Makalah tentang: SUNNAH SEBAGAI SUMBER ISLAM, NABI MUHAMMAD SEBAGAI SUMBER SUNNAH, KEDUDUKAN FUNGSI SUNNAH DAN KODIFIKASINYA, DAN PENDEKATAN MEMAHAMI SUNNAH
Kepada
seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini
terdapat kesalahan, juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap
teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi
sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari.
Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.
Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan
Sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum
muslimin tidak dapat diragukan. Barangsiapa yang menela’ah al-Quran dan Sunnah,
niscaya akan menemukan sumbangsih Sunnah dalam syari’at Islam. Namun masih ada
sebahagian orang-orang yang tidak menerima Sunnah sebagai sumber hukum, mereka
meragukan kehujjahan Sunnah. Akibatnya terjadilah pertentangan di kalangan Umat
Islam sendiri.
Untuk
menepis pendapat dan keragu-raguan para penentang Sunnah, maka penulis di sini
akan menjelaskan kembali tentang “Sunnah sebagai sumber Islam, Nabi Muhammad
sebagai Sumber Sunnah, Kedudukan Fungsi Sunnah dan Kodifikasinya, serta Pendekatan
Memahami Sunnah”
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian sunnah sebagai sumber Islam ?
2.
Bagaiman
penjelasan mengenai Nabi Muhammad seagai sumber sunnah ?
3.
Bagaiman
kedudukan fungsi sunnah dan kodifikasinya ?
4.
Bagaimana
pendekatan memahamai sunnah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
menjelaskan sunnah sebagai sumber Islam.
2.
Untuk
menjelaskan mengenai Nabi Muhammad seagai sumber sunnah.
3.
Untuk
menjelaskan kedudukan fungsi sunnah dan kodifikasinya.
4.
Untuk
menjelaskan pendekatan memahamai sunnah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sunnah sebagai Sumber Agama Islam
1. Pengertian
sunnah
Secara etimologis,
Sunnah berarti perjalanan, yang baik maupun yang buruk. Sesuai dengan sabda
Rasul Saw.:
"من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها بعده
من غير أن ينقص من أجورهم شيء و من سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من
عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء"
Artinya: Siapa saja yang memberi contoh/tuntunan perbuatan yang baik, ia
akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut, serta pahala orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan Siapa saja yang
memberikan contoh jalan yang buruk, maka ia akan menadapatkan dosa perbuatan
tersebut dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun.
Menurut
terminologi (syari’at), Sunnah adalah: Segala sesuatu yang diambil dari Rasul
Saw, berupa perkataan, perbuatan, keputusan, sifat fisik dan sifat non fisik,
atau perjalanan hidup, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul atau
setelahnya.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata
Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara', maka yang dimaksud
dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang,
dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya.
Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan
as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur'an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari
sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan
sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi
syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits
merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira
maupun sesudahnya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan
di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. Ulama yang
mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW.,
sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna,
bukan sebagai sumber hukum. Oleh karena itu, mereka menerima dan
meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul
SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan
penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan
untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan
sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya. [1]
2.
Dalil-dali kehujjahan sunnah
- Dalil al-Qur’an
Dalam al-Quran banyak ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti
Allah yang digandengkan dengan kewajiban mengikuti Rasul-Nya.Di antara dalil-dalil
tersebut adalah[2]:
Firman Allah dalm Q.S Ali Imran ayat 31-32,
قُلۡ
إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ
لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١ قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَۖ
فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٢
Artinya: 32. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 32. Katakanlah: "Taatilah Allah dan
Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir"
- Dalil hadis
Begitu pula halnya dalam hadits-hadits Nabi Saw, banyak kita temukan
perintah yang mewajibkan kita mengikuti Nabi Saw dalam segala perkara. Di
antaranya adalah[3]:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : كل امتى يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل :
ومن يأبى يارسول الله ؟ قال : من أطاعنى
دخل (الجنة، ومن عصانى فقد أبى ، (رواه البخارى
Artinya: Dari Abi Hurairah, bahwa rasulullah Saw. bersabda: Setiap
umatku pasti akan masuk surga, kecuali yang enggan. Sahabat bertanya: Siapa
yang enggan itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: siapa saja yang menta’atiku
pasti akan masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku, sungguh ia telah enggan.
