juga untuk beribadah oleh karena itu ayat diatas kemungkinan besar dimaksudkan kepada orang-orang yang beriman saja. Hal ini sama persis seperti yang disebutkan dalam Firman Allah (QS. al-A’raf: 179) :

قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا

Orang-orang arab badui itu berkata: Kami telah beriman”. (Qs. Al A’raaf : 179).

Dimana tidak semua orang Arab badui mengatakan mereka telah beriman, hanya sebagian mereka yang mengatakan hal itu. pendapat ini disampaikan oleh Adh-Dhahhak, Al Kindi, Al Faraa’, dan Al Qutabi.

Pendapat ini diperkuat oleh qira’ah yang dibaca oleh Abdullah, yaitu wamaa khalaqtu al jinna wal insa minal mu’minin illa liya’budun (dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia dari golongan orang-orang yang beriman, kecuali untuk menyembah-Ku)[2]

Penafsiran ini ditunjukan oleh apa yang dinyatakan dalam sebuah hadist:

كنت كنز ا مخفيا فاردت ان اعرف : فخلخت ا لخلق فبى عرفونى

“Aku adalah simpanan yang tersembunyi lalu Aku mengehandaki supaya dikenal. Maka Aku pun menciptakan makhluk. Maka oleh karena Akulah mereka mengenal Aku”.

Demikian kata mujtahid. Dan begitu diriwayatkan dari Mujahid, bahwa ayat ini adalah: kecuali supaya Aku memerintahkan mereka dan melarang mereka.[3]

Ali bin abi Thalib menafsirkan makna ayat ini diatas adalah tidak Aku ciptakan jin manusia kecuali aku perintahkan mereka untuk beribadah pendapat inilah yang dijadikan sandaran oleh Az Zajjaj, ia menambahkan: Hal ini ditunjukan oleh firman Allah SAW.[4]

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Padahal padahal mereka disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutuan”. (At-Taubah, 9:31)

Apabila dikatakan: bagaimana mungkin ada manusia yang berbuat kafir kepada Allah padahal mereka diciptakan untuk bersaksi atas ke Tuhanan-Nya dan tunduk kepada perintah dan kehendak-Nya.

Dijawab: Mereka memang harus tunduk kepada takdir yang ditetapkan atas mereka, karena takdir mereka pasti akan terjadi dan mereka tidak akan mungkin mampu untuk menghindar darinya. Mereka hanya berbuat kepada takdir-nYa itu tidak dapat dihindari.[5]

Sementara itu segolongan mufassir berpendapat bahwa arti ayat diatas adalah:kecuali supaya mereka tunduk kepada-Ku dan merendahkan diri yakni, bahwa setiap makhluk dari jin atau manusia tunduk kepada keputusan Allah, patuh kepada kehendak-Nya dan menuruti apa yang telah Dia takdirkan atasnya. Allah menciptakan mereka menurut apa yang Dia Kehendaki, dan Allah memberi rezeki kepada mereka menurut keputusan-Nya, tidak seorang pun di antara mereka yang dapat memberi manfaat maupun mudharat kepada dirinya sendiri.

Kalimat ini merupakan suruhan agar memberi peringatan, dan juga memuat alasan dari diperintahkannya memberi peringatan. Karena, diciptakanya mereka dengan alasan tersebut menyebabkan mereka harus diberi peringatan yang menyebabkan mereka harus diberi peringatan yang menyebabkan mereka wajib ingat dan meuruti nasihat.[6]

Dalam tafsir Al Qurthubi sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalhah menyebutkan, makna dari firman Allah SWT,

إِلا لِيَعْبُدُون

Melainkan Supaya mereka menyembah-Ku

Arti kata diatas adalah melainkan agar mereka mau beribadah dengan sukarela ataupun terpaksa itu adalah orang-orang yang diperbuatnya dilihat oleh orang lain, tidak mutlak hanya karena Allah SWT.

