MAKALAH TENTANG HAKIKAT PESERTA DIDIK

  Kepada seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini terdapat kesalahan,  juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari. 

         Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
         
           Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.

Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:

BAB I

PRNDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Di antara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta didik. Dalam perspektif pandangan Islam, peserta didik merupakan subjek dan obyek. Oleh karenanya, aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan perserta didik di dalamnua. Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Tanpa pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap peserta didik, sulit rasanya bagi peserta pendidik untuk dapat menghantarkan peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan.[1]

Oleh karena itu, makalah ini sengaja kami susun agar kita khususnya calon pendidik dapat lebih memahami hakikat dari peserta didik itu sendiri. Harapan kedepannya kita yang insyaAllah akan menjadi pendidik lebih mudah menata dan menyusun berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran untuk diberikan kepada peserta didik sehingga tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan mudah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengertian peserta didik ?

2.      Bagaimana adab dan tugas peserta didik ?

3.      Bagaimana hubungan pendidik dan anak didik ?

4.      Bagaimana batas-batas pendidikan Islam ?


 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk menjelaskan pengertian peserta didik.

2.      Untuk menjelaskan  adab dan tugas peserta didik.

3.      Untuk menjelaskan hubungan pendidik dan anak didik.

4.      Untuk menjelaskan  batas-batas pendidikan Islam.

 

5.      Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library research, yang mana penulis menggunakan buku-buku dari perpustakaan sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang di kupas dalam makalah ini dan penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Peserta Didik

Siapakan sesuanggunya peserta didik itu? Jawaban sederahananya adalah sumberdaya manusia yang memerlukan pendidikan. Makna memerlukan tidak hanya diartikan yang bersangkutan memiliki pemahaman dan kesadaran untuk memperoleh suatu pendidikan, namun lebih jauh lgi adalah setiap orang, setiap anak atau setiap sumber daya yang menurut konstitusi kultural, sosial dan individual seharusnya memperoleh pendidikan. Dengan demikian peserta didik tidak hanya diartikan mereka yang masih berusia muda, mereka yang secara biologis siap dan sedang berkembang tetapi, setiap orang yang belum dewasa baik secara fisik/jasmaniah maupun moral/rohaniahnya. Contoh seorang intelektual dengan kualifikasi latar pendidikan tinggi yang sedang mempelajari pengetahuan dan keterampilan dibidang tertentu dipandang belum dewasa pada aspe atau bidang yang sedang dipelajarinya, sehingga yang bersangkutan termasuk kualifikasi peserta/anak didik.

Dalam Al-Qur’an surah an-Nahl (16) ayat 78 :

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا

 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun”

Menggambarkan bahwa anak didik adalah mereka yang belum memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepribadian, karena ketika dilahirkan mereka tidak membawa bekal pengetahuan, keterampilan yang dibutuhkannya kelak. Dalam hadits Rasulullah Saw digambarkan bahwa walaupun seorang anak sebagai sumber daya manusia di lahirkan tidak membawa pengetahuan dan keterampilan, tetapi sebenarnya mereka membawa fitrah  (potensi), modal dasar umum yang siap dikembangkan melaui proses pendidikan Islam.

 

Hal ini sesuai dengan hadis sebagai berikut:

مَامِنْ مَوْلُوْدٍ اِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Tidaklah seseorang dilahirkan kecuali membawa fitrah (potensi), maka orang tuanyalah yang menentukan apakah anak tersebut akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (Riwayat Muslim).[2]

Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik. Karenanya pemahaman yang lebih kongkret tentang peserta didik sangat perlu diketahui oleh setiap pendidik. Hal ini sangat beralasan karena melalui pemahaman tersebut akan membantu pendidikan dalam melaksanakan tugas dan fuksinya melalui aktifitass kependidikan. Untuk itu, perlu terlebih dahulu diperjelas beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan islam, yaitu:

1.      Peserta didik bukan miniatur orang dewas, akan tetapi memilik dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk memahami agar perlakuan terhadap mereka dalam prosses kependidika tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode mengajar.

2.      Peserta didik adalah manuasia yang memiliki definisi preodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui yntuk aktivitas kependidikan islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang paada umumnya dilalui peserta didik.

3.      Pesertaa didik adalah maanusia yang dimiliki kebutuhan, baik daalaam menyangkut dalam kebutuhan jasmani daan rohani yang harus dipenuhi, diantara kebutuhan tersebut antara lain kebutuhan biologis, kasis sayang, rasa aman, haarga diri, realissasi diri, dan lain sebagainya.

4.      Peserta didik adalah mahluk allah yang memeliki perbedaan individu ( diffrensiasiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimanaa ia berada. Pemahaman tentang deffrensiasi individual peserta didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang peserta didik. Hal ini disebabkan karena menyangkut bagaimana pendekaatan yang perlu dilakukan pendidik dalam menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis.

5.      Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya pisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui prsoses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengasah daya intlektualitasnya melalui ilmu-ilmu rassional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.

6.      Peserta didik adalah maanusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan perkembangan secara dinamis. Disini tugas pendidik adalah membaantu pengarahan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan , tanpa melepaskan tugas kemaanusiaanya; baik secara vertikal ataupun horizontal.[3]

 

B.     Adab dan Tugas Peserta Didik

Sa’id wahwa (1999) menjelaskan adab dan tugas peserta didik (yang dapat juga disebut sifat-sifat peserta didik) sebagai berikut ini.

Pertama, peserta didik harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainya. Sama halnya dengan shalat, ia tidak sah bila tidak suci dari hadast dan najis. Menyemarakan hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah hati itu suci dari kotoran akhlak. Intinya disini ialah peserta didik itu jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat pada akhlaknya.

Kedua, peserta didik harus mengurangi keterikatanya dengan kesibukan duniawiah karena kesibukan itu akan melengahkanya dari menuntut ilmu. Tuhan menyatakan bahwa ia tidak akan menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongga dadanya (al-Ahzab:4). Jika pikiran terpecah maka peserta didik tidak akan dapat memahami hakikat. Karena itu dikatakan “ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagainya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu.

Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berlilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru; ia harus patuh kepada guru seperti patuhnya orang sakit terhadap yang merawatnya. Peserta didik harus tawadlhu’kepada gurunya dan mencari pahala dengan caraa berhidmat pada guru.

Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal haarus menjadi diri dari mendengarkan perbedaan pendapat ataau khilafiah antermazhab karena hal itu aakanmembingungkan pikiranya. Perbedaan pendapat dapat diberikan pada belajar tahap lanjut

Kelima, menuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Jika usianya mendukung barulah ia menekuni ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu paling penting tersebut.

Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama ialah ilmu mengenal Allah.

Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmunya. Ilmu itu sifatnya bertahap dan berurutan. Antara satu ilmu dengan ilmu lainya.

Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belaajarnya. Dan kekuatan dalilnya. Contoh dari segi hasil :hasil belajar ilmu agama ialah kehidupan yang abadi. Sedangankan hasil belajar ilmu kedukteran ialah kehidupan yang pana. Jadi belajar ilmu agama lebih utama ketimbang ilmu kedokteran.

Dari sekian adab dan tugas peserta didik yang dijelaskan oleh sa’id wahwa  tersebut diatas ada dua hal yang menjadi inti, yaitu pertama peserta didik harus berusaha menyucikan jiwanya, dan kedua peserta didik haarus patuh kepada gurunya.[4]

C.    Hubungan antara Pendidikan dan Anak Didik

Hubungan antara Pendidik dan anak didik dapat sebagai berikut :

1.      Pelindung

Orang dewasa selalu menjaga kepada anak didiknya dan selalu memperhatikan anak didiknya. Dengan demikian anak didik selalu diberi perlindungan pada soal jasmaniah dan rohaniah. Selain itu juga diberi perlindungan dengan jalan memberi pelajaran kepada anak didik untuk dapat mengedalikan diri pada perbuatan-perbuatan, kelakuan-kelakuan dan ucapan-ucapan. Pendidik selalu menjaga agar anak didiknya jangan sampai merugikan dirinya sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

2.      Menjadi Teladan

Orang tua pendidik yang lain disengaja atau tidak menjadi teladan bagi anak yang ingin berbuat “serupa” dengan orang dewasa. Pendidik selalu berbuat dihadapan anak dan selalu berbuat bersama-sama dengan anak. Maka perlu bagi pendidik untuk memperhatikan segala gerak-geriknya di dalam berbuat dan percakapannya dengan anak.

3.      Pusat Mengarahkan Pikiran dan Perbuatan

Pendidik biasa menurut sertakan anak dengan apa-apa yang dipikirkan,baik yang menggembirakan ataupun dengan yang sedang dipertimbangkan. Jadikan memberiikan penjelasan-penjelasan tentang berbagai hal kepada anak mengenai apa yang sedang dipikirkan. Anak diajak memahami serta menerima pe ndirian dari orang tuanya. Anak didik diturut sertakan kedalam kehidupan orang tua (pendidik) dengan memberikan kesempatan kepada untuk turut bertanggung jawab dan merangsang agar anak makin mau memikul tanggung jawab, juga mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kepentingannya sendiri. Didalam hal-hal tertentu hendaknya anak dapat diberikan tanggung jawab penuh.

4.      Pencipta Perasaan Bersatu

Anak didik seolah-olah telah biasa di dalam suasan perasaan bersatu dengan pendidik. Dari suasana ini anak mendapatkan pengalaman dasar untuk hidup bermasyarakat, anatara lain:

a.       Saling percaya mempercayai.

b.      Rasa setia.

c.       Saling meminta dan memberi. 

Untuk memiliki perasaan-perasaan tersebut di atas anak dipersiapkan hidupnya di dalam suatu lingkungan keluarga yang teratur, dapat memberikan pimpinan di dalam hidupnya. Selalu menunjukkan kasih saying, kesetiaan, percaya agar dapat menjadi contih dari pada anak didiknya. Sebagai pendidik harus pandai menciptakan suasana sebagai alat pemersatu di dalam keluarga. Pendidik harus faham betul tentang situasi dan kondisi anak didik agar tidak menjadi keliru dalam memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswanya. Pemberian pengarahan atau bimbingan yang keliru tidak akan menjadikan anak didik menjadi mengerti akan tetapi sebaliknya membauta siswa jadi bingung atau jenuh dalam belajarnya, sehingga bagaimana pun harus diusahakan kesatuan langkah yang harmonis antara guru dan siswa dalam rangka melakukan tindakan proses belajar mengajar. [5]

D.    Batas-batas Pendidikan Islam

1.      Batas awal Pendidikan Islam

Dr. Asma Hasan Fahmi mengemukakan bahwa di kalangan ahli didik Islam berbeda pendapat tentang kapan anak mulai dapat didik. Sebagaian di antara mereka mengatakan setelah anak berusia 4 tahun.

Prof. M. Athiyah Al-Abrasy menceritakan di dalam bukunya Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam sebagai berikut:

Pada suatu ketika, Mufasal bin Zaid melihat anak seorang wanita Islam dari desa maka beliau terpesona melihat wajahnya dan kesempurnaan bentuk badannya. Zaid bertanya kepada ibunya menganai anak tersebut, dan dijawab. “Ketika ia berumur 5 tahun saya telah menyerahkannya kepada seorang juru didik, ia belajar belajar menghapal Al-Qur’an, kemudian mempelajari syair dan sesudah itu diberikan kepadanya sejarah nenek moyang dan kaumnya dan membaca jasa-jasa dan kemegahan mereka hingga ia dewasa kemudian ia dilatih mengendarai kuda dan mempergunakan senjata, ia disuruh berjalan dari rumah ke rumah dan ketika ia mendengar suara minta tolong, dengan cepat ia membantu dan menolong.

Dari jawaban ibu tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak didik setelah berumur 5 tahun, urut-urutan ilmu yang diberikan adalah: membaca Al-Qur’an, mempelajari syair, mempelajari sejarah nenek moyang dan kaumnya, mengendarai kuda, dan menggunakan senjata.

Menurut Al-Abdari, anak mulai didik dalam arti sesungguhnya setelah berusia 7 tahun. Karena itu, beliau mengeritik orang tua yang menyekolahkan anaknya pada usia yang masih terlalu muda, yaitu sebelum usia 7 tahun.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa belum ada kesepatakan para ahli diid Islam tentang kapan anak mulai dididik. Namun, jika diterapkan dalam praktek pendidikan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk memeasuki pendidikan prasekolah sebaiknya anak berumur 5 tahun, sedangkan untuk memasuki pendidikan dasar, maka sebaiknya setelah anak berumur 7 tahun.

Manusia adalah makhluk Allah yang paling unik dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Keunikannya terletak pada manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia, sebagai khalifah di muka bumi yang kelak di hari akhirat akan diminta pertanggungjawabannya.

Firman Allah:

 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤

“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)

  ۞وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَٰهُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ وَرَزَقۡنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلۡنَٰهُمۡ عَلَىٰ كَثِيرٖ مِّمَّنۡ خَلَقۡنَا تَفۡضِيلٗا ٧٠

Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (QS. Al-Isra: 70)

 

 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِي كَبَدٍ ٤

 “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)

Oleh karena itu, manusia seyogianya dibimbing dan diarahkan sejak awal pertumbuhan agar kehidupannya berjalan ulus. Bimbingan yang dilakukan sejak dini mempunyai pengaruh besarbagi kehidupannya di masa dewasa. Hal inilah yang menjadi latar belakang sabda Nabi yang memerintahkan agar manusia belajar sejak kecil.

Sabda Nabi Saw:

اُطْلُبُ الْعِلْمِ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ

“Belajarlah (carilah ilmu) sejak engkau dalam buaian (ayunan) sampai liang lahat”

Pepatah Arab menyatakan:

اَلتَّعَلُّمُ فِى الصَّغِيْرِ كَاالنَّقْشِ عَلَى الْحَجَرِ

“Belajar pada waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu”

Maksudnya semua yang dipelajari anak di waktu kecil mempunyai kesan/pengaruh yang dalam baginya dan sulit dihilangkan, kalaupun ia ingin menghilangkannya, ia harus melalui proses yang lama. Kesan yang diterima pada waktu kecil telah masuk ke dalam jantung hatinya sehingga telah mendarah daging bagi dirinya. Karena itu, kepada orang tua dianjurkan untuk membimbing anaknya sedini mungkin dengan penuh keteguhan.

2.      Batas akhir pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk kepribadian muslim. Untuk mewujudkan kepribadian muslim itu sangat sulit. Sesudah terwujudnya kepribadian muslim diperlukan pemeliharaan kestabilan kepribadian muslim tersebut oleh karena itu, sebagaimana sabda Rasulullah itu maka batas terakhir pendidikan Islam yaitu sampai akhir hayat. Begitu besar perhatian Islam terhadap pentingnya pendidikan ini. Sampai-sampai Rasulullh memerintahkan kepada umatnya yang sedang menunggui orang yang kan sakaratul maut supaya menuntunya membaca kalimah La ilaha illah. Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Ajarilah orang yang akan meninggal dunia dengan kalimat “Lailaha illah”.[6]


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Peserta didik adalah sumberdaya manusia yang memerlukan pendidikan. Makna memerlukan tidak hanya diartikan yang bersangkutan memiliki pemahaman dan kesadaran untuk memperoleh suatu pendidikan, namun lebih jauh lgi adalah setiap orang, setiap anak atau setiap sumber daya yang menurut konstitusi kultural, sosial dan individual seharusnya memperoleh pendidikan. Dengan demikian peserta didik tidak hanya diartikan mereka yang masih berusia muda, mereka yang secara biologis siap dan sedang berkembang tetapi, setiap orang yang belum dewasa baik secara fisik/jasmaniah maupun moral/rohaniahnya.

Adab dan tugas peserta didik yaitu: Pertama, peserta didik harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainya. Kedua, peserta didik harus mengurangi keterikatanya dengan kesibukan duniawiah karena kesibukan itu akan melengahkanya dari menuntut ilmu. Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berlilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru. Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal haarus menjadi diri dari mendengarkan perbedaan pendapat ataau khilafiah antermazhab karena hal itu akan membingungkan pikiranya. Kelima, menuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama ialah ilmu mengenal Allah. Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmunya. Ilmu itu sifatnya bertahap dan berurutan. Antara satu ilmu dengan ilmu lainya. Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belaajarnya.


 

Hubungan antara pendidik dan anak didik dapat sebaga: pelindung, menjadi teladan, pusat mengarahkan pikiran dan perbuatan, serta pencipta perasaan bersatu.

Batas-batas pendidikan Islam dapat dibagi menjadi 2 yaitu:  batas awal pendidikan Islam dan batas akhir pendidikan Islam.

B.     Saran

Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.


 

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Aziz. 2009. Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras.

Ahmad Syar’I. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ahmad Tafsir. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press.

Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.



[1] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis” (Jakarta: Ciputat Press, 2005) hlm. 47

[2] Ahmad Syar’I, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 41-42

[3] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis,  dan Praktis” (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm.48-50.

[4] Ahmad Tafsir, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008) hlm. 166-168

[5] Abd. Aziz, “Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam”, (Yogyakarta: Teras, 2009) hlm. 199-201

[6] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: Pustaka Seta, 2001) hlm. 124-129


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah tentang: BAIK DAN BURUK

Makalah tentang Rabi'ah al-Adawiyah

LANDASAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN