Makalah tentang: HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN DAN HUDUD MUHAMMAD ARKOUN

    Kepada seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini terdapat kesalahan,  juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari. 


         Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
         
           Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.

Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tafsir Al-Qur’an, merupakan suatu wilayah intelektual yang semakin mendesak dalam proses pemecahan masalah umat. Sejak munculnya gerakan reformisme islam yang melintang diabad modern (abad 19) yang dikomandani oleh Sayyid Ahmad Khan (w 1898), Muhammad Abduh (1905),  Abul Kalam Azad (w 1959) dan lain-lain telah menyemarakkan “euphoria” gerakan pemikir islam modern yang mendesak pemikiran islam ortodoks yang terbukti “mandul” dan hanya memberikan  kejumudan dan stagnanasi pemikiran islam. Gerakan semacam ini dimaksudkan untuk memberi angin segar guna menciptakan ruang baru yang lebih dinamis dan progresif.
Dalam makalah ini, kami akan mengemukan 2 dari sekian tokoh pemikir Islam yang terasuk kedalam gerakan pembaharuan atau lebih dikenal dengan pemikir Islam kontemporer. Tokoh yang dimaksud adalah Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana biografi dari Fazlur Rahman ?
2.      Bagaimana teori double movement Fazlur Rahman ?
3.      Bagaimana biografi Muhammad Arkoun ?
4.      Bagaimana teori hermeneutika Muhammad Arkoun ?

C.    Tujuan penulisan
1.      Untuk menjelaskan mengenai biografi dari Fazlur Rahman.
2.      Untuk menjelaskan mengenai teori double movement Fazlur Rahman.
3.      Untuk menjelaskan mengenai biografi Muhammad Arkoun.
4.      Untuk menjelaskan mengenai teori hermeneutika Muhammad Arkoun.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir di Hazara Pakistan 21 September 1919. Ia lahir di tengah suasana perseteruan tiga kubu, kaum modernis, tradisionalis, dan fundamentalis. Kaum modernis merumuskan Negara Islam dalam bingkai ideologi modern. Kaum tradisionalis menawarkan konsep Negara Islam tradisional; khilafah dan imamah. Sedangkan kaum fundamentalis mengusung ide ‘kerajaan Tuhan’. Latar belakang ini menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan Islam dan berbagai metodologi pemikiran. Di  tengah perdebatan inilah, setelah menyelesaikan studinya di Lahore dan Oxford University, Rahman tampil mengemukakan gagasan pembaharuannya.
Rahman, dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Mazhab Hanafi yang kuat, sebuah Mazhab Sunni yang lebih bercorak rasional dari pada mazhab Sunni lainnya. Sekalipun ia pengikut Sunni, namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis terhadap Sunni juga terhadap Syi’i. Fazlur Rahman mempelajari ilmu-ilmu Islam secara formal di Madrasah. Selain itu, ia juga menerima pelajaran dari ayahnya, seorang ulama dari Deoband. Ia telah menghafal Al-Qur’an di luar kepala dalam usia 10 tahun, dan pada umur 14 tahun ia mulai belajar filsafat, bahasa, Arab, teologi, tafsir, dan hadits.
Setelah menamatkan pendidikan menengah di madrasah, Ia melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada tahun 1940 ia menyelesaikan program Bachelor of Art (BA), dua tahun kemudian yakni tahun 1942, ia berhasil meraih gelar MA, dalam sastra Arab. Sekalipun ia terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional, sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional, terlihat dari keputusannya studi ke Barat untuk memperoleh gelar Philosphy Doctor (Ph.D) di Oxford University, Inggris. Pada tahun 1946, satu tahun sebelum Pakistan mendeka ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya merupakan awal sikap kontroversi Rahman. Keputusannya untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat, Oxford, bukan tanpa alasan yang kuat. Kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan iklim intelektual yang solid.
Pada tahun 1949, Rahman menyelesaikan studi doktornya di Oxford University dengan mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina. Setelah menjadi doktor ia memilih untuk tinggal di barat selama bberapa tahun dengan mengajar di Universitas Durham untuk beberapa waktu, kemudian ia pindah ke Institute of Islamic Studies di Mc Gill University, Montreal, Kanada sebagai Associate Professor of Phylosophy sampai tahun 1960. Kemudian pada tahun itu ia kembali ke tanah kelahirannya atas permintaan presiden Ayyub Khan, untuk berpartisipasi dalam membangun negara Pakistan. Pada Tahun 1962 ia memimpin Islamic Research Institute dan pada tahun 1964 ia menjadi anggota The Advisory Council of Islamic Ideology (Dewan penasehat idelogi Islam). Di sinilah ia mulai mencurahkan ide-de pembaruannya. Tetapi pembaruan yang ditaearkannya mendapat tantangan keras dari agama sayap kanan. Penentangan terhadap Fazlur Rahman mencapai puncaknya pada bulan September 1967 ketika dia menyatakan bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kalam Allah. Namun, dalam pengertian biasa, Al-Qur’an juga seluruhnya perkataan Muhammad, akibat pernyataannya itu ia dituduh sebagai Munkirul Qur’an.
Pada tahun 1970 ia memutuskan hijrah ke Amerika dan langsung dinobatkan menjadi guru besar pemikiran Islam di Cihcago University. Universitas tersebut merupakan tempat yang banyak menelurkan banyak karyanya. Tempat ini pula yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 juli 1988.  Keputusannya hijrah ke Chicago didasarkan pada pengalaman pengabdiannya di Pakistan, negeri dan tanah airnya sendiri. Bahwa Pakistan dan negeri-negeri Muslim lainnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab. Ia bukanlah seorang tokoh parsial dalam aspek pemikiran tertentu, misalnya teologi, filsafat, hukum Islam dan sebagainya, tetapi ia hampir-hampir mengkaji dan menguasai segala aspek pemikiran Islam dalam posisi yang hampir merata. Keseluruhan pemikiran Rahman merupakan wujud dan kesadarannya akan krisis yang dihadapi Islam dewasa ini, di mana krisis tersebut sebagian berakar dalam sejarah Islam sendiri, dan sebagian lagi adalah tantangan modernitas. Dengan tengah modernitas dewasa ini, ia mengabdikan potensi intelektualnya untuk mengatasi krisis tersebut. Ia adalah muslim pertama yang menerima medali Giorgio Levi della Vida, yang melambangkan puncak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA. Di antara karya-karyanya yang pernah dipublikasikan adalah: (1) Prophecy in Islam, London, 1958 : (2) Ibnu Sina, De Amina, (teks berbahasa Arab), Oxford, 1959 : (3) Islam; (4) Major Themes of the Qur’an, (5) Islamic Methodology in History, Islam abad, 1969. (6) Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago, 1982, dan beberapa tulisan lainnya.[1]