Mujahid menafsirkan bahwa makna firman tersebut adalah “ Melainkan untuk mengenal-Ku”. Pendapat ini mengundang komentar dari Ats Tsa ‘labi, ia mengatakan: pendapat mujtahid sangat baik, alasanya karena memang apabila Allah tidak menciptakan mereka maka tentu mereka tidak akan mengetahui keberadan-Nya dan Keseaan-Nya. Dalil yang dapat memperkuat penafsiran ini adalah firman Allah SWT.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)” (Qs. At Taubah:31)

Dalam Firman Allah yang lainya       

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui". (Qs. Az-Zukruf:87)

Niscaya mereka akan menjawab: Semuanya diciptakan oleh Maha perkasa lagi Maha Menegatahui”. Sebuah riwayat lain dari mujtahid yang menafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa, bahwa makna dari kalimat tersebut adalah melainkan Aku dapat memerintahkan dan melarang mereka.

Zaid bin Aslam menafsirkan, maksud dari firman tersebut adalah mengenai kesengsaraan dan kebahagiaan yang diciptakan untuk jin dan manusia sebelumnya, yakni mereka akan merasakan kebahagiaan diakhirat nanti adalah memang diciptakan untuk beribadah, sedangkan mereka yang akan merasakan kesengsaraan di akhirat nanti adalah jin dan manusia yang diciptakan senang berbuat maksiat.

Sebuah riwayat lain dari Al Kindi yang menafsirkan ayat ini menyebutkan, bahwa maknanya adalah: melainkan agar mereka dapat mengesakan Aku, dimana orang-orang yang beriman akan mengesakan aku pada saat senang ataupun sengsara, sedangkan orang-orang yang kafir hanya mengesakan Aku pada saat mereka kesulitan saja, tidak pada saat mereka mendapatkan kesenangan. Hal ini ditunjukan pada firman Allah SWT.

وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ

“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar”.

Ikrimah menafsirkan maknanya adalah: melainkan hanya untuk menyembah-Ku dan taat kepada-Ku, agar Aku dapat memberikan pahala bagi siapa saja yang rajin beribadah dan Aku akan menghukum bagi siapa saja yang ingkar.

Ada juga yang menafsirkan maknanya adalah melainkan Aku meminta mereka untuk menyembah-Ku. Sementara makna-makna yang disebutkan ini tidak jauh berbeda, dimana kata ‘abada adalah menyembah, dan makna awal dari kata ‘Ubudiyah (mempersembah) adalah tunduk dan patuh terhadap yang disembah. Sedangkan makna kata ta’bid, i’tibaad dan Istib’aad adalah menundukan atau mengambil seseorang untuk dijadikan hamba. Kata ibadah maknaya adalah taat, adapun ta’abbud artinya ibadah melaksanakan peribadatan.

Oleh karena itu, makna utama untuk kata لِيَعْبُدُون  pada firman diatas adalah agar mereka tunduk, patuh, dan melakukan peribadatan.[7]

Pada ayat di atas menegaskan bahwa Allah menciptakan jin dan mausia adalah menyuruh mereka mengerjakan amar dan menegah mereka dari mengerjakan mungkar.

Nilai yang terkandung dalam surat Adz Dzariyat ayat 56 adalah sebagaiberikut[8]:

1.   Kita sebagai mnausia ciptaan Allah, maka seharusnya kita beriman kepada Allah dan patuh atas segala perintah-Nya.

2.   Kita hendaknya taat dan tunduk terhadap perintah Allah.

3.   Jika kita murka kepada Allah, maka Allah akan memberi azab yang pedih kepada kita dan tidak ada seorangpun yang mampu menolak azab tersebut, dan juga tidak ada seorangpun yang dapat menolong kita untuk menghindari azab tersebut.


 

Tafsir QS. Ar-Rahman (55) ayat 33

يَٰمَعۡشَرَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ إِنِ ٱسۡتَطَعۡتُمۡ أَن تَنفُذُواْ مِنۡ أَقۡطَارِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ فَٱنفُذُواْۚ لَا تَنفُذُونَ إِلَّا بِسُلۡطَٰنٖ ٣٣

Penjuru = Í$sÜø%r&

Kelompok/golongan = uŽ|³÷èyJ»tƒ

Dengan kekuasaan/kekuatan = 9`»sÜù=Ý¡Î0

Kamu mampu/sanggup =  öNçF÷èsÜtGó$#

 

Kamu menembus/melintasi =  (#räàÿZs?

 

Artinya: “Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (QS. Ar-Rahman (55): 33)

Tafsir QS. Ar-Rahman (55) ayat 33 :

Ayat sebelumnya mengancam manusia dan jin bahwa Allah akan berkonsentrasi untuk melakukan perhitungan terhadap amal-amal mereka. Sedangkan ayat di atas menegaskan bahwa mereka tidak dapat menghindar dari pertanggung jawaban serta sebab akibatnya. Allah menantang mereka dengan mengatakan: “Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) keluar menuju penjuru langit dan bumi guna menghindar dari pertanggungjawaban atau siksa yang menimpa kamu itu, Maka lintasilah keluar, tetapi kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. Sedangkan kamu tidak memiliki kekuatan.

Kata (معشر) ma’syar  berarti jamaah/kelompok yang banyak. Agaknya ia terambil dari kata (عشرة) ‘asyrah yang juga berarti sepuluh karena mereka tidak dihitung satu persatu, tetapi sepuluh demi sepuluh.

Didahhulukannya penyebutan jin di sini atas manusia, karena jin memiliki kemampuan lebih besar dari pada manusia dalam mengarungi angkasa. Bahkan suatu ketika dalam kehidupan duniawi, mereka pernah memiliki pengalaman, walau dalam bentuk terbatas (QS. al-Jin (72): 9). Ketika menentang untuk membuat semacam Al-Qur’an yang didahulukan penyebutannya adalah manusia (baca QS. al-Isra’(17): 88). Itu agaknya dalam bahasa al-Qur’an manusia memiliki kemampuan lebih tinggi dari pada kemampuan jin, apalagi yang secara tegas menolaknya adalah manusia.

Thahir Ibn Asyur menegaskan bahwa ayat di atas bukanlah merupakan ucapan yang diucapkan kepada mereka  dalam kehidupan dunia ini. Maksudnya ia akan diucapkan kelak di hari kemudian sebagaimana dipahami dari konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Prof. Dr. M Quraish Shihab menambahkan bahwa memang sementara ulama terdahulu menyatakan itu diucaokan kepada mereka dalam kehidupan dunia ini, tetapi maksudnya dalam arti perintah untuk menghindar dari maut – kalau mereka mampu.

Ayat ini dijadikan oleh sementara orang sebagai bukti isyarat ilmiah al-Qur’an tentang kemampuan manusia keluar angkasa. Pendapan ini menurut  Prof. Dr. M Quraish Shihab tidaklah tepat. Sebelum menguraikan kelemahannya, beliau ingin menggarisbawahi bahwa kalaupun kini manusia telah sampai ke bulan atau planet yang lain, maka itu bukan berarti bahwa manusia telah sanggup keluar menembus penjuru-penjuru angkasa langit dan bumi. Menurut beliau, walau tanpa melihat konteks sebelum dan sesudah ayat di atas kita dapat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang kehidupan sebelum kiamat, karena yang ditekankan di sini adalah ketidak mampuan menembus penjuru-penjuru langit serta bumi, dan hingga kini belum lagi bahkan tidak ada yang berhasil melakukannya.