(H.R Bukhari)
Jadi dalam hadits ini menjelaskan umatnya yang taat dan mau mengikuti
segala sunnahnya dalam kehidupan sehari-hari yang ia jalankan, melainkan rasul
marah terhadap umatnya yang enggan mengerjakan sunnahnya.
- Ijma’ sahabat
Umat Islam telah sepakat tentang wajibnya beramal dengan Sunnah Nabi Saw
yang shahih, bahkan yang demikian termasuk memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya.
Kaum muslimin sejak masa sahabat Rasulullah Saw, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan
generasi-generasi sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap
persoalan agama kepada al-Quran dan sunnah, berpegang dengannya, dan
menjaganya.
Di antara dalil-dalil yang menyatakan para sahabat dan tabi’in berpegang
kepada al-Quran dan sunnah adalah[4]:
1)
“Dalam sebuah riwayat Abu Bakr
pernah berkata:”Aku tidak akan meninggalkan sesuatupun yang diamalkan oleh
Rasulullah Saw. karena aku khawatirbila aku meninggalkan perintahnya aku akan
sesat”.(HR. Ahmad)
2)
Umar bin Khatab berdiri di hadapan
Hajar Aswad seraya berkata: “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu,
engkau tidak bisa mendatangkan manfaat dan bahaya, seandainya aku tidak melihat
Nabi Muhammad Saw menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. Ahmad)
3)
Sa’id bin Musayyab mengatakan: ”Aku
berwudhu seperti wudhunya Rasulullah Saw dan aku shalat seperti shalatnya
Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad)
4)
Ali berkata tentang berdiri ketika
jenazah lewat: “Aku pernah melihat Rasulullah Saw. berdiri, maka kami
berdiri, dan beliau duduk, maka kamik pun duduk.”
B.
Nabi
Muhammad Saw sebagai Sumber Sunnah
Perbuatan Rasululah SAW dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok
pertama berisi perbuatan-perbuatan yang merupakan karakteristik Rasulullah SAW
sebagai manusia biasa; kedua, perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan
kekhususan beliau sebaai nabi; ketiga perbuatan-perbuatan rasulullah yang
menghasilkan implikasi hukum. :
1.
Perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan karakteristik alamiah
Nabi.
Perbuatan-perbuatan seperti
bagaimana beliau SAW berdiri, duduk, makan, atau minum. Sebagai contoh,
diriwayatkan bahwa ketika beliau SAW berjalan dan hendak memalingkan atau
menolehkan wajah kearah lain, maka beliau pun memutar seluruh tubuhnya.
Perbuatan semacam ini tidak menghasilkan implikasi hukum, kecuali dalam
kasus-kasus tertentu ketika beliau SAW menganjurkan suatu perbuatan. Dalam
kasus sepertiitu, maka perbuatan tersebut tergolong mandub.
Sunnah tidak membahas
pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khususdan teknis, seperti kedokteran dan
pertanian, karena masalah-masalah tersebut tidak ternasuk lingkup tugas
ke-nabian.
2.
Perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan kekhususan beliau. Allah SWT
mengutus Rasulullah SAW dengan aturan-aturan yang secara khusus berlaku pada
diri Rasulullah SAW saja. Beberapa contoh diantara aturan-aturan tersebut
adalah :
-
Rasulullah SAW diwajibkan shalat tahajjud
-
Rasulullah SAW diperbolehkan melanjutkan puasanya dimalam hari (puasa
wishaf)
-
Pernikahan beliau tidak mempersyaratkan adanya mahar
-
(mantan) istri beliau SAW tidak boleh dinikahi
-
Beliau SAW diperbolehkan menikahi lebih dari empat orang istri dalam satu
kurun waktu.