B.     Teori Double Movement Fazlur Rahman
Menyuguhkan hermeneutika Fazlur Rahman bukanlah pekerjaan sederhana, sesederhana membaca buku-bukunya. Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika, bukan tafsir,  ta’wil dalam pengertian konvensional sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir. Rahman sendiri tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Namun karena teori interpretasinya menampakkan kebaruan dan progresivitas, para pengamat menggolongkan dalam kajian hermeneutika.  Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement), dan pendekatan sitetis-logis.
1.      Pendekatan sosio historis
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat kembali sejarah yang melatari turunnya ayat. Ilmu asbabun nuzul sangat penting dalam hal ini. Atas dasar apa dengan motif apa suatu ayat diturunkan akan terjawab lewat pemahaman terhadap sejarah. Pendekatan historis hendaknya dibarengi dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Qur’an diturunkan. Dalam ranah sosiologis ini, pemahaman terhadap al-Qur’an akan senantiasa menunjukkan elastisitas perkembangannya tanpa mencampakkan warisan historisnya. Dengan demikian universalitas dan fleksibilitas al-Qur’an senantiasa terpelihara.[2]
2.      Gerakan ganda (double movement)
Langkah berikutnya setelah penekanan pada pendekatan sosio-historis adalah pentingnya membedakan antara legal spesifik dan ideal moral yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Ideal moral al-Qur’an lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya sebab ideal moral bersifat universal. Dengan ini Rahman berharap agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral, bukan legal spesifiknya karena al-Qur’an selalu memberi alasan bagi pernyataan legal spesifiknya.  Langkah yang dilakukan, pertama memperhatikan konteks mikro dan makro ketika ayat diwahyukan. Konteks mikro adalah situasi sempit yang terjadi dilingkuangn Nabi ketika al-Qur’an diturunkan. Sedang konteks makro adalah situasi yang terjadi dalam skala yang lebih luas, menyangkut masyarakat, agama dan adat istiadat Arabia pada saat datangnya Islam, khususnya di Makkah dan sekitarnya.  Disini lah, konsep asbabun nuzul dan nasikh-mansukh amat diperlukan.
Menurut Rahman, al-Qur’an adalah respon ilahi, yang diturunkan melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi sosio-moral Arab pada masa Nabi. Sehubungan dengan pernyataan ini, ia mengatakan: ”al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah. Sedang dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad” (Fazlur Rahman, Islam dan Modernity, hal 31). Dalam sejarahnya, pernyataan ini telah menimbulkan kehebohan di Pakistan, yang harus ditebus dengan pengunduran dirinya dari jabatan direktur Lembaga Riset. Ini menjadi derap langkah awal watak kontroversinya.  Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dan sosial.
Tafsir hermeneutika gerakan ganda Rahman pada intinya lebih merupakan respon terhadap pendekatan yang dilakukan oleh ulama tradisional. Teori gerakan ganda mengkanter teori asbabun nuzul penafsir tradisional. Dalam teori asbabun nuzul, terdapat dua kaidah yang saling berlawanan: ” al-’ibrah bi umumil al-fadz la bi khusi al sabab, dan al-’ibrah bi khusi al sabab la bi umumil al-fadz”. Yang pertama berpegang kepada keumuman lafadz saja tanpa memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Yang kedua berpandangan sebaliknya, hanya berpegang pada sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat tanpa mempertimbangkan keumuman lafadz. Pandangan parsialistik dan dikotomistik ini menyebabkan penafsiran Al-Qur’an ulama tradisional menjadi tidak komperehensif. Pendekatan ini jelas akan menghalangi berkembangnya pandngan dunia Al-Qur’an.
Maka, demi menjawab kegalauan inilah, Rahman mengajukan teori gerakan ganda, dengan pembedaan pada aspek legal spesifik dari ideal moral ayat yang diturunkan. Dalam kedua aspek inilah terjadi proses dialektika yang terpadu. Pembedaan legal spesifik dari ideal moral itu merupakan impak dari keinginan untuk menghadirkan pemahaman Al-Qur’an secara utuh. Menarik dicermati, Rahman disini terkesan menyerap pemahaman ahli hukum Maliki al-Syathibi tentang pentingnya memahami Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang integratif. Ya, sebuah usaha untuk menata nilai-nilai Al-Qur’an secara sistematis, dengan menundukkan nilai-nilai yang lebih khusus pada nilai-nilai yang lebih umum, sebagai bagian dari etika Al-Qur’an.[3]
3.      Pendekatan sintesis-logis
Jika dalam memahami ayat-ayat hukum dan sosial Rahman menggunakan pendekatan sosio-historis dan gerakan ganda, tidak demikian halnya ketika Rahman berhadapan dengan ayat-ayat metafisi-teologis. Untuk wilayah ini, Rahman menggunakan pendekatan sintetis-logis. Apa itu sintesis – logis? sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu tema (metafisis-teologis) dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema yang relevan dengan tema yang dibahas.[4]