Tim penulis tafsir al-Muntakhab berkomentar bahwa: “sampai saat ini terbukti betapa besarnya upaya dan tenaga yang dibutuhkan untuk dapat menembus lingkup gravitasi bum. Kesuksesan eksperimen perjalanan luar angkasa selama ini masih merupakan waktu yang sangat sedikit dan terbatas jika dibandingkan dengan besarnya alam raya. Itu saja membutuhkan upaya yang luar biasa di bidang sains dengan segala cabangnya: teknik, matematika, seni, geologi dan sebagainya. Belum lagi ditambah biaya yang sangat besar. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa upaya menembus langit dan bumi yang berjarak jutaan tahun cahaya itu mustahil dapat dilakukan oleh jin dan manusia.

Di sisi lain, kalau seandainya yang dimaksud ayat ini adalah sekedar keluar beberapa jauh menembus angkasa, maka hal itu sebenarnya telah berhasil dilakukan  oleh salah satu dari dua jenis makhluk yang ditantang ini, yakni jin. Bukankah al-Qur’an merekam pernyataan jin dalam QS. al-Jin (72): 9 yang menyatakan bahwa:

$¯Rr&ur $¨Zä. ßãèø)tR $pk÷]ÏB yÏè»s)tB ÆìôJ¡¡=Ï9 ( `yJsù ÆìÏJtGó¡o tbFy$# ôÅgs ¼çms9 $\/$pkÅ­ #Y|¹§ ÇÒÈ

Artinya: “Dan Sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). tetapi sekarang[1524] barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (QS. al-Jin (72): 9)

Tim penulis tafsir al-Muntakhab akhirnya menyatakan bahwa pendapat yang memahami ayat di atas keterkaitan dengan kamampuan manusia menjelajah ruang angkasa tidak sejalan dengan konteks ayat-ayat sejalan sebelum dan sesudahnya. Ayat 29 yang lalu berbicara tentang pemenuhan kebutuhan makhluk di langit dan di bumi dalam kehidupan dunia ini, lalu ayat 31 menyatakan bahwa suatu ketika Allah hanya akan berkonsentrasi terhadap manusia dan jin, yakni untuk melakukan perhitungan terhadap mereka. Ini tentu saja bukan dalam kehidupan dunia ini, karena kini Allah masih mengurus semua makhluk. Di sisi lain perhitungan secara ssempurna baru akan terjadi diakhirat nanti. Nah, ayat 33 diatas merupakan peringatan dan tantangan bagi mereka yang bermaksud menghindar dari tanggung jawabnya dihari kemudian itu. Jika demikian, ayat ini tidak berbicara dalam konteks kehidupan duniawi – apalagi menyangkut kemampuan manusia menembus angkasa luar – tetapi semata-mata sebagai ancaman bagi yang hendak menghindar. Karena itu perintah di atas tembuslah bukan perintah untuk dilaksanakan, tetapi perintah yang menunjukan ketidakmampuan memenuhinya.  Tidak ubahnya seperti seorang tokoh kuat dan permberani yang berkata kepada lawannya yang penakut lagi lemah: “tembaklah aku” yakni “engkau tidak akan dapat melakukannya”.[9]

Terlepas dari itu semua penulis berpendapat bahwa Isi kandungan surah ar-Rahman/55: 33 sangat cocok untuk kalian pelajari karena ayat ini menjelaskan pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat mengetahui benda-benda langit. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat menjelajahi angkasa raya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia mampu menembus sekat-sekat yang selama ini belum terkuak. Hebat, bukan?.

Manusia diberi potensi oleh Allah Swt. berupa akal. Akal ini harus terus diasah, diberdayakan dengan cara belajar dan berkarya. Dengan belajar, manusia bisa mendapatkan ilmu dan wawasan yang baru. Dengan ilmu, manusia dapat berkarya untuk kehidupan yang lebih baik.

Nabi Muhammad saw. bersabda:

“Dari Anas ibn Malik r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam”. (H.R. Ibn Majah)

Tentang pentingnya menuntut ilmu, Imam Syafi‘i dalam kitab Diwan juga menegaskan:

“Barang siapa yang menghendaki dunia, maka harus dengan ilmu. Barang siapa yang menghendaki akhirat maka harus dengan ilmu.”

Nasihat Imam Syafi‘i tersebut mengisyaratkan bahwa kemudahan dan kesuksesan hidup baik di dunia maupun di akhirat dapat dicapai oleh manusia melalui ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak akan mudah diperoleh, kecuali dengan beberapa cara dan strategi yang harus dilalui. Dalam hal ini Imam Syafi‘i dalam kitab Diwan menegaskan:

“Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali setelah memenuhi enam syarat, yaitu: kecerdasan, kemauan yang kuat, kesungguhan, perbekalan yang cukup, dan kedekatan dengan guru dalam waktu yang lama.”

Ungkapan Imam Syafi‘i di atas penting diketahui oleh orang-orang yang sedang asyik menuntut ilmu. Cara ini perlu dilakukan agar berhasil. Perlu adanya semangat juang, harus dekat, akrab, dan hormat kepada guru agar ilmunya berkah. Mencari ilmu juga perlu waktu yang lama.


 

KESIMPULAN

Tujuan hidup kita yaitu mengabdi atau bekerja untuk ALLAH guna mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat dengan melalui ridha-Nya.

Demikianlah ALLAH memberitahukan, apa tujuan hidup manusia di bumi ini menurut ALLAH yang menciptakan manusia, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam ayat-ayat dalam Pembahasan. Dan ALLAH menciptakan jin dan manusia semata-mata hanya untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya.

Mudah-mudahan kita sebagai pekerja-pekerja atau hamba-hamba ALLAH yang baik, yang taat, maka marilah kita perbaharui niat dan tujuan hidup kita semoga kita semua mendapat kasih sayang, kepercaaan dan cinta ALLAH. Semoga hidup yang sekali ini akan sukses dan diberkahi oleh ALLAH.

Nilai yang terkandung dalam surat Adz Dzariyat ayat 56 adalah sebagai berikut: Kita sebagai mnausia ciptaan Allah, maka seharusnya kita beriman kepada Allah dan patuh atas segala perintah-Nya, Kita hendaknya taat dan tunduk terhadap perintah Allah. Jika kita murka kepada Allah, maka Allah akan memberi azab yang pedih kepada kita dan tidak ada seorangpun yang mampu menolak azab tersebut, dan juga tidak ada seorangpun yang dapat menolong kita untuk menghindari azab tersebut.

Dan nilai yang terkandung dalam surat Ar-Rahman ayat 33 adalah sebagai berikut: Allah memberikan tantangan kepada dua jenis makhluk yakni jin dan manusia untuk menembus atau melintasi penjuru-penjuru langit, namun jin dan manusia tidak akan bisa menembus penjuru-penjuru langit kecuali dengan kekuasaan/kekuatan yang dalam hal ini dapat kita pahami sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi.


 

DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah Volume 13”, (Jakarta: Lentera Hati. 2002), hlm.356-357

Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009), hlm. 293-294

Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Semarang: Tahaputra, 1989), hlm. 20-21

Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Madjied An Nur, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 15

 



[1] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah Volume 13”, (Jakarta: Lentera Hati. 2002), hlm.356-357

[2] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2009), hlm. 293-294

[3] Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Semarang: Tahaputra, 1989), hlm. 20-21

[4] Syaikh imam Al Qurthubi .Tafsir Al Qurthubi...,hlm. 295

[5] Ibid.,195

[6] Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi...,hlm. 21

[7] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi...,hlm. 295-296

[8] Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Madjied An Nur, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 15

[9] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah Volume 13”, (Jakarta: Lentera Hati. 2002), hlm. 518-521




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah tentang: BAIK DAN BURUK

Makalah tentang Rabi'ah al-Adawiyah

LANDASAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN