Makalah tentang: HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN DAN HUDUD MUHAMMAD ARKOUN
Kepada
seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini
terdapat kesalahan, juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap
teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi
sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari.
Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.
Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tafsir Al-Qur’an, merupakan suatu wilayah
intelektual yang semakin mendesak dalam proses pemecahan masalah umat. Sejak
munculnya gerakan reformisme islam yang melintang diabad modern (abad 19) yang
dikomandani oleh Sayyid Ahmad Khan (w 1898), Muhammad Abduh (1905), Abul Kalam Azad (w 1959) dan lain-lain telah
menyemarakkan “euphoria” gerakan pemikir islam modern yang mendesak pemikiran
islam ortodoks yang terbukti “mandul” dan hanya memberikan kejumudan dan stagnanasi pemikiran islam.
Gerakan semacam ini dimaksudkan untuk memberi angin segar guna menciptakan
ruang baru yang lebih dinamis dan progresif.
Dalam makalah ini, kami akan mengemukan 2 dari
sekian tokoh pemikir Islam yang terasuk kedalam gerakan pembaharuan atau lebih
dikenal dengan pemikir Islam kontemporer. Tokoh yang dimaksud adalah Fazlur
Rahman dan Muhammad Arkoun.
B.
Rumusan
masalah
1. Bagaimana
biografi dari Fazlur Rahman ?
2. Bagaimana
teori double movement Fazlur Rahman ?
3. Bagaimana
biografi Muhammad Arkoun ?
4. Bagaimana
teori hermeneutika Muhammad Arkoun ?
C.
Tujuan
penulisan
1. Untuk
menjelaskan mengenai biografi dari Fazlur Rahman.
2. Untuk
menjelaskan mengenai teori double movement Fazlur Rahman.
3. Untuk
menjelaskan mengenai biografi Muhammad Arkoun.
4. Untuk
menjelaskan mengenai teori hermeneutika Muhammad Arkoun.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur
Rahman lahir di Hazara Pakistan 21 September 1919. Ia lahir di tengah suasana
perseteruan tiga kubu, kaum modernis, tradisionalis, dan fundamentalis. Kaum
modernis merumuskan Negara Islam dalam bingkai ideologi modern. Kaum
tradisionalis menawarkan konsep Negara Islam tradisional; khilafah dan imamah.
Sedangkan kaum fundamentalis mengusung ide ‘kerajaan Tuhan’. Latar belakang ini
menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan Islam dan berbagai
metodologi pemikiran. Di tengah
perdebatan inilah, setelah menyelesaikan studinya di Lahore dan Oxford
University, Rahman tampil mengemukakan gagasan pembaharuannya.
Rahman,
dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Mazhab Hanafi yang kuat, sebuah Mazhab
Sunni yang lebih bercorak rasional dari pada mazhab Sunni lainnya. Sekalipun ia
pengikut Sunni, namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis terhadap
Sunni juga terhadap Syi’i. Fazlur Rahman mempelajari ilmu-ilmu Islam secara
formal di Madrasah. Selain itu, ia juga menerima pelajaran dari ayahnya,
seorang ulama dari Deoband. Ia telah menghafal Al-Qur’an di luar kepala dalam
usia 10 tahun, dan pada umur 14 tahun ia mulai belajar filsafat, bahasa, Arab,
teologi, tafsir, dan hadits.
Setelah
menamatkan pendidikan menengah di madrasah, Ia melanjutkan studinya di
Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada tahun 1940 ia menyelesaikan
program Bachelor of Art (BA), dua tahun kemudian yakni tahun 1942, ia berhasil
meraih gelar MA, dalam sastra Arab. Sekalipun ia terdidik dalam lingkungan
pendidikan Islam tradisional, sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai
seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis
yang menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional,
terlihat dari keputusannya studi ke Barat untuk memperoleh gelar Philosphy
Doctor (Ph.D) di Oxford University, Inggris. Pada tahun 1946, satu tahun
sebelum Pakistan mendeka ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di
Oxford University. Keputusannya merupakan awal sikap kontroversi Rahman.
Keputusannya untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat, Oxford, bukan tanpa
alasan yang kuat. Kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan
iklim intelektual yang solid.
Pada
tahun 1949, Rahman menyelesaikan studi doktornya di Oxford University dengan
mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina. Setelah menjadi doktor ia memilih untuk
tinggal di barat selama bberapa tahun dengan mengajar di Universitas Durham
untuk beberapa waktu, kemudian ia pindah ke Institute of Islamic Studies di Mc
Gill University, Montreal, Kanada sebagai Associate Professor of Phylosophy
sampai tahun 1960. Kemudian pada tahun itu ia kembali ke tanah kelahirannya
atas permintaan presiden Ayyub Khan, untuk berpartisipasi dalam membangun
negara Pakistan. Pada Tahun 1962 ia memimpin Islamic Research Institute dan
pada tahun 1964 ia menjadi anggota The Advisory Council of Islamic Ideology
(Dewan penasehat idelogi Islam). Di sinilah ia mulai mencurahkan ide-de
pembaruannya. Tetapi pembaruan yang ditaearkannya mendapat tantangan keras dari
agama sayap kanan. Penentangan terhadap Fazlur Rahman mencapai puncaknya pada
bulan September 1967 ketika dia menyatakan bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan
adalah kalam Allah. Namun, dalam pengertian biasa, Al-Qur’an juga seluruhnya
perkataan Muhammad, akibat pernyataannya itu ia dituduh sebagai Munkirul
Qur’an.
Pada
tahun 1970 ia memutuskan hijrah ke Amerika dan langsung dinobatkan menjadi guru
besar pemikiran Islam di Cihcago University. Universitas tersebut merupakan
tempat yang banyak menelurkan banyak karyanya. Tempat ini pula yang menjadi
tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 juli 1988. Keputusannya hijrah ke Chicago didasarkan
pada pengalaman pengabdiannya di Pakistan, negeri dan tanah airnya sendiri.
Bahwa Pakistan dan negeri-negeri Muslim lainnya belum siap menyediakan
lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab. Ia bukanlah seorang
tokoh parsial dalam aspek pemikiran tertentu, misalnya teologi, filsafat, hukum
Islam dan sebagainya, tetapi ia hampir-hampir mengkaji dan menguasai segala
aspek pemikiran Islam dalam posisi yang hampir merata. Keseluruhan pemikiran
Rahman merupakan wujud dan kesadarannya akan krisis yang dihadapi Islam dewasa
ini, di mana krisis tersebut sebagian berakar dalam sejarah Islam sendiri, dan
sebagian lagi adalah tantangan modernitas. Dengan tengah modernitas dewasa ini,
ia mengabdikan potensi intelektualnya untuk mengatasi krisis tersebut. Ia
adalah muslim pertama yang menerima medali Giorgio Levi della Vida, yang
melambangkan puncak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E.
Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA. Di antara karya-karyanya
yang pernah dipublikasikan adalah: (1) Prophecy in Islam, London, 1958 : (2)
Ibnu Sina, De Amina, (teks berbahasa Arab), Oxford, 1959 : (3) Islam; (4) Major
Themes of the Qur’an, (5) Islamic Methodology in History, Islam abad, 1969. (6)
Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago, 1982,
dan beberapa tulisan lainnya.[1]
B. Teori Double Movement Fazlur Rahman
Menyuguhkan
hermeneutika Fazlur Rahman bukanlah pekerjaan sederhana, sesederhana membaca
buku-bukunya. Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika,
bukan tafsir, ta’wil dalam pengertian
konvensional sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir. Rahman sendiri
tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Namun karena teori
interpretasinya menampakkan kebaruan dan progresivitas, para pengamat
menggolongkan dalam kajian hermeneutika.
Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman,
yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement),
dan pendekatan sitetis-logis.
1. Pendekatan
sosio historis
Langkah pertama yang
harus dilakukan adalah melihat kembali sejarah yang melatari turunnya ayat.
Ilmu asbabun nuzul sangat penting dalam hal ini. Atas dasar apa dengan motif
apa suatu ayat diturunkan akan terjawab lewat pemahaman terhadap sejarah.
Pendekatan historis hendaknya dibarengi dengan pendekatan sosiologis, yang
khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Qur’an diturunkan.
Dalam ranah sosiologis ini, pemahaman terhadap al-Qur’an akan senantiasa
menunjukkan elastisitas perkembangannya tanpa mencampakkan warisan historisnya.
Dengan demikian universalitas dan fleksibilitas al-Qur’an senantiasa
terpelihara.[2]
2. Gerakan
ganda (double movement)
Langkah
berikutnya setelah penekanan pada pendekatan sosio-historis adalah pentingnya
membedakan antara legal spesifik dan ideal moral yang dikenal dengan istilah
gerakan ganda (double movement). Ideal moral adalah tujuan dasar
moral yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik adalah ketentuan
hukum yang ditetapkan secara khusus. Ideal moral al-Qur’an lebih patut
diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya sebab ideal moral bersifat
universal. Dengan ini Rahman berharap agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat
mengabdi pada ideal moral, bukan legal spesifiknya karena al-Qur’an selalu
memberi alasan bagi pernyataan legal spesifiknya. Langkah yang dilakukan, pertama memperhatikan
konteks mikro dan makro ketika ayat diwahyukan. Konteks mikro adalah situasi
sempit yang terjadi dilingkuangn Nabi ketika al-Qur’an diturunkan. Sedang
konteks makro adalah situasi yang terjadi dalam skala yang lebih luas,
menyangkut masyarakat, agama dan adat istiadat Arabia pada saat datangnya
Islam, khususnya di Makkah dan sekitarnya.
Disini lah, konsep asbabun nuzul dan nasikh-mansukh amat diperlukan.
Menurut
Rahman, al-Qur’an adalah respon ilahi, yang diturunkan melalui ingatan dan
pikiran Nabi, kepada situasi sosio-moral Arab pada masa Nabi. Sehubungan dengan
pernyataan ini, ia mengatakan: ”al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam
Allah. Sedang dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan
Muhammad” (Fazlur Rahman, Islam dan Modernity, hal 31). Dalam sejarahnya,
pernyataan ini telah menimbulkan kehebohan di Pakistan, yang harus ditebus
dengan pengunduran dirinya dari jabatan direktur Lembaga Riset. Ini menjadi
derap langkah awal watak kontroversinya.
Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca
al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan
ayat-ayat hukum dan sosial.
Tafsir
hermeneutika gerakan ganda Rahman pada intinya lebih merupakan respon terhadap
pendekatan yang dilakukan oleh ulama tradisional. Teori gerakan ganda
mengkanter teori asbabun nuzul penafsir tradisional. Dalam teori asbabun nuzul,
terdapat dua kaidah yang saling berlawanan: ” al-’ibrah bi umumil al-fadz la bi
khusi al sabab, dan al-’ibrah bi khusi al sabab la bi umumil al-fadz”. Yang
pertama berpegang kepada keumuman lafadz saja tanpa memperhatikan sebab-sebab
khusus yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Yang kedua berpandangan
sebaliknya, hanya berpegang pada sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi
turunnya ayat tanpa mempertimbangkan keumuman lafadz. Pandangan parsialistik
dan dikotomistik ini menyebabkan penafsiran Al-Qur’an ulama tradisional menjadi
tidak komperehensif. Pendekatan ini jelas akan menghalangi berkembangnya
pandngan dunia Al-Qur’an.
Maka,
demi menjawab kegalauan inilah, Rahman mengajukan teori gerakan ganda, dengan
pembedaan pada aspek legal spesifik dari ideal moral ayat yang diturunkan.
Dalam kedua aspek inilah terjadi proses dialektika yang terpadu. Pembedaan
legal spesifik dari ideal moral itu merupakan impak dari keinginan untuk
menghadirkan pemahaman Al-Qur’an secara utuh. Menarik dicermati, Rahman disini
terkesan menyerap pemahaman ahli hukum Maliki al-Syathibi tentang pentingnya
memahami Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang integratif. Ya, sebuah usaha untuk
menata nilai-nilai Al-Qur’an secara sistematis, dengan menundukkan nilai-nilai
yang lebih khusus pada nilai-nilai yang lebih umum, sebagai bagian dari etika Al-Qur’an.[3]
3. Pendekatan
sintesis-logis
Jika
dalam memahami ayat-ayat hukum dan sosial Rahman menggunakan pendekatan
sosio-historis dan gerakan ganda, tidak demikian halnya ketika Rahman
berhadapan dengan ayat-ayat metafisi-teologis. Untuk wilayah ini, Rahman
menggunakan pendekatan sintetis-logis. Apa itu sintesis – logis? sintetis-logis
adalah pendekatan yang membahas suatu tema (metafisis-teologis) dengan cara
mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema
yang relevan dengan tema yang dibahas.[4]
C. Biografi Muhammad Arkoun
Mohammed
Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia
merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber yang hidup dari hasil pertanian,
ternak dan berdagang kerajinan tangan. Berber sendiri merupakan sebutan untuk
penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Semula mereka berbahasa dengan
bahasa non Arab (‘ajamiyah).
Sebagai
anak yang dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik bahasa tidak
tertulis Kabilia yang merupakan alat untuk mengungkapkan tradisi dan nilai yang
sudah ribuan tahun usianya. Sebagai penduduk Aljazair, Arkoun juga mengenal
baik bahasa arab, yang merupakan bahasa keagamaan yang tertulis. Sedangkan
sebagai orang yang dididik dalam tradisi Perancis, ia menguasai bahasa perancis
dengan baik sebagai bahasa non keagamaan tertulis dan alat untuk mengenal
nilai-nilai dan tradisi keilmuan barat. Kehidupan Arkoun dengan berbagai macam
budaya dan penguasaannya terhadap ketiga bahasa tersebut sangat berpengaruh
bagi perkembangan pemikirannya dikemudian hari.
Arkoun
merampungkan pendidikan sekolah dasar di Kabilia, dan sekolah menengah di kota
pelabuhan Oran. Setamat SMA, ia menamatkan belajar di Universitas Aljazair
dengan spesialisasi bahasa dan sastra arab. Sejak selesai dari universitas
tersebut (1954), Arkoun melanjutkan studi di Paris dengan masih konsen pada
bidangnya. Dan sejak itulah ia menetap di Paris. Pendidikan formalnya
diselesaikan pada tahun 1969 dengan meraih gelar doktor dibidang sastra dari
universitas Sorbone Paris, tempat ia mengajar kemudian dengan disertasi
mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih.[5]
D. Hermeneutika Muhammad Arkoun
Dalam
karyanya, Rethinking Islam (1994), semakin terlihat bahwa Arkoun
mengkritisi pendekatan kaum militan yang melakukan idiologisasi dan pemistikan
terhadap paham keislaman yang tumbuh dalam sejarah. Menurut Arkoun, dengan
mengutip pendapat Clifford Geertz, untuk memahami islam, persoalan
semiotis-kebahasaan mestinya memperoleh perhatian lebih dahulu sebelum kita
memusatkan diri pada kajian teologis. Akibat kurang analisis
historis-sosiologis terhadap islam maka al-Qur’an bisa kehilangan ataupun
terputus dari konteks dan relevansi historisnya, sehingga studi keislaman
selalu hadir dalam paket-paket produk ulama abad tengah yang saling terpisah,
dan cenderung dianggap final.[6]
Atas
dasar inilah Arkoun mencoba membawa rekonstruksi yang baru dalam metode
penafsiran al-Qur’an yaitu dengan metode hermeneutika. Di dunia islam, memang
hermeneutika masih terlampau asing dan kadang nasibnya hampir sama dengan
filsafat yaitu dianggap tidak sesuai dengan pemahaman islam. Hermeneutika dapat
diartikan sebagai sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajiannya pada
sebuah “understanding of understand” atau seni memahami sebuah teks.
Hermeneuein yang berarti “menafsirkan” kata ini sering diasosiasiakan dengan
nama seorang dewa Yunani, Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk
membawa pesan kepada manusia.[7]
Arkoun,
sebagai mana tokoh kontinuental yang menaruh perhatian pada bidang kajian
hermeneutika, berpandangan bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg
jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan
dengan dinamika sosial. Tiga elemen pokok hermeneutika pengarang, teks, dan
pembaca. Masing-masing mempunyai dunianya sendiri sehingga hubungan antara
ketiganya harus selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka. Karena tanpa
adanya wacana yang terbuka dan dinamis sebuah tradisi akan kehilangan ruh.
Dinamika dan kreatifitas dalam memahami agama sangat diperlukan, lebih-lebih
jika teks dan tradisi datang dari kurun waktu, kultur, dan tempat yang berbeda.
Sesungguhnya apa yang disebut sebagai pemahaman dan pengalaman agama sampai
pada batas-batas tertentu merupakan refleksi dan penafsiran subjektif yang
muncul dari proses dialog seseorang membaca dan memahami sebuah teks sesuai
dengan kemampuan dan kecendrungan subjektifitasnya. Oleh karena itu sebuah teks
yang sama, ketika dibaca ulang, bisa melahirkan pemahaman baru.
Kehadiran
Mohammed Arkoun dengan memperkenalkan hermeneutika sebagai sebuah metodologi
kritis, memberikan hasanah keilmuan baru bagi perkembangan islam. Terutama
dengan menggunakan metode hermeneutika historis. Sebagaimana di paparkan diatas
bahwa si pengarang, teks dan pembaca, tidak bisa lepas dari konteks sosial,
politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya yang berkaitan dengan ruang
dan waktu. Sehingga menurut Arkoun, untuk dapat memahami sejarah maka tidak
cukup hanya dengan transfer makna, melainkan juga transformasi makna. Dan dalam
hal ini al-Qur’an, sebagai kitb suci umat islam yang dituangkan dalam bahasa
Arab hususnya. Dalam mengaktualisasikan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an
selalu saja berbeda-beda dalam penafsirannya.
Dengan
cara pandang seperti ini, setidaknya muncul tiga kesimpulan ketika kita
mendekati al-Qur’an dan tradisi keislaman. Pertama, sebagian kenbenaran dalam
pernyataan al-Qur’an baru akan kelihatan dimasa depan. Kedua, kebenaran yang
ada dalam al-Qur’an berlapis-lapis atau berdimensi majemuk sehingga plularitas
pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an adalah hal yang lumrah atau bahkan
dikehendaki oleh Qur’an itu sendiri. Ketiga, terdapat doktrin dan tradisi
keislaman yang bersifat historis aksidental sehingga tidak ada salahnya untuk
dipahami ulang dan diciptakan tradisi baru.[8]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fazlur
Rahman lahir di Hazara Pakistan 21 September 1919. Rahman, dibesarkan dalam
keluarga dengan tradisi Mazhab Hanafi yang kuat, sebuah Mazhab Sunni yang lebih
bercorak rasional dari pada mazhab Sunni lainnya. Sekalipun ia pengikut Sunni,
namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis terhadap Sunni juga
terhadap Syi’i. Fazlur Rahman mempelajari ilmu-ilmu Islam secara formal di
Madrasah. Selain itu, ia juga menerima pelajaran dari ayahnya, seorang ulama
dari Deoband. Ia telah menghafal Al-Qur’an di luar kepala dalam usia 10 tahun,
dan pada umur 14 tahun ia mulai belajar filsafat, bahasa, Arab, teologi,
tafsir, dan hadits.
Ada
tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni
pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement), dan
pendekatan sitetis-logis.
Mohammed
Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia
merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber yang hidup dari hasil pertanian,
ternak dan berdagang kerajinan tangan. Berber sendiri merupakan sebutan untuk
penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Semula mereka berbahasa dengan
bahasa non Arab (‘ajamiyah).
Tiga
elemen pokok hermeneutika Muhamad Arkoun adalah pengarang, teks, dan pembaca.
Masing-masing mempunyai dunianya sendiri sehingga hubungan antara ketiganya
harus selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka.
B. Saran
Makalah
ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan
perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Ghafur. Waryono. dkk. Studi Al-Qur'an kontemporer: Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2002.
Fahrudin
Faiz. Hermeneutika Al-Qur’an “Tema-tema
kontroversial” eLSAQ Press. Yogyakarta: 2005.
http://adawiyahannasir.blogspot.co.id/2012/12/hermeneutika-islam-mohammed-arkoun.html
diaksses
pada 24 April 2016 pukul: 07:48 WIB
https://jeryronggo.wordpress.com/2008/12/01/hermeneutika-al-qur%E2%80%99an-fazlur-rahman/
diakses pada : jum’at, 22 April 2016 pukul 04:08
Komarudin
Hidayat. “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika” dalam Johan Henrik Meuleman
(pen.). membahas Membaca Al-Qur’an bersama Muhammed Arkoun. Yogyakarta: LkiS. 2012.
Sibawaih.
Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra. 2007.
[1] https://jeryronggo.wordpress.com/2008/12/01/hermeneutika-al-qur%E2%80%99an-fazlur-rahman/
diakses pada : jum’at, 22 April 2016 pukul 04:08
[2] Sibawaih, Hermeneutika Al-Qur’an
Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hal. 52-53
[3] Ibid, . . . h. 58-59
[4] Ibid, . . . h. 68
[5] Abdul Ghafur, Waryono, dkk, Studi
Al-Qur'an kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002), h. 168-169
[6] Komarudin Hidayat, “Arkoun
dan Tradisi Hermeneutika” dalam Johan Henrik Meuleman (pen.), membahas Membaca
Al-Qur’an bersama Muhammed Arkoun (
Yogyakarta: LkiS, 2012 ), Hlm.33.
[7] Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an “Tema-tema
kontroversial” (eLSAQ Press, Yogyakarta: 2005), Hlm. 04.
[8] http://adawiyahannasir.blogspot.co.id/2012/12/hermeneutika-islam-mohammed-arkoun.html
diaksses pada 24
April 2016 pukul: 07:48 WIB
Komentar
Posting Komentar