Siapa pun yang melakukan
perbuatan sebagaimana diatas akan mendapatkan dosa, karena perkara-perkara di
atas adalah kekhususan bagi beliau.
3.
Perbuatan Rasulullah SAW yang menghasilkan implikasi hukum.
Perbuatan-perbuatan
Rasulullah SAW yang menghasilkan konsekuensi hukum dapat dikelompokkan delam
tiga kategori, yaitu :
a.
Perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan penjelasan (bayan) darisebuah ayat.
Apabila perbuatan Rasulullah SAW menjelaskan suatu hukum atau ayat yang
bersifat wajib, maka penjelasan itupun hukumnya wajib, jika perbuatan
Rasulullah SAW menjelaskan suatu hukum yang bersifat mandub, maka penjelasan
itu pun hukumnya mandub.
b.
Perbuatan beliau SAW yang termasuk dalam kategori mandub atau nafilah Contoh
perbuatan yang termasuk golongan ini adalah berpuasa selama enam hari pada
Bulan Syawal, membaca bacaan-bacaan dzikir pada saat-saat tertentu dan menjalankan
shalat-shalat sunnah.
c.
Perbuatan Rasulullah SAW yang termasuk dalam kategori mubah. Karena
perbuatan ini bersifat mubah, maka ia tidak mendatangkan pahala maupun dosa
dari sisi Allah SWT.
4.
Hal-hal yang keluar dari Rasul SAW yang berkenaan dengan pengalaman kemanusiaan,
kecerdasan, dan percobaan dalam berbagai urusan keduniawian, seperti halnya
sewa-menyewa, pertanian, pengaturan pasukan, strategi peperangan, resep obat
bagi suatu penyakit, atau semisal hal-hal ini.
Kesimpulannya ialah bahwa sesutau yang keluar dari Rasulullah SAW baik
berupa ucapan, maupun perbuatan dalam salah sati dari empat kondisi yang telah
kami jelaskan, maka itulah termasuk sunnah beliau, akan tetapi bukan suatu penetapan
hukum islam dan bukan pula merupakan undang-undang yang wajib diikuti. Adapun
sesuatu yang keluar dari beliau baik ucapan maupun perbuatan dalam fungsinya
sebagai seorang rasul dan dimaksudkan sebagai suatu pembentukan hukum islam
secara umum dan menjadi tuntunan bagi ummat islam, maka ia merupakan hujjah
atas kaum muslimin dan undang-undang yang wajib diikuti.[5]
C.
Kedudukan
fungsi sunnah dan kodifikasinya
1.
Kedudukan sunnah
Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah Saw. baik
ucapan, perbuatan, atau taqrir yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir
dan ahad dengan sanad yang shahih, wajib kita mengimani dan mengamalkannya.
Sunnah menempati kedudukannya yang sangat penting setelah al-Quran. Ia
merupakan sumber kedua dalam ajaran Islam, namun kewajiban mengikuti Sunnah
sama wajibnya dengan mengikuti al-Quran. Hal ini karena Sunnah mempunyai fungsi
penting terhadap al-Quran. Tanpa memahami dan menguasai Sunnah, siapa pun tidak
akan bisa memahami al-Quran dengan utuh. Sebaliknya orang yang tidak memahami
al-Quran tidak akan bisa memahami Sunnah, karena al-Quran merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya terdapat dasar dan garis besar syari’at, dan Sunnah
(hadits) merupakan dasar hukum kedua, yang di dalamnya terdapat penjabaran dan
penjelasan dari garis besar yang terdapat dalam al-Quran. Oleh karena itu,
antara hadits dan al-Quran mempunyai kaitan yang sangat erat,yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, kedudukan Sunnah dalam
Islam tidak dapat diragukan karena terdapat banyak penegasan tentang hal ini di
dalam al-Quran maupun dalam hadits Nabi Muhammad Saw.[6]
2.