C.    Biografi Muhammad Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber yang hidup dari hasil pertanian, ternak dan berdagang kerajinan tangan. Berber sendiri merupakan sebutan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Semula mereka berbahasa dengan bahasa non Arab (‘ajamiyah).
Sebagai anak yang dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik bahasa tidak tertulis Kabilia yang merupakan alat untuk mengungkapkan tradisi dan nilai yang sudah ribuan tahun usianya. Sebagai penduduk Aljazair, Arkoun juga mengenal baik bahasa arab, yang merupakan bahasa keagamaan yang tertulis. Sedangkan sebagai orang yang dididik dalam tradisi Perancis, ia menguasai bahasa perancis dengan baik sebagai bahasa non keagamaan tertulis dan alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan barat. Kehidupan Arkoun dengan berbagai macam budaya dan penguasaannya terhadap ketiga bahasa tersebut sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikirannya dikemudian hari.
Arkoun merampungkan pendidikan sekolah dasar di Kabilia, dan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Setamat SMA, ia menamatkan belajar di Universitas Aljazair dengan spesialisasi bahasa dan sastra arab. Sejak selesai dari universitas tersebut (1954), Arkoun melanjutkan studi di Paris dengan masih konsen pada bidangnya. Dan sejak itulah ia menetap di Paris. Pendidikan formalnya diselesaikan pada tahun 1969 dengan meraih gelar doktor dibidang sastra dari universitas Sorbone Paris, tempat ia mengajar kemudian dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih.[5]

D.    Hermeneutika Muhammad Arkoun
Dalam karyanya, Rethinking Islam (1994), semakin terlihat bahwa Arkoun mengkritisi pendekatan kaum militan yang melakukan idiologisasi dan pemistikan terhadap paham keislaman yang tumbuh dalam sejarah. Menurut Arkoun, dengan mengutip pendapat Clifford Geertz, untuk memahami islam, persoalan semiotis-kebahasaan mestinya memperoleh perhatian lebih dahulu sebelum kita memusatkan diri pada kajian teologis. Akibat kurang analisis historis-sosiologis terhadap islam maka al-Qur’an bisa kehilangan ataupun terputus dari konteks dan relevansi historisnya, sehingga studi keislaman selalu hadir dalam paket-paket produk ulama abad tengah yang saling terpisah, dan cenderung dianggap final.[6]
Atas dasar inilah Arkoun mencoba membawa rekonstruksi yang baru dalam metode penafsiran al-Qur’an yaitu dengan metode hermeneutika. Di dunia islam, memang hermeneutika masih terlampau asing dan kadang nasibnya hampir sama dengan filsafat yaitu dianggap tidak sesuai dengan pemahaman islam. Hermeneutika dapat diartikan sebagai sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajiannya pada sebuah “understanding of understand” atau seni memahami sebuah teks. Hermeneuein yang berarti “menafsirkan” kata ini sering diasosiasiakan dengan nama seorang dewa Yunani, Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia.[7]
Arkoun, sebagai mana tokoh kontinuental yang menaruh perhatian pada bidang kajian hermeneutika, berpandangan bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Tiga elemen pokok hermeneutika pengarang, teks, dan pembaca. Masing-masing mempunyai dunianya sendiri sehingga hubungan antara ketiganya harus selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka. Karena tanpa adanya wacana yang terbuka dan dinamis sebuah tradisi akan kehilangan ruh. Dinamika dan kreatifitas dalam memahami agama sangat diperlukan, lebih-lebih jika teks dan tradisi datang dari kurun waktu, kultur, dan tempat yang berbeda. Sesungguhnya apa yang disebut sebagai pemahaman dan pengalaman agama sampai pada batas-batas tertentu merupakan refleksi dan penafsiran subjektif yang muncul dari proses dialog seseorang membaca dan memahami sebuah teks sesuai dengan kemampuan dan kecendrungan subjektifitasnya. Oleh karena itu sebuah teks yang sama, ketika dibaca ulang, bisa melahirkan pemahaman baru.
Kehadiran Mohammed Arkoun dengan memperkenalkan hermeneutika sebagai sebuah metodologi kritis, memberikan hasanah keilmuan baru bagi perkembangan islam. Terutama dengan menggunakan metode hermeneutika historis. Sebagaimana di paparkan diatas bahwa si pengarang, teks dan pembaca, tidak bisa lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya yang berkaitan dengan ruang dan waktu. Sehingga menurut Arkoun, untuk dapat memahami sejarah maka tidak cukup hanya dengan transfer makna, melainkan juga transformasi makna. Dan dalam hal ini al-Qur’an, sebagai kitb suci umat islam yang dituangkan dalam bahasa Arab hususnya. Dalam mengaktualisasikan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an selalu saja berbeda-beda dalam penafsirannya.
Dengan cara pandang seperti ini, setidaknya muncul tiga kesimpulan ketika kita mendekati al-Qur’an dan tradisi keislaman. Pertama, sebagian kenbenaran dalam pernyataan al-Qur’an baru akan kelihatan dimasa depan. Kedua, kebenaran yang ada dalam al-Qur’an berlapis-lapis atau berdimensi majemuk sehingga plularitas pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an adalah hal yang lumrah atau bahkan dikehendaki oleh Qur’an itu sendiri. Ketiga, terdapat doktrin dan tradisi keislaman yang bersifat historis aksidental sehingga tidak ada salahnya untuk dipahami ulang dan diciptakan tradisi baru.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Fazlur Rahman lahir di Hazara Pakistan 21 September 1919. Rahman, dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Mazhab Hanafi yang kuat, sebuah Mazhab Sunni yang lebih bercorak rasional dari pada mazhab Sunni lainnya. Sekalipun ia pengikut Sunni, namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis terhadap Sunni juga terhadap Syi’i. Fazlur Rahman mempelajari ilmu-ilmu Islam secara formal di Madrasah. Selain itu, ia juga menerima pelajaran dari ayahnya, seorang ulama dari Deoband. Ia telah menghafal Al-Qur’an di luar kepala dalam usia 10 tahun, dan pada umur 14 tahun ia mulai belajar filsafat, bahasa, Arab, teologi, tafsir, dan hadits.
Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement), dan pendekatan sitetis-logis.
Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber yang hidup dari hasil pertanian, ternak dan berdagang kerajinan tangan. Berber sendiri merupakan sebutan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Semula mereka berbahasa dengan bahasa non Arab (‘ajamiyah).
Tiga elemen pokok hermeneutika Muhamad Arkoun adalah pengarang, teks, dan pembaca. Masing-masing mempunyai dunianya sendiri sehingga hubungan antara ketiganya harus selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka.

B.     Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafur. Waryono. dkk. Studi Al-Qur'an kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2002.

Fahrudin Faiz. Hermeneutika Al-Qur’an “Tema-tema kontroversial” eLSAQ Press. Yogyakarta: 2005.



Komarudin Hidayat. “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika” dalam Johan Henrik Meuleman (pen.). membahas Membaca Al-Qur’an bersama Muhammed Arkoun. Yogyakarta: LkiS. 2012.

Sibawaih. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra. 2007.



[2] Sibawaih, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hal. 52-53
[3] Ibid, . . . h. 58-59
[4] Ibid, . . . h. 68
[5] Abdul Ghafur, Waryono, dkk, Studi Al-Qur'an kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 168-169
[6] Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika” dalam Johan Henrik Meuleman (pen.), membahas Membaca Al-Qur’an bersama Muhammed Arkoun ( Yogyakarta: LkiS, 2012 ), Hlm.33.
[7] Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an “Tema-tema kontroversial” (eLSAQ Press, Yogyakarta: 2005), Hlm. 04.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah tentang: BAIK DAN BURUK

LANDASAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN

Makalah tentang Rabi'ah al-Adawiyah