Makalah tentang: PERSPEKTIF HAM DALAM PANDANGAN ISLAM KAJIAN PENERAPAN UU KDRT DAN PERLINDUNGAN ANAK
Kepada
seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini
terdapat kesalahan, juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap
teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi
sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari.
Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.
Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) harus
dihapuskan. Semua sepakat dalam menyikapi hal tersebut. Akan tetapi dengan
demikian apakah peran suami sebagai penegak disiplin dalam rumah tangga harus
diabaikan. Islam tentunya tidak menghendaki keadaan yang demikian. Suami
seharusnya bertindak sebagai imam dalam suatu rumah tangga dalam menegakkan
nilai-nilai akhlakul karimah sehingga rumah tangga tersebut menjadi rumah
tangga yang sakinah mawaddah warahmah, menjadi syurga bagi para penghuninya.
Kekerasan yang dimaksudkan secara implisit dalam UU.No.23 Th. 2004 adalah
segala bentuk kekerasan, padahal ada tindakan dimana seorang suami harus tegas
menyikapinya. Tulisan ini mencoba memberikan analisa kekerasan yang dilakukan
suami terhadap anggota keluarganya dalam persfektif fiqh.
Selain itu, anggota keluarga tidak hanya terdiri
dari suami dan istri semata. Masih ada anak yang juga merupakan anggota dari
sebuah keluarga, di Indonesia juga telah mengatur mengenai UU Perlindungan Anak
yaitu pada UU No.39 tahun 1999. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan kedua
UU tersebut dalam perspektif Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perspektif Islam tentang UU KDRT ?
2.
Bagaimana perspektif Islam tentang UU Perlindungan Anak ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan perspektif Islam tentang UU KDRT.
2.
Untuk menjelaskan perspektif Islam tentang UU Perlindungan Anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perspektif Islam tentang UU KDRT
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( selanjutnya disebut UU. PKDRT )
pasal 1 menyatakan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
menelantarkan rumah tangga, termasuk ancaman untuk perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Yang
dimaksudkan dengan ‘‘lingkup rumah tangga’’ dalam pasal 2 UU. PKDRT adalah meliputi suami, istri, dan anak;
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan (suami, istri dan anak)
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.[1]
Letak urgensi kajian ini adalah generalisasi kata
“kekerasan” dalam rumah tangga, sehingga terkesan dalam rumah tangga tersebut
tidak boleh terjadi kekerasan sama sekali walaupun kekerasan tersebut adalah
bentuk pelaksanaan kewajiban penanggung jawab keluarga tersebut dalam
menjalankan kewajibannya demi untuk menjaga rel keluarga tersebut dalam garis
keridlaan Allah swt.
Sementara hukum Islam disyari’atkan bukan dengan
hampa muatan, melainkan penuh dengan hikmah-hikmah disyari’atkannya suatu
hukum. Diantara hikmah diperbolehkannya seorang suami ‘memberi pelajaran’
kepada istrinya adalah agar supaya semata-mata si istri tersebut selalu berada
dalam kendali suami dalam rangka taat kepada Allah swt. dan rasul-Nya. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari nusyuzdan gejala-gejala yang mengarah kepadanya.[2]
Hukum Islam dalam menyikapi masalah KDRT ini lebih
menitikberatkan kajiannya dalam masalah nusyuz diantara suami istri. Hal
ini bisa kita lihat dalam al-Qur’an al-Nisa’ ayat 34 yaitu sebagai berikut:
ٱلرِّجَالُ
قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ
وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ
لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا
كَبِيرٗا ٣٤
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar”
B.
Perspektif Islam tentang UU Perlindungan Anak
Di Indonesia, telah ditetapkan UU No.39 tahun 1999
tentang HAM yang mencantumkan hak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan
perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan dan tanggung jawab
tersebut. Namun demikian, dalam kegiatan perlindungan anak dan segala aspeknya
ternyata memerlukan payung hukum untuk mewujudkan kehidupan terbaik untuk anak
yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme
yang dijiwai oleh akhlaq mulia dan kemauan keras untuk menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dan negara. Payung hukum yang dimaksud adalah UU No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak.[3]
Dalam Islam dijelaskan bahwa orang tua dan anak
memiliki hak dan kewajiban mereka dalam islam, adalah seperti yang digambarkan
hadis nabi Muhammad SAW: “tidak termasuk golongan umatku, mereka yang (tua)
tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda) todak menghormati yang tua”
(Riwayat at-Turmudzi)
Jadi kewajiban orang tua adalah menyayangi dan
haknya adalah memperoleh penghormatan. Berbicara mengenai hak, pasti disisi
lain ada kewajiban. Sebaliknya, kewajiban anak adalah penghormatan terhadap
kedua orang tua dan haknya adalah memperoleh kasih sayang. Idealnya, prinsip
ini tidak bisa dipisahkan. Artinya, seorang diwajibkan menghormati jika
memperoleh kasih sayang. Dan orang tua diwajibkan menyayangi jika memperoleh
kehormatan. ini timbal balik, yang jika harus menunggu yang lain akan seperti
telur dan ayam. Tidak ada satupun yang memulai untuk memenuhi hak yang lain.
Padahal biasanya, seseorang memperoleh hak jika telah melaksanakan kewajiban.
Karena itu, yang harus di dahulukan adalah keewajiban. Tanpa memikirkan hak
yang mesti diperoleh. Orang tua seharusnya menyayangi, dengan segala perilaku,
pemberian dan perintah pada anaknya, selamanya. Bagitu juga anak, harus
menghormati dan memuliakan orang tuanya, selamanya.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( selanjutnya disebut UU. PKDRT )
pasal 1 menyatakan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
menelantarkan rumah tangga, termasuk ancaman untuk perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Hukum
Islam dalam menyikapi masalah KDRT ini lebih menitikberatkan kajiannya dalam
masalah nusyuz diantara suami istri. Hal ini bisa kita lihat dalam al-Qur’an
al-Nisa’ ayat 34
UU No.39 tahun 1999 tentang HAM yang mencantumkan
hak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan anak sebagai landasan
yuridis bagi pelaksanaan dan tanggung jawab tersebut. Dalam Islam dijelaskan
bahwa orang tua dan anak memiliki hak dan kewajiban mereka dalam islam, adalah
seperti yang digambarkan hadis nabi Muhammad SAW: “tidak termasuk golongan
umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda)
todak menghormati yang tua” (Riwayat at-Turmudzi).
B.
Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata
sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya
makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Purwadi. penelitian perdangan
(traficking) perempuan dan anak di Nusa Tenggara Barat . NTB; Lembaga perlindungan
Anak. 2006.
Lia
Faiza. Pandangan Hukum Islam terhadap Peran P3A Sidoarjo Dalam Melindungi Istri
Akibat Dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga syariah 2004
Syekh ali Ahmad al-Jurjawi. Hikmatut
Tasyri’ wa Falsafatuhu. Kairo. Jami’ah al-azhar. tt. Jilid II.
UU. No. 23 Tahun 2004. Tentang penghapusan
kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta : Cemerlang. t.t.
[1] UU. No. 23 Tahun 2004, Tentang penghapusan
kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta : Cemerlang, t.t., hlm. 2.
[2] Syekh ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut
Tasyri’ wa Falsafatuhu, Kairo, Jami’ah al-azhar, tt. Jilid II. Hlm.43.
[3] Imam Purwadi, penelitian perdangan
(traficking) perempuan dan anak di Nusa Tenggara Barat , (NTB; Lembaga
perlindungan Anak, 2006), h.1
[4] Lia Faiza. Pandangan Hukum Islam terhadap Peran P3A Sidoarjo Dalam
Melindungi Istri Akibat Dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga syariah 2004
Komentar
Posting Komentar