Fungsi Sunnah dalam ajaran Islam
Dalam Ajaran Islam Sunnah dijadikan
sebagai manhaj ‘amali. Sunnah menjalankan fungsi-fungsinya yang sangat
penting dalam Islam. Di antara fungsi-fungsi Sunnah terhadap ajaran Islam
adalah[7]:
a.
Sunnah sebagai manhaj syumuli,
yaitu manhaj yang sudah mencakup semuanya, manhaj yang komprehensif.
Sebagaimana yang telah dijelaskan Allah Swt. dalam QS An-Nahal ayat 89:
وَنَزَّلۡنَا
عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ
لِلۡمُسۡلِمِينَ ٨٩
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”
Sangat
disayangkan, bahwa sebahagian kaum muslimin sekarang ini memahami Sunnah secara
parsial, tidak menyeluruh, ada yang mengetahui Sunnah itu hanya sebatas
jenggot, bersiwak, dll, dan mereka lupa manhaj syumuli dalam Sunnah.Dalam
artian mereka mengamalkan Sunnah itu dan mengabaikan yang lain.
b.
Sunnah Manhaj Mutawazin,
yaitu manhaj yang mengimbangkan antara jasad dan ruh, antara akal dan hati,
dunia dan akhirat, teori dan praktek, antara kebebasan dan tanggung jawab, hak
individu dan jama’ah. Ketika Rasulullah melihat Abdullah bin ‘Amru terlalu
berlebihan dalam beribadah (puasa, shalat, dll), Rasulullah mengingatkannya
dengan mengatakan: “Sesungguhnya badanmu juga punya hak istirahat, matamu
juga punya hak tidur, keluargamu juga punya hak atasmu… maka berikanlah hak setiap
yang punya hak atasmu.”
c.
Sunnah Manhaj Takamuli
(saling melengkapi).
5.
Kodifikasi sunnah
Tidak sedikit orang salah paham terhadap waktu penulisan hadis. Banyak yang
memahami bahwa kodifikasi sunnah dilakukan pada akhir abad pertama hijrah atau
permulaan abad kedua hijriah. Sebenarnya kodifikasi itu sudah dilakukan
semenjak Rasulullah masih hidup, bahkan dibawah pengawasan dan bimbingannya.
Kodifikasi yang dimaksud disini tentu bukan penulisan seluruh hadis, karena perizinan
penulisan tidak kepada sembarang orang. Bukan juga dipahami bahwa sunnah
terbukukan rapi seperti Al-Quran, tapi hanya berbentuk lembaran-lembaran. Belum
tersusun rapi seperti kitab Muwaththa’ punya Imam Malik atau Shahih Bukhari.
Yang terpenting adalah bahwa penulisan sejak zaman Rasulullah sudah diizinkan.
Sebagaimana yang maklum, bahwa metode pengambilan hadis adalah orally
(musyâfahah), dari mulut ke mulut, karena para sahabat dianugerahi kekuatan
hafalan yang luar biasa. Akan tetapi ada beberapa sahabat yang diziinkan
menulis apa yang Rasulullah Saw. ucapkan. Bahkan penulisan pun dalam
pengawasannya.
Rasulullah Saw. mengizinkan sahabat Abdullah bin Amr bin Ash menulis hadis,
akan tetapi beberapa orang Quraisy melarangnya seraya berkata: Wahai Abdullah!
Nabi adalah manusia, ia berbicara dalam keadaan ridla dan marah, maka janganlah
kau tulis dari (perkataan) Rasulullah kecuali ketika dalam kedaan ridla.
Abdullah bin Amr pun menghentikan aktivitasnya kemudian langsung mengadukan hal
ini dan menanyakan kepada Rasulullah Saw. beliau menjawab: “Tulislah!, demi
Allah tidak ada apapun yang keluar dari diriku kecuali yang benar.” Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Hakim juga meriwayatkan tentang hadis ini
dengan bahasa yang berbeda tetapi maknanya sama, keduanya hadis shahih,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz-Dzahaby. Adapun kodifikasi secara
resmi, dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, (Khalifah ke-8 dari
kekhalifahan bani Umayyah). Melalui instruksinya kepada Abu Bakr bin Muhammad
bin Amr bin Hazn (Gubernur Madinah) dan para ulama madinah agar memperhatikan
dan mengumpulkan Hadits dari para penghafalnya.
Khalifah mengisnstruksikan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad bin Hazm (177 H)
agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman
al-Asy’ari (98 H, murid kepercayaan Siti ‘Aisyah) dan al-Qosim bin Muhammad bin
Abi Bakr (107 H). Instruksi yang sama ditunjukkan kepada Muhammad bin Syihab
Az-Zuhri (124 H) yang dinilainya orang yang lebih banyak mengetahui hadits dibandingkan
orang yang lainnya. Peranan para ulama dalam mengumpulkan hadits sangat
mendapatkan penghargaan dari seluruh umat islam khususnya Az-ZHuhri.
D.
Pendekatan
Memahami Sunnah
Sunah dapat di pahami dari beberapa
aspek[8]:
1. Sunnah
ditinjau dari aspek Tasyri
Ditinjau dari aspek Tasyri, sunnah terbagi menjadi dua: Sunnah Tasyri
dan Sunnah Ghair Tasyri.
Sunnah tasyri ialah segala perilaku Rasulullah yang berkaitan dengan hukum,
sehingga menjadi syariat atau sumber nilai pokok setelah Al-Qur’an. Contoh
sunnah Tasyri ialah segala perilaku yang disengaja Rasulullah SAW dalam shalat,
ibadah haji, dan ibadah -ibadah yang lainnya. Jika perilaku itu tidak
disengaja, maka tidak termasuk tasyri. Contoh: Jika pada suatu waktu Rasulullah
bersin atau batuk dalam shalat, maka itu tidaklah termasuk syariah.
Sedangkan sunnah ghair tasyri ialah
segala perilaku Rasulullah SAW yang tidak berkaitan dengan hukum atau syariah.
Perilaku Rasulullah SAW tergolong kepada ghair tasyri apabila memenuhi kategori
berikut ini:
a.
Perilaku itu berkaitan dengan tabiat
manusiawi. Misalnya makanan yang biasa dimakan Rasulullah adalah kurma, roti,
daging kambing dan daging unta. Itu semua adalah kebiasaan Rasulullah yang
berkaitan dengan tabiat manusiawi, karenanya tidak menjadi sunnah tasyri.
b.
Perilaku itu terjadi tanpa ada
kesengajaan, seperti bersin, batuk, berjalan, berdiri, duduk yang bukan dalam
ibadah.
c.
Perilaku itu dikhususkan untuk Nabi.
Contoh: shaum tanpa buka, nikah dengan wanita yang menghibbahkan diri tanpa
mahar, beristri lebih dari empat.
2. Sunnah
ditinjau dari aspek Ta’abbudi
Ditinjau dari aspek ta’abbudi (ibadah), sunnah Nabi terdiri dari dua:
Sunnah ta’abbudi dan Sunnah ghair ta’abudi. Sunnah yang bersifat ta’abudi ialah
perilaku Rasul yang bersifat ritual atau upacara ibadah. Contoh: Gerakan dan
bacaan shalat, gerakan thawaf, praktek sa’i, do’a makan, do’a naik kendaraan,
do’a masuk WC, do’a hubungan suami istri, mengqasar shalat sewaktu
musaafir.Sedangkan perilaku Rasul yang bersifat ghair ta’abbudi contohnya adalah
frekuensi Rasul menggauli istrinya, mengganjal perut ketika lapar, melawan
musuh dengan pedang, berkendaraan unta.
3. Sunnah
ditinjau dari Amar dan Nahy
Sunnah terbagi dua, ada perintah
(amar) dan ada larangan (nahy).Perintah pun terbagi dua, ada yang wajib dan ada
pula yang bersifat anjuran.Perintah yang wajib misalnya perintah zakat,
perintah taqwa, perintah iman, dll.Amar yang bersifat anjuran contohnya
perintah qurban, perintah aqiqah, perintah sedekah.
Larangan juga terbagi dua, ada
larangan keras yang menunjukkan haram dan ada yang menunjukkan larangan
ringan.Nahy yang keras seperti larangan zina, larangan ghibah, lerangan
khianat.Nahy ringan seperti larangan minum dan makan sambil berdiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis, Sunnah berarti perjalanan, yang baik maupun yang buruk. Sedangkan,
secara terminologi (syari’at), Sunnah adalah: Segala sesuatu yang diambil dari
Rasul Saw, berupa perkataan, perbuatan, keputusan, sifat fisik dan sifat non
fisik, atau perjalanan hidup, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul atau
setelahnya.
Perbuatan Rasululah SAW dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok
pertama berisi perbuatan-perbuatan yang merupakan karakteristik Rasulullah SAW
sebagai manusia biasa; kedua, perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan
kekhususan beliau sebaai nabi; ketiga perbuatan-perbuatan rasulullah yang
menghasilkan implikasi hukum.
Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah Saw. baik
ucapan, perbuatan, atau taqrir yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir
dan ahad dengan sanad yang shahih, wajib kita mengimani dan mengamalkannya.
Sunah dapat di pahami dari beberapa
aspek: Sunnah ditinjau dari aspek Tasyri, sunnah ditinjau dari aspek ta’abbudi,
sunnah ditinjau dari Amar dan Nahy
B. Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis
selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi
masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://teguhsantrigaul.blogspot.co.id/2014/09/as-sunah-sebagai-sumber-ajaran-islam.html di akses pada, jum’at, 22 April
2016 pukul: 03:59
https://id.scribd.com/doc/70626080/Makalah-Metode-Studi-Islam-Tentang-Sunnah-Sebagai-Sumber-Agama-Islam
diakses pada Minggu, 24 April 2016 pukul
06.06 WIB
M.
Agus Shalahuddin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Manna’
al-Qattan. Mabahits fi ‘ulum al-Hadits. Kairo: Maktabahh Wahbah. 1992.
Muhammad
‘Ajad al-Khatib. Ushul al-Hadits. Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Dar
al-Fikri. 2006 M.
Yazid
Bin abdul Qadir Jawas. Kedudukan al-Sunnah Dalam Syari’at Islam. Jakarta:
Pustaka l-Kautsar.
Yusuf al-Qaradawi. madkhal lidirasati al-Sunnah
al-Nabawiyah. Kairo: Maktabah Wahbah.
Yusuf
Qaradawi. Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyah. Kairo: Dar al-Syuruq.
[1] Muhammad ‘Ajad al-Khatib, Ushul
al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikri, 2006 M), h.
13-14
[2] M. Agus Shalahuddin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia), h. 74
[4] Yazid Bin
abdul Qadir Jawas, Kedudukan al-Sunnah Dalam Syari’at Islam, (Jakarta:
Pustaka l-Kautsar), h. 48
[5]
https://id.scribd.com/doc/70626080/Makalah-Metode-Studi-Islam-Tentang-Sunnah-Sebagai-Sumber-Agama-Islam
diakses pada Minggu, 24 April 2016 pukul 06.06 WIB
[8] http://teguhsantrigaul.blogspot.co.id/2014/09/as-sunah-sebagai-sumber-ajaran-islam.html di akses pada, jum’at, 22 April 2016 pukul: 03:59
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus