NIKAH VIA TEKOLOGI
Kepada
seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini
terdapat kesalahan, juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap
teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi
sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari.
Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.
Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:
BAB I
PENDAHULUAN
Nikah adalah salah satu pokok hidup yang utama
dalam pergaulan dan bermasyarakat yang sempurna. Bukan saja pernikahan itu satu
jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan menjaga
keturunan, tetapi pernikahan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lainnya serta perkenalan itu
akan menjadi jalan untuk menyampaikan bertolong-tolongan satu dengan yang
lainnya.
Sebenarnya pertalian pernikahan adalah
pertalian yang sesungguhnya dan seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan
manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunannya saja, bahkan antara
kedua keluarga. Betapa tidak ? dari sebab pergaulan baik antara si isteri
dengan suaminya, kasih mengasihi serta kebaikan-kebaikan yang lainnya. Kebaikan
itu akan berpindah kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga
mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong menolong antara sesama dalam
menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan.
Seiring dengan perkembangan zaman, model dan
corak pernikahpun semakin berkembang, antara lain pernikahan yang akadnya lewat
telepon, dimana pernikahan tidak lagi harus secara langsung berhadap-hadapan
antara mempelai lelaki dengan mempelai perempuan atau dengan pihak lain yang
terkait dalam pernikahan (wali atau saksi). Oleh karenanya saya selaku penulis
ingin mencoba membahas sedikit mengenai model corak pernikahan lewat telepon
yang coba penulis paparkan dalam sebuah makalah yang diberi judul NIKAH VIA
TELEPON
Perkembangan teknologi dari hari kehari semakin pesat dan memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (Discovery) dibidang kedokteran,
kimia dan fisika, telah banyak pula ditemukan teknologi-teknologi baru dibidang
konstruksi, transportasi dan yang tak kalah penting penemuan dibidang komunikasi;
sebagai contohnya adalah Internet, telepon, telecom ference, handphone/hp,
telegram, telegrap, Faximiledan lain sebagainya.
Wartel (warung telephone), warnet (warung internet) dan telecom
ference tumbuh berkembang
dimana-mana. Sehingga tidak heran jika media
komunikasi semacam ini kini mulai sangat akrab dan kental dengan aktivitas
kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari aktivitas pergaulan
(persahabatan), pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian, hiburan, dan
bisnis. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menggunakan untuk melakukan akad
pernikahan jarak jauh.
Sehingga
hal menarik yang muncul akhir-akhir ini ialah persoalan akad nikah melalui
telepon dan media komunikasi elektronik lainnya. Persoalan tersebut patut
mendapat perhatians ecara serius, dan perlu pengkajian lebih men dalam.
Kajian bukan saja ditujukan kepada putusan pengadilan agama Jakarta selatan No.
1751/ P/1989 tentang pengesahan praktik tersebut, tetapi lebih
menyeluruh, karena persoalan diduga akan muncul dalam bentuk lain dari yang
telah terjadi, yaitu melalui telepon, disamping dapat di dengar suaranya, juga
dapat dilihat gambar yang sedang berbicara. Dalam pemecahan masalah diatast
ersebut yang ditinjau dari kacamata fiqh, melalui literatur-literatur yang
sempat terjangkau.
Oleh
karena masalah ini merupakan persoalan baru di bidang fiqh islam,
maka dapat dipahami apabila terdapat kesimpulan yang bervariasi. Dan pembahasan
lebih lanjutnnya kita akan bahas di bab pembahasan berikutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang
telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, penulis mengajukan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum akad nikah melalui telepon?
2. Apa dasar-dasar yang dipakai dalam menentukan
hukum akad nikah melalui telepon?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar
pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan
atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’
nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan
dengan menggunakan lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج(mengawinkan).
Kata nikah ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan secara majazi
bermakna persetubuhan menurut pendapat yang shoheh ;
ويطلق شرعا على عقد مشتمل على الاركان والشروطا
B. Rukun Pernikahan
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak
bisa lepas dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama
terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan,
namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu
dari rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan
Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi,
kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan.
Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan) pernikahan
kepada halayak umum. Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun
pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya pembahasan secara
mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via
telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali hubungannya
dengan masalah shighat dan saksi.
Akad nikah sah secara syar’i jika memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya. Rukun-rukun nikah menurut jumhur ulama ada 5, yaitu:
1. Ada mempelai pria
2. Ada mempelai wanita
3. Ada wali nikahnya
4. Ada dua orang saksi, dan
5. Akad ijab qabul
C. Landasan
Hukum
1. Al-Qur’an
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar Rum : 21
2.
Hadits
عَنْ اَبِيْ سَعيد سعد بن مَا لِكٍ بِنْ سِنَا نٍ الخُدْرِيًّ
رَضِيَ ا لله عنه اَنَّ رَ سُوْ ل الله صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ قَا لَ
لاَ ضَرَرَ وَلا ضِرَا رَ حَدِ يْثٌ حَسَنٌ رَ واهُ ابن مَا جَه وَ الدَّ ر قَطنى
وَ غَيْرُ هُمَا مُسْنَدٌ او رَوَا هُ ابْنُ مَا جَه
Artinya:
“Dari Abi
Said Saad bin Malik bin Sinan al-Khudriyi r.a., sesungguhnya Nabi saw bersabda
: “tidak boleh membuat mudaratkepada diri sendiri dan kepada orang lain.”
Hadits hasan (H.R.
Ibnu Majah dan ad-daruquthni).
3.
Pandangan
Ulama
Pandangan
ulama dalam kitab kifayatul akhyar karangan ImamTaqiyuddin menjelaskan bahwa :
يُشْتَرَطُ فِي صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُوْرُ اَرْبَعَةٍ
: وَلِيِّ, وَزَوْجٍ,وَشَا هِدَي عَدْلٍ,وَ يَجُوْ زُ اَنْ يُوْكِلَ الْوَلِىُّ
وَالزَّ وْجُ,فَلَوْ وَكَلَ الْوَ لِىُّ وَالزَّوْجُ اَوْاِحْدًا هُمَااَوْ حَضَرَ
الْوَلِىُّ وَوَكِيْلُهُ لَمْ يَصِحُّ النِّكَاحُ لِاَنَّ الْوَكِيْلَ نَا ئِبُ
الْوَلِىِّ. والله اعلم.
Artinya:
“disyari’atkan
sahnya akad nikah hadirnya empat orang, yaitu wali, suami, dan dua orang saksi
yang adil. Dan boleh saja wali dan suami atau salah seorang dari keduanya sudah
mewakilkan, Wallahu ‘alam.”
Syarah diatas sudah jelas menjabarkan
tentang akad nikah. Bahwasanya akad nikah harus di laksanakan dalam satu waktu
dan satu majelis(فِىْ
مَجْلِسٍ وَا حِدٍ)
D. Syarat-Syarat Shighat
(Ijab Qabul)
Akad nikah adalah suatu yang
didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela oleh karena itu akad nikah dijadikan
manifestasinya adalah ijab dan Kabul. Ijab dan Kabul adalah
unsure mendasar bagi keabsahan akad nikah. Ijab diucapkan oleh wali, sebagai
pernyataan rela menyerahkan anak perempuannya kepada calon suami, dan Kabul
diucapkan oleh calon suami, sebagai pernyataan rela mempersunting calon
istrinya. Lebih jelasnya lagi ijab berarti menyerahkan amanah Allah kepada
calon suami, dan Kabul berarti sebagai lambang bagi kerelaan
menerima amanah Allah tersebut.
Dengan ijab dan Kabul menjadi halal
sesuatu yang tadinya haram yang dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim, Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita.
Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagaiamanahdari Allah, dandihalalkanbagi
kalian dengankalimat Allah”.
Yang dimaksud dengan “kalimat
Allah” dalam hadis diatas ialah ucapan ijab dan
Kabul. Oleh karenanya arti dari ijab dan Kabul itu penting bagi keabsahan akad
nikah, maka banyak persyaratan secara ketat yang harus dipenuhi untuk
keabsahannya.
Dalam pemahaman dan penghayatan
seperti itulah tampaknya Abu Zahrah menjelaskan nikah atau perkawinan sebagai
satu akad yang menimbulkan hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi
halal, tolong-menolong dan menyatukan hak-hak dan kewajiban keduanya. Hak
dan kewajiban disini ialah sesuatu ketentuan yang telah digariskan oleh syar’i.
Menurut undang-undang perkawinan
yang berlaku di Indonesia dalam undang-undang Nomor 1 Tahun1974 yang
disebutkan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang MahaEsa.”
Jadi perkawinan orang Islam
di Indonesia itu berpedoman pada hukum Islam, dalam hal ini masih tetap kembali
kepada fungsi akad nikah yang begitu menentukan. Dan tujuan perkawinan menurut islam
yaitu menuju rumah tangga yang bahagia di bawah tuntutan agama dan memelihara keturunan.
Dan pada intinya, sah atau tidaknya perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada
akadnya.Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama
mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Ijab Qabul harus dilaksanakan
dalam satu majlis (satu tempat).
Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas)
difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini
dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka juga
pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau
memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan
qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkontiu. Dari
pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat
tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh
pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat
dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat
Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa
pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti
internet, teleconference dan faximile. Sedangkan menurut pendapat yang shahih
(ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh
dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat
lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu
sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi,
dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat
tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi
persengketaan tentang akad tersebut. Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah
adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil
tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad),
maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah
SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu
Rafi'.
2. Kesesuaian antara ijab dan
qabul. Diucapkan dengan kata-kata tazwij dan inkah,).
Misalnya wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri
saya Khadijah..”, kemudian calon suami menjawab: “Saya terima nikahnya Fatimah
…”, maka nikahnya tidak sah, karena antara ijab dan qabul tidak sesuai. Kecuali
dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata hibbah
(pemberian
3. Yang melaksanakan ijab (wali)
tidak menarik kembali ijabnya sebelum qabul dari pihak lain (calon suami).
Jika sebelum calon suami menjawab wali telah menarik ijabnya,
maka ijab dan qabul seperti ini tidak sah.
4. Berlaku seketika, maksudnya
nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali mengatakan:
“Saya nikahkan anda dengan putri saya Khadijah besok atau besok lusa”, maka
ijab dan qabul seperti ini tidak sah.
Maksud dari syarat pertama yang menyebutkan bahwa ijab qabul
harus berada dalam satu Majlis maksudnya adalah proses ijab dan qabul harus
terjadi dalam satu waktu. Suatu akad ijab dan qabul disebut dalam satu Majlis
apabila setelah pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami segera
mengucapkan qabul. Diantara pernyataan ijab dan qabul tidak boleh ada jeda
waktu yang terlalu lama, sebab jika terlalu lama maka qabul tidak dianggap
sebagai jawaban ijab. Jeda yang lama mengiindikasikan calon suami menolak untuk
menyatakan qabul. Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi dengan perkataan
yang tidak terkait dengan nikah sedikit pun.
Dari penjelasan di atas, ijab dan qabul tidak harus dilakukan
antara dua pihak dalam satu tempat. Para ulama imam madzhab sepakat tentang
sahnya akad ijab dan qabul yang dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui
sarana surat atau utusan.
Misalnya ijab dan qabul dilakukan melalui surat atau utusan
dari wali yang dikirimkan kepada calon suami. Jika akad ijab dan qabul melalui
surat, yang dimaksud dengan Majlis akad yaitu tempat suami membaca surat yang
berisi ijab dari wali di hadapan para saksi, dan jika calon suami setelah
membaca surat yang berisi ijab dari wali segera mengucapkan qabul, maka akad
nikah dipandang dilakukan dalam satu Majlis.
Jika akad ijab dan qabul melalui utusan, yang dimaksud dengan
Majlis akad yaitu tempat utusan menyampaikan ijab dari wali pada calon suami di
hadapan para saksi, dan jika setelah utusan menyampaikan ijab dari wali, calon
suami segera mengucapkan qabul, maka akad dipandang telah dilakukan dalam satu
Majlis.
Pada zaman dahulu, akad antara dua pihak yang berjauhan hanya
terbatas melalui alat komunikasi surat atau utusan. Sekarang, alat komunikasi
berkembang pesat dan jauh lebih canggih. Seseorang dapat berkomunikasi melalui
internet, telepon, atau melalui tele-conference secara langsung dari dua
tempat yang berjauhan. Alat komunikasi telepon atau handphone, dahulu hanya
bisa dipergunakan untuk berkomunikasi lewat suara (berbicara) ataupun SMS. Saat
ini teknologi HP semakin canggih, di antaranya adalah fasilitas jaringan 3G.
Salah satu layanan yang bisa dimanfaatkan melalui fasilitas jaringan 3G ini
adalah video call. Melalui video call seseorang dapat
berkomunikasi langsung lewat suara dan melihat gambar lawan bicara.
Oleh sebab itulah, jika akad ijab dan qabul melalui surat
atau utusan disepakati kebolehannya oleh ulama madzhab, maka akad ijab dan
qabul menggunakan fasilitas jaringan 3G, yakni melalui video call lebih
layak untuk dibolehkan. Dengan surat atau utusan sebenarnya ada jarak waktu
antara ijab dari wali dengan qabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad
melalui surat dan utusan masih dianggap satu waktu (satu Majlis). Sedangkan
melalui video call, akad ijab dan qabul benar-benar dilakukan dalam satu
waktu. Dalam akad ijab qabul melalui surat atau utusan, pihak pertama yakni
wali tidak mengetahui langsung terhadap pernyataan qabul dari pihak calon
suami. Sedangkan melalui video call, lebih baik dari itu, yakni pihak
wali dapat mengetahui secara langsung (baik mendengar suara maupun melihat
gambar) pernyataan qabul dari pihak calon suami, demikian pula sebaliknya.
Kelebihan video call yang lain, para pihak yakni wali dan calon suami
mengetahui secara pasti kalau yang melakukan akad ijab dan qabul betul-betul
pihak-pihak terkait. Sedangkan melalui surat atau utusan, bisa saja terjadi
pemalsuan.
Dengan demikian akad ijab dan qabul melalui video call
sah secara syar’i, dengan catatan memenuhi syarat-syarat akad ijab dan qabul
yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sah nikah yang lain.
Apabila akad ijab dan qabul melalui video call sah antara wali dengan
calon suami, maka sah juga untuk akad tawkil (mewakilkan) dari pihak wali
kepada wakil jika wali mewakilkan akad nikah pada orang lain. Bahkan sah juga
akad ijab dan qabul melalui video call antara wakil dengan mempelai
pria.
Sekalipun demikian, alangkah baiknya akad ijab dan qabul
dilakukan secara normal dengan bertemunya masing-masing pihak secara langsung.
Ijab dan qabul dilakukan via video call apabila memang diperlukan karena
jarak yang berjauhan dan tidak memungkinkan untuk masing-masing pihak bertemu
secara langsung.
E. Syarat-Syarat Saksi Pernikahan
Persyaratan Bersatu Majelis Bagi
Ijab dan Kabul
Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya
al-fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah menjelaskan, apa bila akad nikah yang
tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dan Kabul, maka akad nikah tersebut
dianggap tidak sah. Sedangkan banyak pendapat ulama yang menerangkan terhadap apa
yang dimaksud dengan ittihad (bersatu) majelis, salah satunya terdapat dua penafsiran
tentang masalah itu, ialah sebgai berikut:
1. Ittihad al-majelis
Ialah bahwa ijab dan Kabul
harus dilakukan dalam waktu yang tedapat dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan
dua jarak waktu secara terpisah, artinya bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah itu
ijab bubar, lalu Kabul diucapkan pada acara berikutnya.
Menurut Said Sabiq dalam kitabnya fiqh
as-sunnah menjelaskan bersatu mejelis bagi ijab dan kabul, menekankan
kapada pengertian tidak boleh terputusnya antara ijab dan kabul. Dan apabila
salah seorang dari dua belah pihak yang melakukan akad nikah gaib
(tidakbisahadir), maka jalan keluarnya ialah mengutus wakil atau dengan menulis
surat kepada pihak lain untuk menyampaikan akad nikahnya. Dan jika menyetujui isi surat,
hendaklah mengadirkan para saksi
di depan redaksi surat itu dibacakan.
Menurutnya praktik seperti ini adalah sah,
selama pengucapnnya dilakukan langsung dalam satu majelis.
Dari penjelasan diatas,
bahwa esensi dari persyaratan bersatu majelis adalah menyangkut masalah keharusan kaitannya antara ijab dan kabul.
Jadi ijab dan Kabul itu benar-benar atas kerelaan dari kedua belah pihak untuk mengadakan
akad nikah.
Sebaliknya, adanya jarak dan waktu
yang memutuskan ijab dan Kabul itu, menunjukkan bahwa calon suami tidak lagi
sepenuhnya rela untuk mengucapkan kabul, dan wali nikah dalam jarak waktu itu
sudah tidak lagi pada pendiriannya semula, atau setelah mundur dari
kepastiannya, maka ijab dan Kabul dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
Sedangkan dari
segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum tentang transaksi yang dilakukan
melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua belah pihak. Dalam
madzhab Syafi’iyyah sendiri terjadi perbedaan antara Imam Syafi’i dan para
pengikutnya. Menurut pendapat yang shahih transaksi melalui sepucuk surat tanpa
kehadiran kedua belah pihak tidak sah, karena surat saja tidak cukup kuat
sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan hukum. Sedangkan menurut ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena
surat adalah Kitab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah al-khitab min
al-hadhir) dengan
syarat dihadiri dua orang saksi. Sementara pendapat Jumhur Ulama’ bahwa nikah
adalah sebuah mitsaq ghalizh (tali perjanjian yang kukuh dan kuat)
bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu
pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh kedua belah pihak mempelai, wali
nikah dan dua orang saksi, sehingga tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan
mengingkari pelaksanaan pernikahan tersebut. Dan alat
komunikasi seperti telepon dan lainnya masih belum cukup kuat untuk dijadikan
sebagai alat bukti telah terjadi perbuatan hukum.
2.
Ittihad al-majelis
Ialah disyaratkan, karena ada kaitan
yang erat hubungannya dengan tugas dua
orang saksi. Seperti diketahui bahwa diantara syarat sah suatu akad nikah,
yang dihadiri dua
orang saksi. Tugasnya kedua orang saksi itu memastikan secara keabsahan ijab
dan Kabul, bagi dari segi redaksinya maupun segi kepastiannya dari yang
diucapkan kedua belah pihak.
Kepastian inilah yang sejalan dengan
pendapat dikalangan ulama-ulama mujtahid terdahulu, terutama kalangan
Syafi’iyah. Menurutnya kesaksian orang buta tidak dapat diterima untuk akad
nikah. Dan untuk selalu bersifat berhati-hati (ihtiyat) dalam menetapkan suatu
hukum.
Sedangkan
menurut pendapat yang shahih dari Ulama syafi’iyyah, ijab qabul tidak boleh
dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muamalat
lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu
sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridha akan adanya transaksi,
dan ridha tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat
tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi
persengketaan tentang akad tersebut.
Dengan
demikian,persyaratan bersatunya majelis akad menyangkut keharusan dan
berkesinambungan antara ijab dan kabul (kesatuan akad), bukan menyangkut
kesatuan tempat. Karena, meskipun tempat upacara akad dilakukan dalam satu
tempat/ ruangan yang sama, tetapi pengucapannya ijab dan kabul dilakukan dalam
dua waktu dan dalam upacara yang terpisah, maka kesinambungan anatara
pelaksanaan ijab dan kabul tidak terwujud. Oleh karenanya, maka akad nikahnya
dianggap tidak sah.
Seperti yang telah kami sampaikan di
atas, bahwa Jumhur Ulama sepakat pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya
saksi-saksi. Kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan adanya saksi,
namun pernikahan wajib diumumkan kepada halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan
adanya saksi mensyaratkan sebagai berikut;
a. Aqil Baligh
b. Merdeka
c. Islam
d. Dapat mendengar dan melihat
Dari empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang
akan kita bahas bersama yaitu syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan
melihat adalah dua komponen yang harus bersama-sama. Tidak cukup hanya
mendengar suara pihak-pihak tanpa adanya wujud secara fisik, begitu juga hanya
melihat wujud fisik para pihak, namun tidka mendengar suara ijab qabulnya.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad
nikah yang dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak
melihat fisik para pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi
terjadinya persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika
hanya mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad
Abu Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab qabul secara
langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa
seorang saksi harus dapat meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya
prasangka, sebab mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan
suatu keyakinan dalam hati saksi.
Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani,
jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan
adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut
seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama
Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia
mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara
Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam
kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan.
Dari pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang
merah bahwa, jika yang hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini
karena adanya indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang
sedang dilihat dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan, maka akad
pernikahan hukumnya diperbolehkan dan sah.
F. Nikah Lewat
Telepon Menurut Hukum Islam
Dasar-Dasar Yang Dipakai Dalam
Menentukan Hukum Akad Nikah Melalui Telepon Proses
pernikahan dalam Islam mempunyai aturan-aturan. Sebuah akad pernikahan yang
syah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan
qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang
saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak
ada unsur penipuan dan pengelabuhan.
Mengenai perkawinan jarak jauh pada
prinsipnya dilakukan jarak jauh dan harus memenuhi ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam perkawinan akibat hukumnya adalah timbulnya hak dan
kewajiban suami istri.
Perkawinan jarak jauh memanfaatkan peralatan
modern seperti telekonference, MMS, telepon, Surat elektronik, SMS, faksmili
dan sebagainya. Sah tidaknya perkawinan jarak jauh ditentukan melalui apakah
perkawinan tersebut telah memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai
perkawinan yaitu undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi
hukum Islam.
Dalam praktiknya, ijab kabul perkawinan jarak
jauh sering ditemukan. Bahkan, PT Telekom unikasi Indonesia telah
memfasilitasinya pada Maret 2006. Telkom
Kandatel Bandung bisa jadi
merupakan penyelenggara pernikahan jarak jauh via internet yang pertama. Soal
biaya, jangan membayangkan angka enam digit alias jutaan. Karena tarifnya cukup
murah, lebih kurang Rp100 ribu.3
Tetap bisa terjadi pernikahan, tanpa harus salah satu pihak
mendatangi yang lainnya adalah dengan pewakilan (tawkil). Baik dilakukan oleh
pihak orang tua (wali) pihak wanita, ataupun oleh pihak pengantin laki-laki.
Seorang ayah kandung (wali) pihak calon pengantin wanita
sudah sering kita lihat mewakilkan wewenangnya kepada pihak lain. Meski yang
bersangkutan hadir di dalam majelis akad nikah. Misalnya, seseorang dengan
pertimbangan tertentu mewakilkan dirinya kepada seorang tokoh ulama atau pemuka
masyarakat untuk menjadi wali nikah. Maka dalam akad nikah itu dia hanya
menonton saja, padahal dirinyalah yang tadinya melakukan akad nikah. Dan
praktek seperti hukumnya dibenarkan dalam syariat, baik dia ikut hadir dalam
majelis akad itu atau pun tidak hadir.
Kalau cara ini yang dipilih, maka orang tua calon istri boleh
saja mengutus seseorang menjadi wakilnya ke negeri tempat calon penganten tinggal. Atau boleh juga menyampaikan pesan kepada seseorang
yang sudah tinggal di negeri calon
penganten untuk menjadi wakilnya. Pesan
itu bisa saja disampaikan lewat telepon international, boleh juga dengan surat,
email atau media lainnya. Yang penting keasliannya bisa dipertanggung-jawabkan.
Maka orang yang ditunjuk menjadi wakilnya boleh menjadi wali
dalam akad nikah di negeri tempat calon
penganten tinggal. Orang itu boleh saja
seorang teman, atau mungkin famili atau kenalan dari pihak keluar wanita, atau
boleh siapapun. Sebagaimana yang berlaku di dalam hukum perwakilan umumnya.
Tidak disyaratkan harus yang masih punya hubungan darah dengan wali aslinya.
Jadi akad nikah bisa tetap dilakukan di tempat calon istri.
Pastikan calon mertua sudah mewakilkan hak kewaliannya kepada seseorang. Dan
pastikan juga bahwa akad nikah itu disaksikan oleh sejumlah orang Islam,
minimal 2 orang saksi yang 'aqil, baligh, laki-laki, adil dan tidak fasiq.
Begitu ijab qabul telah diucapkan, resmilah berdua menjadi suami istri. Meski
berada di tempat yang terpisah oleh belahan bumi yang berbeda.
G. Hukum Akad Nikah Melalui
Telepon
Prosesi ijab kabul, masih kontroversial.
Hampir semua imam fikih berpendapat ijab kabul harus satu majelis. Namun ulama
kontemporer, dengan menimbang persoalan ekonomi, baru-baru ini memperbolehkan
perkawinan jarak jauh. Tentang perkawinan jarak jauh, menyangkut persoalan akad
atau kontrak. Kontrak itu harus jelas, siapa yang melakukan akad, saksi dan
walinya siapa. Apalagi perkawinan merupakan kontrak jangka panjang.
Ada yang berpendapat, bahwa momen perkawinan
adalah penting, sehingga kedua mempelai harus hadir. Bukan persoalan sah dan
tidak sah. Tapi secara moral, orang menikah itu harus hadir secara fisik.
Karena ada kedekatan psikologis antara calon pengantin. Dan ada juga
yang berpendapat, bahwa ijab kabul sama dengan akad sehingga, kalau terpenuhi
prinsip-prinsip kepastian, perkawinan bisa dilakukan jarak jauh.
Sebagai perbandingan, di Mesir, berdasarkan
buku laporan pelatihan hakim Indonesia gelombang II di Kairo, 2003, pengertian
satu majelis tidak harus duduk dalam satu tempat. Oleh karenanya, ijab kabul
melalui telepon dipandang sah bila dapat dipastikan suara yang didengar adalah
suara orang yang melakukan ijab kabul. Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat
surat elektronik dibacakan oleh kuasanya yang sah di depan dua orang saksi
nikah dan banyak orang.
Adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang
pernah melakukan perkawinan jarak jauh. Ia saat itu menempuh studi di Mesir dan
saat ijab kabul mewakilkan dirinya kepada orang lain lewat surat kuasa. Saat
itu, Gus Dur sebagai mempelai pria diwakili kakeknya dari garis ibu, KH Bisri
Syansuri. Dan ini membuktikan bahwa di Indonesia putusan pengadilan mengesahkan
perkawinan lewat telepon.
Rifyal yang menyabet gelar master dari Department
of Social Sciences, Kairo, Mesir menganalogikan ijab dan kabul perkawinan
dengan perdagangan yang menurut Islam juga harus dilakukan dalam satu majelis.
“Tapi sekarang jual beli ekspor impor ’kan tidak begitu. Buyer (pembeli,
red)-nya di Amerika Serikat, kita di sini. Dan itu di seluruh negara Islam
dipandang sah-sah saja,” contoh Rifyal.
Perkawinan jarak jauh khususnya lewat
media telepon telah dikukuhkan oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989.
NIKAH VIA TELEPON
A.
Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Nikah
Nikah secara
bahasa artinya berkumpul dan bercampur sedangkan secara istilah fikih nikah
adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulah (kumpul dan campur bareng) antara
lelaki dan seorang perempuan dalam membentuk suatu keluarga yang sakinah (bahagia), mawaddah (kekal), dan rahmah
(sejahtera) dengan syarat-syarat tertentu.
Adapun rukun
dari nikah itu sendiri secara umum terdiri dari;
1.
Kedua mempelai
2.
Adanya wali dari pihak mempelai wanita
3.
Adanya dua orang saksi
4.
Akad nikah (ijab kabul)
Dari
masing-masing rukun itu sendiri terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi demi
sahnya sebuah perkawinan, syarat-syarat tersebut yaitu;
1.
Kedua mempelai haruslah dari keluarga yang
berbeda, maksudnya bukan dari adanya nasab, semenda ataupun dari anak sesusuan;
serta tidak ada paksaan serta nyata
2.
Untuk wali dan dua orang saksi haruslah orang
islam, baligh, berakal, merdeka dan haruslah seorang lelaki, serta adil;
B.
Nikah Melalui Telepon.
Nikah melalui
telepon dapat diartikan sebagai suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab kabulnya
dilakukan melalui telepon, jadi antara mempelai lelaki dengan mempelai
perempuan, wali dan saksi itu tidak saling bertatapan. Tetapi sebelum mengkaji
lebih dalam mengenai hukum dari nikah yang dilakukan lewat telepon, saya ingin
mencoba mengangkat sebuah kasus pernikahan (kasus ini saya ambil dari situs www.majalahindonesia.com) antara Rita Sri Mutiara Dewi yang berasal
dari Jln. Cibeureum, Cimahi, dengan Wiriadi Sutrisno yang berasal di
California, Amerika Serikat. Dimana perkawinan mereka dilakukan
lewat internet dengan hanya memandang lewat layar screen.
Dari kasus tersebut penulis ingin
sedikit mengemukakan tentang beberapa hal yang pernikahan melaluli telepon,
setidaknya ada beberapa pendapat yang mengomentari masalah ini,
pendapat-pendapat tersebut antara lain;
Pertama, membolehkan, para ulama yang
membolehkan nikah yang akadnya lewat telepon mengatakan bahwa nikah yang
seperti ini sebenarnya sudah digambarkan dalam masa Rasulullah, hal ini sebagaimana
digambarkan dalam sebuah hadits
Artinya :“Bahwasanya Umu Habibah
adalah Istri Ubaidillah bin Jatsy. Ubaidillah meninggal di negeri Habasyah,
maka raja Habasyah (semoga Allah memberi rahmat kepadanya) menikahkan Umu
Habibah kepada Nabi SAW, ia bayarkan maharnya 4000 dirham, lalu ia kirimkan Umu
Habibah kepada Nabi SAW bersama Surah Bil bin Hasanah lalu Nabi SAW
menerimanya.” (H.R Abu Daud dan Nasa’i)
Dalam hadits
di atas para Ulama yang mengemukakan diperbolehkanya nikah tanpa adanya
pertemuan antara kedua mempelai itu berpendapat bahwa menikahkan seorang wanita
kepada seorang laki-laki tanpa keduanya itu boleh-boleh saja, asal kedua-duanya
sama-sama suka. Bahkan menurut mereka (ulama) menurut mereka model pernikahan
seperti ini jauh lebih aman asal sudah saling mengetahui watak dan kepribadian
masing-masing sebelumnya.
Kedua, tidak membolehkan, kebanyakan ulama yang
mengatakan bahwa pernikahan melalui telepon itu tidak sah itu disebabkan karena
faktor ketidak jelasan dari si mempelai baik mempelai lelaki maupun dari pihak
perempuan, hal ini disebabkan karena dapat memungkinkan adanya unsur penipuan
sebab suara yang didengarkan lewat telepon dapat dipalsukan artinya hal ini
dapat menyebabkan adanya ketidak jelasan dalam perkawinan itu sendiri. Padahal dalam
sebuah perkawinan diantara sarat dari kedua mempelai adalah adanya kejelasan
mempelai itu sendiri, sedangkan dalam nikah model ini menurut mereka dianggap
kurang adanya kejelasan adanya mempelai.
Berdasarkan kedua pendapat di atas
penulis mencoba menawarkan sebuah kesimpulan yang sedikit berbeda dengan
keduanya, yaitu dengan membolehkan sebuah pernikahan tanpa mempertemukan kedua
mempelai secara langsung, dalam hal ini melalui telepon dengan syarat dengan
harus menampilkan gambar orang yang berbicara (melalui teleconference atau
percakaan di telepon/internet yang langsung bisa bertatap muka satu sama
lainnya) hal ini dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan seperti yang telah
dipaparkan oleh pendapat kedua maka penulis menganjurkan adanya visualisasi.
C.
Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam
Menentukan
sah atautidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhiatau tidaknya rukun-rukun
nikah dan syarat-syaratnya. Secara
formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon
suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul.Namun, jika
dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada
kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya,
identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin
(baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada
tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak.Pengecekan masalah ini lewat
telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Apabila pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir
tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon.
Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan
pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa
melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan.
Demikian
juga apabila ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi
yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat
yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarti yang sedang belajar di
Universitas Indiana Amerika Serikat pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul
10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.
Oleh
karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan dibolehkan menurut Hukum
Islam, karena selain terdapat kelemahan/ kekurangan dan keraguan dalam memenuhi
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga
berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1. Nikah merupakan peristiwa yang
sangat penting dalam kehidupan manusia, danitu bukanlah sembarangan akad,
tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta
tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-nissa: 21 :
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan
bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama
lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”
2. Nikah lewat
telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau
penipuan (gharar/ khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan
(confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan
syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak
sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih:
لا ضرر ولا ضرارا
“Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada
orang lain.”
Dan Hadis Nabi:
دَعْ مَا يَرِ يْبُكَ اِلَى مَا
لَا يَرِ يْبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah)
dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.”
دَرْعُ
ا لْمَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ ا لْمَصَا لِحِ
“Menghindari
mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
(Dewan
Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa) Arab Saudi menjawab:
1. banyaknya tipudaya dan kebohongan di zaman ini.
2. kemahiran dalam meniru ucapan dan menyerupai vokal suara
seseorang sampai-sampai seseorang bisa untuk berperan menjadi orang banyak baik
sebagai laki-laki, wanita, anak kecil dan dewasa yang ia berpura-pura menjadi
mereka dalam vokal suara dan logat mereka yang menjadikan seseorang yang
mendengar mengira bahwa yang sedang berbicara adalah orang banyak, padahal
hanya satu orang saja.
Maka Dewan
Tetap(Lajnah)melihat bahwa:
Tidak layak untuk menyandarkan
akad nikah dalam ijab-kabul dan perwalian melalui percakapan telepon sebagai
bentuk penerapan tujuan-tujuan syariatdan perhatian yang lebih dalam menjaga
kemaluan dan kehormatan. Sehingga, seorang pengikut hawa nafsu dan pemilik jiwa
yang dusta lagi pemerdaya tidak bisa bermain-main dengannya
Pengertian pernikahan via
telepon
Pernikahan via telepon dalam
konteks bahasa yaitu, pernikahan yang akad nikahnya dilakukan melalui jalan
telekomunikasi lewat suara atau yang disebut sebagai via televon. Secara
istilah umumnya bahwa pernikahan via telepon merupakan pernikahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang
memungkinkan untuk melaksanakan pernikahan, dan yang berada dalam keadaan jarak
jauh, dimana sebagian dari syarat dan rukun dalam pernikahan yang tidak bias
dilaksanakan sesuai hukum yang ada. Dan sehingga mengharuskan untuk terjadinya
proses pernikahan atau poses ijab qobul dengan melalui jalan telekmunikasi
suara.
2. Pandangan ulama’ tentang hukum pernikahan via telepon
Peristiwa nikah tersebut
mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama
dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat
telepon itu, Dan ada pula yang membolehkannya.
Satria Effendi M. Zein sebagai
salah satu pakar yang membidangi masalah hukum keluarga Islam di Indonesia ini
dalam bukunya “Analisis Yurisprudensi Mengenai Masalah Keluarga Islam
Kontemporer Indonesia” memberikan analisis yurisprudensi yang cukup
mendalam mengenai perkawinan melalui media telepon sebagaimana dikukuhkan
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989. Dalam pendapatnya,
Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua macam putusan yang dapat
dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu membolehkan sesuai
dengan kecenderungan Madzhab Hanafi ataupun melarang sesuai dengan
kecenderungan Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M. Zein menyerahkan
putusan yang diambil sesuai dengan dasar yang dipakai majelis hakim, dan
memberikan penekanan bahwa keduanya boleh dipakai selama belum ada
undang-undang yang secara jelas mengatur mengenai hal ini.
a. Ulama’ yang tidak membolehkan pernikahan via telepon
Urusan perkawinan di Indonesia
dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta diatur
ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-aturan Islam mengenai
perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini bersumber dari
literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai madzhab yang dirangkum dan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua dasar hukum mengenai
perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum
bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan perkawinan. Namun dalam praktek
pelaksanaan perkawinan yang berlaku di
masyarakat, ada hal-hal baru yang muncul yang bersifat ijtihad,
dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal
tersebut. Seperti pernikahan dengan jalan melalui via telpon atau sejenisnya.
Padahal praktek akad nikah jarak jauh (via telepon) dengan menggunakan media
teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai pada jaman sebelumnya. Bahkan
praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus shalih hanya
mensyariatkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti pelaku
akad apabila pihak pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria) berhalangan
untuk melakukannya, dan tetap dilaksanakan dengan sepengetahuan saksi maupun
kedua belah pihak yang ada.
Diantara Ulama’ yang tidak
membolehkan, yaitu Munawir Syadzali, M.A
Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan prof. dr.
Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA
tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya.
Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai
sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam
hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna
menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat
bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga
perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis
kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula
ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali
dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim
menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam
mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus
terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang
syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini
semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur
penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus
hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di
tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad
pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat
telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon
tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan
tidak ketemunya calon penganten ataupun wakilnya. Ini yang menyebabkan akad
pernikahan tersebut menjadi tidak sah. Seandainya dia menghadirkan dua saksi
dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan tidak sah, Karena
kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang
menelfon, begitu juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Suara yang ada ditelfon itu belum tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya
bahwa akad pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan
terjadinya penipuan dan manipulasi.
Maka dari itu disarankan siapa
saja yang ingin menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang
dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka
cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki yang
diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang laki-laki yang
ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka hendaknya dia mewakilkan
dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti adik, kakak, atau saudaranya
dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi. Seandainya ada laki-laki dan
perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka
wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil dari wali
tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan. Semua proses
pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan bukti-bukti dari
instasi resmi terkait, supaya tidak disalah gunakan.
Ijab qabul dalam akad nikah
melalui telepon hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan langsung antara
orang yang melaksanakan akad nikah.
Menurut jumhur ulama’,
perkawinan yang tidak di hadiri saksi-saksi, maka tidak sah. Jika ketika ijab
qobul tanpa ada saksi yang menyaksikan, sekalipun itu di umumkan kepada orang
ramai dengan cara lain, menjadikan perkawinan tersebut tetap tidak sah. Dengan
kata lain. Apalagi akad itu di lakukan melalui telefon, yang belum menjadikan
suatu itu benar-benar terjadi secara mutlak.
Dasar hukum dari larangan
pnikahan dengan via telepon yang bersumber dari:
a) Dari Aisyah, Rosulallah bersabda:
لا نكا ح ا لا بو لى و شا هد ى
عد ل
Artinya: Tidak sah
perkawinan keculi dengan wali dan dua saksi yang adil. (H.R. Daruquthni)
b) Kifayatul Akhyar II/5
(فرع) يُشْتَرَطُ
فِى صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُورُ أَرْبَعَةٍ: وَلِىٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَيْ
عَدْلٍ.
Artinya: (Cabang) dan
disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang ; wali,calon
pengantin dan dua orang saksi yang adil.
c) Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib III/335
وَمِمَّاتَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ
الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَبْطُ. (قوله والضبط) أَيْ لألْفَاظِ
وَلِىِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ فَلاَ يَكْفِي سِمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي ظُلْمَةٍ
لأَنَّ الأصْوَاتِ تَشْبِيْهٌ.
Maksud dari hadits tersebut yakni, mendengar, melihat dan
(dlobith) membenarkan adalah bagian dari syarat diperkenankannya dua orang
saksi. (pernyataan penyusun ‘wa al dlobthu) maksudnya lafadz (pengucapan) dari
wali pengantin putri dan pengantin pria, maka tidaklah cukup mendengar lafadz
(perkataan) mereka berdua dikegelapan, karena suara itu (mengandung)
keserupaan).
Jadi bisa di simpulkan, bahwa suatu pernikahan yang tidak di
dasarkan pada ketentuan-ketentuan yang telah di syariatkan oleh agama, yakni
harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang merupakan dasar bagi sahnya suatu
perkawinan. Maka tidak sah, dan jika syarat sahnya terpenuhi, maka menjadikan
perkawinan itu sah dan perkawinan itu dapat di katakana berlaku sesuai dengan
aturan yang ada.
b.
Pendapat yang membolehkan pernikahan via telepon
Menurut ulama’ Hanafiyah bahwa
akad nikah via telepon dan internet itu sah dilakukan karena mereka menyamakan
dengan akad nikah yang dilakukan dengan surat karena surat di pandang sebagai
khitab ( al – khitab min al – ghaib bi manzilah al – khitab min al – hadhir )
dengan syrat dihadiri oleh dua saksi.
Hanafiyyah memperbolehkan akad
nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan saksi dan
pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat
yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan
harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal
Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan
lewat media komunikasi seperti internet, teleconference dan faximile.
3. Hikmah dengan adanya hukum pernikahan via telefon
Dilihat pada kebanyakan apa yang terjadi pada masa sekarang,
yang berupa usaha penipuan, pemalsuan, dan jeleknya perangai pada perbuatan
sebagian orang dengan meniru sebagian yang lain dalam pembicaraan dan menekuni
penyamaam suara-suara orang lain, sampai-sampai di antara mereka mampu meniru
banyak orang dari gaya laki-laki atau perempuan, tua atau muda, atau meniru
suara-suara mereka, bahasa mereka yang berbeda-beda dalam satu tiruan, yang
sampai pada telinga pendengar seakan-akan orang yang berbicara terdiri dari
beberapa orang, padahal itu hanya satu orang saja.
Juga melihat betapa syariat Islam sangat perhatian dalam
menjaga kehormatan dan jiwa serta kehati-hatian dalam masalah ini lebih besar
dibanding kehati-hatian dalam masalah lain dari sekian jenis ikatan
(perjanjian) dalam muamalah. Maka dari itu
semestinya tidak perlu menyandarkan akad-akad nikah tersebut dalam ijab
qabul-nya dan pelimpahan perwalian kepada bentuk komunikasi melalui telepon,
dalam usaha untuk merealisir tujuan (maksud) dari syariat, hal ini juga di
prioritaskan terhadap upaya menjaga kehormatan dan jiwa sehingga tidak mudah
dipermainkan oleh orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu dan orang-orang
yang berbicara penuh dengan dusta dan penipuan.
Menentukan sah/tidaknya suatu nikah, tergantung
pada dipenuhi/tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal,
nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan
istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat
dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan /
kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu
dicek ada / tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama
atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua
belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah
cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa
hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan
telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali
dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak
bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab
qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat
berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda
waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Prof. Dr
Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs.
Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada
hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul
22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.
Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah
dan dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan
/kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya
sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai
berikut :
1.Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu,
pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi yang
shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak
boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2.Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan
akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab
yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat
nisa’ ayat : 21
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu Perjanjian yang kuat.
3.Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi
berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’),
dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi
atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang
demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri
sendiridan kepada orang lain.
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau,
(berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan
atas usaha menarik (mencari) maslahah.
Nikah
Lewat Telephon Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
Menentukan
sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhinya atau tidaknya
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon
dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi,
wali pengantin putri, ijab qabul. Namun, jika dilihat dari syarat-syarat dari
tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan
untuk nikah (baik karena adanya larangan
agama atau peraturan perundangan-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari
kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah
adalah cukup sukar. Demikian pula pengecakan tentang identitas wali yang tidak
bisa tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan
telepon. Juga para saksi yang hanya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali
dan pengantin putera lewat telepon dengan bantuan mikrofon, tetapi mereka tidak
bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab
qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat
berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda
waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang dilakukan oleh Prof. Baharudin yang
menikahkan puterinya di Jakarta (Dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarto yang
sedang belajar di Universitas Indianna AS pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989
pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indianna AS.
Karena
itu, menikah lewat telepon itu tidak diperbolehkan dan tidak sah menurut hukum
islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam
memenuhi rukun-rukun nikah lewat dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan
diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syar’i sebagai berikut :
a)
Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan
tuntunan Al-Qur’an dan sunah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum :
الْاَصْلُ فِي ا لْعِبَا دَةِ
حَرَ ا مٌ
“pada dasarnya ibadah itu haram.”
Artinya,
dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa) aturan
sendiri.
b)
Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu
bukanlah sembarang akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang
sakral dan syiar islam serta tanggung jawab yang berat bagi suami istri,
sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa :21
“...dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Q.S
An-nisa : 21)
c)
Nikah lewat telepon dan internet mengandung resiko tinggi berupa kemungkinan
adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula
menimbulkan keraguan (cafused atau syak), apakah telah terpenuhi atau tidak
rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Salah satu syarat yang
harus dipenuhi yaitu hadir dalam tempat yang sama (حضور فِى مَجْلِسٍ وَا حِدٍ)
{فَرْعٌ} يُشْتَرَطُ فِيْ صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَا حِ حُضُوْرٌ
اَرْ بَعَةٍ : وَلِىِّ وَزَوْجٍ وَشَا هِدَي عَدْل{فى كفا يت الا خيا ر الجز
:٢,الصفة :٥۱}
(cabang) dan disyaratkan dalam
keabsahan akad nikah hadirnya empat orang : wali, calon pengantin dan dua orang
saksi yang adil.( Kifayatul Akhyar juz 2
hal. 51)
وَمِمَّا تَركهُ مِنْ شُرُوْطِ
الشَّا هِدَ يْنِ السَّمْعَ وَالْبَصَرُ وَالْضَّبْطُ.{ قَوْ لُهُ وَ الضَّبْطُ}
اَيْ لالفَا ظِ وَلِىّ الزَّوْ جَة وَ الزَّوْجُ فَلَا يَكْفِى سَمَا ع الفَا
ظهُمَا فِي وَظلمَة لِاَنَّ الْاَ صْوَات تَشْبِيْه{ فى بجير مى على الخطيب الجز
:٣,الصفة : ٣٣٥ }
Mendengar, melihat dan
(dlobith) membenarkan adalah bagian dari syarat diperkenankannya dua orang saksi.
(pernyataan penyusun ‘wa al dlobthu) maksudnya lafadz (pengucapan) dari wali
pengantin putri dan pengantin pria, maka tidaklah cukup mendengar lafadz
(perkataan) mereka berdua dikegelapan, karena suara itu (mengandung)
keserupaan.(Hasiyah Al-Bujairomi ‘Ala al-Khottib juz 3, hal. 335)
Dikhawatirkan jika akad dilaksanakan
jarak jauh maka akan terjadi manipulasi. Misalnya suaranya di dubbing ataupun
gambarnya dan backgroundnya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini akan
merugikan pihak perempuan. Karena perempuan harus dihormati, islam mengajarkan
itu.
Dan yang
demikian itu tidak sesuai dengan hadits Nabi atau kaidah
fiqih.
Hadits
Nabi saw
دَعْ مَا يَرِ يْبُكَ اِلَى مَا
لَا يَرِ يْبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang merugikan
engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak merugikan engkau.”
Dan
tidak sesuai dengan kaidah fiqih :
دَرْعُ
ا لْمَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ ا لْمَصَا لِحِ
“menghindari mafsadah (resiko) harus
didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah.”
d)
Dampak negatif yang akan timbul juga akan lebih berbahaya lagi jika sudah punya
anak. Hak waris ataupun hadlonahnya akan memberatkan dan juga membingungkan.
G. Akad Nikah Via-Online
1. Hukum
Menikah Lewat Internet
Akhir-akhir ini banyak orang
yang menanyakan hukum menikah lewat telpun atau internet, apakah sah menutut
pandangan Syariah ? Jika tidak sah, bagaimana solusinya bagi orang-orang yang
tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada diri salah seorang
TKW yang berkerja di Hongkong dengan masa kontrak 2 tahun, kebetulan dia punya
kenalan orang dari Solo, keduanya sudah saling mencintai dan ingin segera
melakukan akad pernikahan, sedang kondisi mereka berdua tidak
memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus mereka
kerjakan, menikah lewat telpun atau internet, atau bagaimana ?
Untuk menjawab pertanyaan di
atas, perlu dijelaskan di sini bahwa proses pernikahan dalam Islam mempunyai
aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi
rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang
syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini
semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur
penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu, calon suami atau wakilnya harus
hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di
tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad
pernikahan.
Maka untuk menentukan
hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus dibahas terlebih
dahulu :
a. calon mempelai laki-laki atau
yang mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus berada dalam
satu majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan. Pertanyaannya adalah apakah
dua pihak yang berbicara melaui telpun atau internet untuk melakukan transaksi
dianggap dalam satu majlis, sehingga transaksi tersebut menjadi sah ?
Dalam hal ini, Majma’ al Fiqh telah menetapkan hukum penggunakan ponsel,
hp, dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya sebagai berikut : “
Jika transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu waktu, sedangkan
mereka berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan telpun, maka
transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang bertemu
dalam satu majlis.” ( Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke – 6
( no : 2/1256 )
b. pernikahan tersebut harus
disaksikan oleh dua orang atau lebih. Pertanyaannya adalah dua saksi pernikahan
tersebut tidak bisa menyaksikan secara langsung akad pernikahan tersebut,
mereka berdua hanya bisa mendengar suara akad pernikahan dari kedua belah pihak
melalui telpun atau internet.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa persaksian orang buta
tersebut tidak bisa diterima. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Berkata al Kasani : “ Persaksian orang buta tidak diterima
dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak. “ (
Badai’ Shonai’ 3/243 )
Berkata Imam Syafi’I : “ Jika seseorang memberikan
persaksian, sedangkan dia buta dan mengatakan : saya menetapkannya, sebagaimana
saya menetapkan segala sesuatu dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba,
maka persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai
kemiripan satu dengan yang lainnya, begitu juga rabaan mempunyai
kemiripan antara satu dengan yang lainnya “ ( Al Umm : 7/46 ).
Pendapat Kedua menyatakan bahwa persaksian orang buta bisa
diterima selama dia menyakini suara tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan
Hanabilah.
Tersebut di dalam buku al Mudawanah al Kubra( 5/ 43 )
: “ Apakah dibolehkan seorang buta memberikan persaksian di dalam masalah
perceraian ? Berkata Imam Malik : “ Iya, dibolehkan jika ia mengenali suara
tersebut. Berkata Ibnu al Qasim : Aku bertanya kepada Imam Malik: “ Seorang
laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak
melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia
menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal ? Imam Malik menjawab :
persaksiannya diperbolehkan.”
Di dalam kitab Ad Dzakhirah ( 10/164 ) disebutkan : “
Kesaksian orang buta terhadap pembicaraan diperkenankan ( dianggap sah ) “ Di
dalam kitab Mukhtashor al Khiraqi ( hlm : 145 ) disebutkan : “
Diperbolehkan persaksian orang buta jika dia yakin dengan suara tersebut “. Pendapat
kedua ini berdalil dengan beberapa hadist, diantaranya adalah :
1. Hadist Abdullah bin Umar ra,
bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda : “ Sesungguhnya Bilal mengumandangkan
adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai terdengar adzan Ibnu
Maktum “ ( HR Bukhari ).
Hadist di atas menunjukkan bahwa adzan Ibnu Maktum ( beliau
adalah seorang yang buta ) merupakan persaksian darinya terhadap masuknya waktu
sholat. Seandainya persaksian orang buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak
sah. Begitu juga yang mendengar adzan digolongkan orang yang buta, karena
hanya mendengar suara muadzin tanpa melihat secara langsung fisik dari muadzin
tersebut, dan itupun dianggap sah. ( Ibnu Abdul Barr, Tamhid : 10/61,
An Nawawi, Syarh Muslim : 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265).
2. Dari Aisyah berkata : “
Pada suatu ketika Rasulullah saw sholat tahajud di rumahku, dan beliau
mendengar suara Ubad yang sedang sholat di masjid, beliau bertanya “ Wahai
Aisyah apakah itu suara Ubad?, saya menjawab : “ Benar“, beliau langsung
berdo’a : “ Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ubad “ ( HR Bukhari )
Dua hadist di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian
orang buta dibolehkan dan dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah. Jika
demikian halnya, bagaimana hukum persaksian dua orang di dalam akad pernikahan
lewat telpun maupun internet, apakah dianggap sah ?
Orang yang menikah lewat telpun dan internet tidak lepas dari
dua keadaan :
1. Salah satu pihak yang
melakukan akad serta dua orang saksi tidak yakin dengan suara pihak kedua. Maka
dalam hal ini, pernikahan lewat telpun dan internet hukumnya tidak sah. Inilah
yang diputuskan oleh Lajnah Daimah li al Ifta’ ketika ditanya masalah
tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut :
“ Dengan pertimbangan bahwa
pada hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi, serta canggihnya orang untuk
meniru pembicaraan dan suara orang lain, bahkan diantara mereka ada yang bisa
meniru suara sekelompok laki-laki dan perempuan baik yang dewasa maupun yang
masih anak-anak, dia meniru suara dan bahasa mereka yang bermacam-macam sehingga
bisa menyakinkan orang yang mendengar bahwa yang bicara tersebut adalah orang
banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang.
Begitu juga mempertimbangkan
bahwa Syariat Islam sangat menjaga kemaluan dan kehormatan, dan agar
berhati-hati dalam masalah tersebut lebih dari masalah lainnya seperti
muamalah. Oleh karenanya, Lajnah memandang bahwa seharusnya tidak menyandarkan
secara penuh akad pernikahan ijab dan qabul serta perwakilannya dengan
menggunakan alat telpun, agar tujuan Syariat bisa teralisir serta lebih
menekankan kepada penjagaan terhadap kemaluan dan kehormatan, sehingga tidak
memberikan kesempatan kepada orang-orang jahat untuk bermain-main dalam masalah
ini dengan manipulasi dan penipuan. Wabillahi at Taufiq. “
2. Kedua belah pihak yang
melakukan akad sangat mengenal suara antara satu dengan yang lain, begitu juga
dua orang saksi yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang melakukan akad.
Pada kondisi seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut dianggap sah, dan
pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi sehingga seseorang
bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan suara, sebagaimana
yang terdapat dalam teleconference. Dalam hal ini Syekh Bin Baz, mufti Negara
Saudi ketika ditanya oleh seseorang yang menikah lewat telpun dan mereka saling
mengenal suara masing-masing pihak, beliau menyatakan bahwa pernikahaannya sah.
Tetapi walaupun demikian tidak
dianjurkan bagi orang yang ingin menikah untuk menggunakan alat teknologi
seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat,
hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan pernikahan karena
berhubungan dengan kehormatan seseorang. Wallahu A’lam.
Jika
dititik tolakkan pada kedua pendapat di atas dan dilihat dari syarat sahnya
suatu akad maka,diisinilah sebenarnya letak titik permasalahan yang ada dalam
pernikahan yang dilaksanakan secara via-online. Pada era teknologi yang serba
canggih ini, khususnya dalam penggunaan fasilitas internet secara
via-online , kita dapat bertatap muka dan berkomunikasi dengan lawan bicara
kita seperti halnya kita bertemu dan berkomunikasi dengan lawan bicara kita
secara langsung. Menurut pandangan madzhab hanbali,hal ini tentu tidak akan
mengurangi syarat sahnya suatu akad nikah seperti yang telah dijelaskan diatas,
karena pada intinya ijab dan qabul dalam hal ini dapat dilakukan secara jelas
asalkan dilaksanakan pada satu waktu dan calon istri, wali serta para saksi
bisa melihat kehadiran calon suami secara via-online. Sedangkan menurut
pendapat ulama syafi’iyyah, pernikahan yang dilaksanakan secara via-online ini
tentu belum memenuhi syarat sahnya suatu akad nikah,karena pada intinya akad
nikah yang dilakukan dengan cara yang seperti ini tidak terikat tempat (tidak
dalam satu tempat) dan orang yang bersangkutan tidak ber-talaqqi dan musyafahah
(tidak bertemu dan mengucapkan akad nikah secara langsung) dalam
pelaksanaan akad tersebut.
Jadi dilihat dari rangkaian pendapat
para ulama terkait permasalahan ini dapat disimpulkan bahwa, dalam menetapkan
hukum pernikahan secara via-online, dari kalangan ulama fiqhiyyah terbagi
menjadi dua pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa jenis pernikahan
seperti ini hukumnya sah-sah saja dengan dasar kata “majelis” dimaknai
dengan “satu waktu”, dalam arti, yang terpenting akad nikah masih dalam satu
waktu tanpa harus terikat dengan suatu tempat .Sementara pendapat yang kedua
mengatakan bahwa jenis pernikahan seperti ini hukumnya tidak sah dengan
dasar kata “majlis” dimaknai dengan “suatu tempat”. Dalam arti, akad harus dilakukan
dalam satu tempat di mana kedua belah pihak bisa saling bertemu secara
langsung.
Dan adapun mengenai proses
jabat tangan antara wali atau penghulu dengan calon suami dalam akad nikah,
secara mantuq atau eksplisitnya belum ditemukan dalil yang sesuai.
Namun secara mafhum atau implisitnya telah cukup banyak ditemukan
dalil-dalil yang sesuai. Dan adapun diantaranya adalah dalil tentang jabat
tangan dalam bai’at (janji suci) sebagaimana terdapat pada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim,bahwa Rasulullah saw bersabda : “ Barang siapa yang
membaiat seorang imam (pemimpin) sambil menjabat tangannya,maka hendaklah ia
menaati semampunya “. (HR.Muslim).
Sekalipun belum ditemukan dalil yang
sesuai tentang jabat tangan dalam akad nikah,namun jika dilihat dari segi
fungsionalnya tradisi jabat tangan dalam akad nikah amat bernilai positif
karena disamping mendapat ampunan dari Allah swt dan dapat mempengaruhi ikatan
bathiniyyah antara kedua belah pihak yang berakad layaknya keduanya sedang
berbai’at, tradisi jabat tangan dalam akad pernikahan juga dapat memperkokoh
keyakinan calon suami atas keputusan yang ia ambil sebagai calon imam
(pemimpin) bagi calon istrinya.
Dari keterangan di atas,dilihat dari
segi manfaat dan nilainya dapat disimpulkan bahwa hendaknya kita sebagai
seorang muslim dapat menentukan mana diantara kedua pendapat yang paling
baik bagi diri kita. Selain itu hendaknya kita sebisa mungkin menjauhi hal-hal
yang belum jelas hukumnya secara substansinya.
Demikian juga dengan akad nikah yang
dilaksanakan secara via-online ini,terkait dari substansinya yang belum jelas
hukumnya dan menimbulkan keraguan dan perbedaan dari kalangan ulama ,maka dari
itu hendaknya sebisa mungkin pelaksanaan akad nikah secara via-online seperti
ini tidak dilakukan, karena selain sebab belum diketahui
sah-tidaknya akad nikah. Dari akad nikah ini juga akan timbul keraguan
apakah kedua calon suami-istri itu adalah benar-benar calon mempelai yang
sesungguhnya atau hanya sebuah rekayasa tekhnologi belaka.
H. Menikah Melalui Skype
Bukan main bahagianya Mohammed Abdul Hafez usai membaca ijab kabul dalam pernikahannya dengan Somaia Muhammad Zaki pekan ini. Rencana untuk menikahi gadis impiannya, akhirnya terwujud, semua berkat teknologi Skype di internet. Di antaranya terbentang jarak 2.400 kilometer jauhnya--Hafez di Dubai dan Somaia di kota Alexandria, Mesir. Kendati demikian pernikahan mereka tetap meriah, karena banyak sanak saudara dan teman yang menyaksikannya di layar komputer. Hafez, pemuda 30 tahun yang berpakaian necis itu memilih teknologi Skype karena tidak ingin kehilangan kekasihnya dan pekerjaannya. Baru bekerja empat bulan di Dubai, dia khawatir akan dipecat jika ambil cuti untuk menikah di Mesir. Tapi dia juga takut Somaia diambil orang. Sebelumnya, pernikahan mereka sempat ditunda pada Desember tahun lalu karena Hafez kehilangan pekerjaan.
"Saya ingin pekerjaan saya, tapi saya tidak ingin kehilangan tunangan saya. Jadi satu-satunya pilihan adalah menikah tanpa bertemu fisik. Sekarang saya adalah pria menikah yang bahagia," kata dia, dilansir al-Arabiya yang mengutip harian 7DAYS. Bermodalkan komputer dan kawan-kawan yang hadir, Hafez menikah di apartemennya. Di ujung sana, Somaia telah berdandan cantik, ditemani ayahnya dan seorang penghulu. Keduanya menikah di dalam layar.c"Ketika saya mendapat pekerjaan, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah menikah dan menepis semua kritikan. Saya tidak ingin menundanya lagi, karena tunangan saya juga mulai resah," kata Hafez. Kebahagiaannya tidak terkira. Dia bersyukur teknologi Skype menyelamatkan pekerjaan dan percintaannya sekaligus. Rencananya, Hafez akan ambil cuti akhir tahun untuk bertemu istrinya dan menggelar pesta pernikahan besar-besaran. Ini bukan peristiwa pertama di dunia pernikahan dilangsungkan di internet. Sebelumnya pada Maret tahun lalu Samuel Kim dan Helen Oh, pasangan di California, Amerika Serikat, juga menikah via dunia maya. Sebenarnya mereka pilih jalan ini karena sebuah musibah. Beberapa hari sebelum hari pernikahan, Samuel terkena infeksi paru-paru dan harus dirawat di ruang isolasi. Ketimbang mengundurkan tanggal pernikahan, akhirnya keduanya pilih mengucap janji melalui Skype. Di sebuah gereja yang dilengkapi layar jumbo, Samuel terlihat terbaring di tempat tidur rumah sakit, namun mengenakan tuksedo dan berdandan rapi. Suster membantu menghias ruang isolasi itu dengan bunga beraneka warna. Sementara Helen, mengenakan gaun putih, berdiri di altar bersama pendeta.
"Helen, istriku, saya minta maaf tidak bisa berjalan bersamamu di lorong atau berdiri di altar. Tapi hari ini hanya terjadi sekali. Kita akan hidup lama dan berjanji untuk jadi suami yang sempurna untukmu," kata Samuel disaksikan 500 orang tamu.
Perceraian Lewat Skype Tidak hanya pernikahan, Skype juga ternyata bisa menjadi sarana untuk menceraikan. Ini yang terjadi pada pasangan di Qatar 2010 lalu saat sang suami mengucapkan talak tiga kali kepada istrinya di Skype. Sebenarnya, dia hanya bercanda mengucapkan talak tersebut. Namun, candaannya ini berujung musibah karena dalam hukum Islam mengucapkan talak sebanyak tiga kali sudah berarti perceraian akbar, atau sulit untuk rujuk. Pesantren Darrul Ulium Deoband di Qatar mengeluarkan fatwa terkait kasus ini. Menurut mereka, talak tiga kali, entah serius atau bercanda, sudah berarti perceraian dan istrinya haram baginya.
Suami yang tidak disebutkan namanya tersebut mengaku tidak terlalu tahu hukum Islam dan menyesal telah mengucap talak. Dengan cerai talak tiga, dia tidak bisa lagi menikahi istrinya kecuali jika istrinya tersebut telah menikah lagi dan menceraikan suami barunya itu. "Jika kau telah mengucap talak tiga, maka istrimu haram bagimu. Tidak peduli apakah kamu tahu hukum Islam atau tidak," tulis fatwa tersebut.
Apa Kata MUI
Pernikahan melalui Skype
digunakan beberapa orang di atas untuk menjadi sarana penghubung atau pemecah
di antara pasangan. Namun apakah cara ini dihalalkan di Indonesia, khususnya bagi
umat Islam? Dewan Pimpinan Harian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'aruf Amin
mengatakan bahwa lembaganya belum mengeluarkan keputusan atau fatwa mengenai
masalah ini. Namun secara garis besar, kata Amin, pernikahan melalui Skype
tidak sah atau tidak dibenarkan dalam Islam.
"Pernikahan dalam Islam
harus ada forum dimana pernikahan itu terjadi, oleh pengantin langsung atau
wakil," kata Amin. Pernikahan melalui internet, surat, telepon dan
sejenisnya, tegas Amin, membuka celah untuk penipuan. Menurut hukum Islam,
dalam sebuah pernikahan harus jelas pengantin pria dan wanitanya agar tidak
timbul keraguan. Jika memang tidak memungkinkan untuk menikah dalam satu atap,
kata Amin, mempelai dapat memberikan wewenang kepada orang lain untuk
mewakilinya dalam ijab kabul. "MUI belum mengambil kesimpulan soal hal
ini, namun pengantin bisa memakai wakil, jadi nikahnya diwakili oleh saudaranya
atau orang lain," kata Amin. Ahmad Sarwat salah satu ustadz di laman
konsultasi syariah assunnah.or.id menjelaskan dalam salah satu kolom
bahwa nikah menggunakan wakil dinamakan taukil. Wakil yang ditunjuk
harus mendapat wewenang dari mempelai pria atau wali. Ini, ujarnya, adalah
bentuk keluwesan sekaligus keleluasan syariah Islam yang telah berlaku sejak
dulu saat tidak ada alat-alat komunikasi canggih dan modern seperti sekarang
ini.
"Syariat Islam telah
memberi sebuah ruang yang memungkinkan semua itu terjadi, bahkan di masa yang
paling primitif sekalipun," kata Ahmad. (sj)
I. Menikah Jarak Jauh
Masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Toh tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah.
Tetapi yang solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan solusinya adalah taukil atau perwakilan. Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali.
Dan penunjukannya boleh dilakukan secara jarak jauh, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewatSMS, chatting, email, atau Video Conference 3.5 G.
Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki.Si wakil walimengucapkanijab yang bunyinya kira-kira: Saya sebagai wakil dari fulan (nama ayah si Gadis) menikahkan kamu (namacalon suami) dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan nama ayahnya) dengan mahar sekian sekian."
Lalu calon suami menjawab (qabul), kira-kira bunyinya:, "Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar tersebut tunai." Dan akad itu sudah sah.
Wakil Calon SuamiDan lebih menarik lagi, ternyata perwakilan itu bukan saja boleh dilakukan oleh wali kepada wakilnya, tetapi calon suami pun boleh pula mewakilkan dirinya kepada orang lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon suami yang akan melakukan proses qabul.
Misalnya seorang calon suami tidak mungkin bisa datang ke negara di mana ayah si gadis tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau mewakilkan dirinya kepada orang lain. Berarti calon suami yang mengalah dan mewakilkan dirinya kepada seseorang yang tinggal di satu kota dengan ayah di gadis.
Proses pewakilannya sama saja, boleh jarak jauh dan menggunakan berbagai teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai telepati saja, tidak sah karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon suami melakukan akad nikah dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Masing-masing Mewakilkan Bahkan yang lebih fantastis lagi, ternyata kedua belah pihak pun masih dibenarkan untuk mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang melakukan akad nikah justru masing-masing wakilnya saja. Maka pernikahan jarak jauh bukanlah akad nikah dilakukan lewat telepon SLI atau yang lebih murah pakai VIP, namun yang yang dilalkukan secara jarahk jauh adalah proses mewakilkannya.
Sedangkan akad nikahnya harus dilakukan dalam satu majelis, face to face, meski hanya oleh wakil dari masing-masing. Dan untuk itu harus ada saksi yang memenuhi syarat.
Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus keluarga, famili atau kerabat. Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa. Yang penting saksi adalah dua orang yang beragama Islam, laki-laki, berakal, sudah baligh, ‘adil dan merdeka (bukan budak). Dan syarat saksi ini kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk menjadi wakil dari wali.
A. Akad Nikah Teknologi Maju
1. Pengertian
Dalam hokum Islam syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah adalah dua istilah yang terdiri dari lafazh akad dan nikah. Akad menrurut bahasa (lughah) ngakhodza – yagkhidzu – ngakhdzan yang berarti mengikat sesuatau dan juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan. Sedangkan menurut Al-Zurjani adalah suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu dengan adanya ijab dan Kabul.
Sedangkan nikah menurut Kamal Muchtar dalam pemakian bahasa sehari-hari, perkataan “nikah” dalam arti sebenarnanya jarang sekali dipakai pada saaat ini. Pada bagian lain Kamal Muctar juga mengatakan para ahli fiqh mengartikan “nikah” menurut arti “kiasan”. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang Imam Asy-syafi’imemakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.
Dari pengertian kata akad nikah dan nikah diatas, dapat diambil beberapa rumusan pengertian akad nikah, yaitu menurut hokum syara’: akad nikah atau perkawinan adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz “pernikahan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab-kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya.[1] Para fuqoha telah sepakat bahwa ijab qabul haruslah bersambung, kecuali fuqoha Malikiyah. Yang dimaksud bersambung dalam hal ini ialah masih terikat, tidak keluar dari konteks yang dihadapi. Karena itu dengan melihat ijab qobul dan dan saksi, maka dapat dipahami mengapa para fuqoha sepakat mensyaratkan akad nikah itu hendaknya dilakukan dalam satu “majlis”. Artinya, baik wali ataupun yang mewakilinya, calon suami ataupun yang mewakilinya dan kedua oaring saksi, semuanya dapat terlibat langsung dalam pelaksaan ijab dan qobul.
Dari sinilah timbul pertanyaan: Apakah dengan kehadiran suara saja baik ijab untuk calon suami maupun qobul untuk wali atau mewakili keduanya, dianggap menyimpang dari pengertian “satu majelis” dalam akad nikah? Disinilah sebenarnya permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalm kasus nikah via telepon. Permasalahan lain muncul berikutnya ialah taukil, yakni mewakilkan dalam nikah.; Apakah suara lewat telepon itu sejajar dengan kedudukan wakil nikah?
Selain itu masalah suara yang terdengar lewat telepon apakah betul-betul suara yang bersangkutan? Artinya suara-suara yang terlibat dalam satu akad nikah. Untuk mengetahui mengetahui dari siapa suara dalam telepon, sudah barang tentu harus dilihat dahulu:
a. Antara kedua belah pihak yang terlibat dalam pembicaraaan terlebih dahulu harus saling mengenal sebelumnya.
b. Apakah suara itu langsung atau rekaman, hal ini dapat diuji dengan konteks pembicaraan antara kedua belah pihak untuk membuktikan keasliaan suara.
B. Keabsahan Hokum Ijab Qabul Perkawinan Melaui Teknologi Maju
Perkawinan melaui teknologi maju telekomunikasi baik melalui telepon maupun video teleconference, dipandang memenuhi syarat-syarat perkawinana menurut hokum hokum Islam. Permasalahan yang akan muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut hokum Islam dan bebereapa syarat dalam melaksanakan akad pernikahan dipenuhi yaitu, pertama akad dimulai dari ijab lalu diikuti dengan qobul, yang kedua materi ijab dan qobul tidak boleh berbeda dan ijab qobul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa ada jeda, ijab dan qobul terucap dengan lafadz yang jelas, ijab dan qobul antara calon pengantin pria dengan wali nikah harus diucapkan dalam satu majelis. Sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilakukan dalam satu majelis, sehingga menunjang berkeseimbanagan waktu pengucapanya ijab dan qobul yang merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini jugaa salah satu kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan perkawinan. Persoalan “satu Majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sah perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinanan melalui media telepon atau teleconference tidak diatur dalam Undang-Undang, artinya diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara keseimbangan waktu dan satu majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fiqih yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini:
1. Golongan fiqih pertama dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan Hambali, menafsirkan keterkaitan antara keseimbangan waktu ndalam satu majelis. Menurut golongan ini berkesinambungan waktu tidak lain itu pelaksanaan ijab dan qobul yang masih saling berkaitan dan tidak ada jarak tenggang yang memisahkan keduanya, oleh sebab itu disaksikan langsung oleh para saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan qobul tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucap ijab dan Kabul, maka diperlukan adanya kesatuaan majelis.
2. Golongan fiqih kedua, dikemukakan oleh Maliki, menafsirkan “berkesinambungan waktu’ itu dapat diartikan ijab dan qobul tidak menjadi rusak dengan adanya pemisahan sesaat. Misalnya dengan adanya khutbah sebentar. Jadi dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi peryaratan perkawinan.
C. Analisis Hukum Akad Nikah Teknologi Maju
Perkawinan melalui teknologi telekomunikasi adalah sah. Jik hal tersebut disebabkan akad nikah pada perkawinan yang dimaksud telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan. Mengenai ijab dan qobul yang tidak dilakukan dalam satu majelis secara fisik mennurt ahli fiqih yaitu Hambali, Hanafi dan Maliki seperti dijelaskan di atas. Seperti halnya kaidah fiqliyah “al mashaqhotu tajlibultaishiiro” yang artinya kesukaran itu dapat menarik kemudahan. Dari kaidah fiqliyah tersebut itu dapat ditarik kesimpulan dapa memberikan rukhshah (keringanan) dalam permasalahan ini.
Namun demikian, pelaksanaan
akad via telepon tersebut hendaknya juga jangan dilandasi oleh helah atu
untuk gagah-gagahan apalagi untuk mencari sensasi atau popularitas, sebab hal
itu mengarah kepada ria dan sum’ah, yang keduanya dilarang oleh agama.
Pelaksaan akad nikah via telepon hendaknya dilakukan karena adanya sebab-sebab
khusus yang mengarah kepada kesulitan atau darurat. Misalnya dalam keadaan
terpaksa dimana masing-masing tinggal ditempat yang berjauhan yang tidak
mungkin untuk bertemu dalam satu majelis.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang penulis sampaikan di muka,
dapat lah penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
1. Nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah,
karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta
Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April
1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia,
karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3. penetapan peradilan agama tersebut hendaknya
tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai
yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama.
Kesimpulan Dari pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa
pernikahan yang dilakukan melalui telepon itu sah-sah saja asalkan adanya
kejelasan dari yang menelepon, untuk menghindari adanya ketidakjelasan orang
melakukan perkawinan yang melalui tetlepon maka perkawinan yang diperbolehkan
adalah perkawinan yang melalui tetconference atau telepon yang dilengkapi
dengan tampilan gambar orang yang menelepon atau lewat jalur internet. Wallahu
a’lam.
Perkawinan
jarak jauh khususnya lewat media telepon telah dikukuhkan oleh sebuah putusan
pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989.
Penggunaan media komunikasi teleconference dan telepon sebagai sarana
yang memungkinkan dan bersifat otentifikasi untuk ijab kabul perkawinan jarak
jauh.
Akad nikah atau ijab kabul sama dengan ijab
kabul dalam jual beli. Pada prinsipnya sama harus ada ijab dan kabul yang
jelas. apabila kedua pihak yang berakad ini tidak berada satu majelis, kemudian
melalui bantuan teknologi keduanya dapat dihubungkan dengan sangat meyakinkan,
itu dapat ’dihukumi’ satu majelis. Begitu pun dengan perkawinan. Perkawinan sah
atau bisa dilakukan jarak jauh, jika terpenuhi dan diketahui prinsip-prinsip
kepastiannya.
Menjawab soal
ijab kabul, selama dapat diyakinkan bahwa ’suara’ di seberang sana adalah orang
yang berkepentingan, maka hal tersebut sah-sah saja. Soal pengertian satu
majelis, pengertian satu majelis saat ini tidak bisa disamakan dengan satu
majelis zaman nabi.
Akad
nikah melalui telepon, Sms, surat, fax, atau sarana lainnya, atau melalui kabar
yang dibawa oleh orang yang jujur dan adil yang diyakini kebenarannya dan tidak
dapat dipalsukan, dengan terdapat saksi-saksi adil dan jujur minimal dua orang
laki-laki, maka ijal kabul itu sah.
DAFTAR PUSTAKA
·
Al Imam
Yahya Syarifuddin An-nawawi, Matan
Al-Arba’in An-nawawiyyah, (Surabaya: Al Fatah, tth).
·
Abdul
Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat Khitbah, nikah dan talak, (Jakarta: Amzah, 2009),
hlm. 44.
·
Sayyid
Ahmad bin Umar asy- syathiry, Al Yaqutun
Nafis fi Madzhab Ibnu Idris, (Beirut : Haramain, tth),
hlm. 142-144
·
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Khifayatul
Akhyar(Kelengkapan Orang Saleh), (Mesir: Maktabah al-Imam, 1996), hlm.
104-105.
·
Ibnu
Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid juz 2,
( Semarang: Asy-Syfa, 1990), hlm. 374.
·
H.S.A.
Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan
Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1983), hlm. 41.
·
Musthafa Abu Sulaiman an-Nadwy, Kifayatul Akhyar fy Ghayat
al Ikhtishar, (Mesir : Maktabah Iman, 1996), hlm. 346.
·
Ahmad
Masduqi Mahfud, Bahsul Masa’il, Tuhfatul Habib ala Syarhi al-Khatib, (
Ahhabul Royi Press-HTTP://AHHABUL-ROYI. BLOGSPOT. COM), hlm. 335.
·
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer. Hlm. 4
·
Rasjid, Sulaiman, Fiqh islam, Bandung : PT. Sinar Baru, 1987
·
Sabiq, Sayyid., Fiqih Sunnah, Pent. : Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : PT. Al
Ma’arif, 1987,Cet. I
·
Qurrah,Abu., Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui Internet, Jakarta : PT.
Golden Terayon Press, 1997
·
Lihat di Sulaiman Rasjid, Fiqh islam, ( Bandung : PT. Sinar Baru,
1987), hal. 354
·
Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pent. : Kamaluddin A. Marzuki (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1987),Cet. I, hal. 355-357
·
Hadist ini saya ambil di Abu Qurrah, SH. JRN.,
Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui Internet, (Jakarta : PT.
Golden Terayon Press, 1997), hal. 84
·
Rokamah, Ridho. Al-qowa’id al-fiqhiyah. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2010.
·
Sudrajat, Ajat. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2008
·
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat 1. Bandung:
CV Pustaka Setia, 2001.
·
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001), 200-201.
·
Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual (Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2008), 92.
·
Ridho Rokamah, al-qowa’id al-fiqhiyah (Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press, 2010), 47.
·
Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual, 93.
·
Prof. Dr. H. Satria Efendi M. Zein, MA. Problematika Hukum
Keluarga Islam Kontemporer. Prenada Media. Jakarta. 2004
·
Drs. Slamet Abidin. Fiqh Munakahat. CV Pustaka Setia.
Bandung. 1999
·
Mohd, Idris Ramulyo, SH. MH. Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Sinar
Grafika, Jakarta. 1995
·
Prof. H. Hilman Hadi kusuma, SH. Hukum Perkawinan
Indonesia. CV Mandar Maju, Bandung. 1995
·
Mohd, Idris Ramulyo, SH. MH. Hukum Perkawinan Islam.
PT Bumi Akasara. Jakarta. 2002
·
Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Prof. Dr. H. Satria Efendi M. Zein, MA.
Komentar
Posting Komentar