PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU
Kepada
seluruh pembaca yang budiman, mohon maaf apabila dalam artikel ini
terdapat kesalahan, juga diharapkan kepada para pembaca sekalian harap
teliti terlebih dahulu sebelum menjadikan artikel ini sebagai referensi
sehingga meminimalisir kesalahan di lain hari.
Jika ada kritik dan saran silahkan sampaikan dengan baik pada kolom komentar di bagian bawah artikel ini.
Saya ucapkan terimakasih atas kunjungannya.
Terakhir saya ingin mengutip kata dari Syaidina Ali bin Abi Thalib yang artinya "Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan pernah melihat siapa yang mengatakan"
Wassalam.
Dan untuk mendapat file makalah ini dalam bentuk .doc silakan download di bawah ini:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan perjuangan
negara Indonesia adalah "Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah ddarah Indonesia dan amuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan int melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Prinsip dasar
yang tam dipegang teguh untuk mencapai tujuan ini adalah dengan: me-nrusun
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu. Undang Undang Dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dan suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dan berdasar kepada pancasila. Dengan demikian Negara
Indonesia mempunyai fungsi dan sekaligus menjadi tujuannya yaitu: melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosoal.[1]
Dasar negara
Indonesia adalah Pancasila, tentunya akan sejalan dengan tujuan perjuangan
negara Indonesia di atas, oleh karena itu dalam makalah ini akan di bahasa
mengengai beberapa hal yaitu tentang: Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu, Ilmu dalam perspektif historis, Beberapa aspek penting dalam
ilmu pengetahuan, pilar-pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan, dan
prinsip-prinsip berfikir ilmiah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa maksud dari Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu ?
2.
Apa pengertian ilmu dalam
perspektif historis ?
3.
Apa saja aspek penting
dalam ilmu pengetahuan ?
4.
Apa saja pilar-pilar
penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan ?
5.
Apa saja prinsip-prinsip
berfikir ilmiah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan maksud
dari Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.
2.
Untuk menjelaskan pengertian
ilmu dalam perspektif historis.
3.
Untuk menjelaskan aspek
penting dalam ilmu pengetahuan.
4.
Untuk menjelaskan saja
pilar-pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan.
5.
Untuk menjelaskan saja
prinsip-prinsip berfikir ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila sebagai Dasar
Nilai Pengembangan Ilmu
Andaikan para
ilmuwan dalam pengembangan ilmu konsisten akan janji awalnya ditemukan ilmu,
yaitu untuk mencerdaskan manusia, memartabatkan manusia dan mensejahterakan
manusia, maka pengembangan ilmu yang didasarkan pada kaedah-kaedah keilmuannya
sendiri tak perlu menimbulkan ketegangan-ketegangan antara ilmu (teknologi) dan
masyarakat.
Fakta yang kita
saksikan saat ini ilmu-ilmu empiris mendapatkan tempatnya yang sentral dalam
kehidupan manusia karena dengan teknologi modern yang dikembangkannya dapat
memenuhi kebutuhan praktis hidup manusia. Ilmu-ilmu empiris tersebut tumbuh dan
berkembang dengan cepat melebihi ritme pertumbuhan dan perkembangan peradaban
manusia. Ironisnya tidak diimbangi kesiapan mentalitas sebagian masyarakat,
khususnya di Indonesia.
Teknologi telah
merambah berbagai bidang kehidupan manusia secara ekstensif dan mempengaruhi
sendi-sendi kehidupan manusia secara intensif, termasuk merubah pola pikir dan
budaya manusia, bahkan nyaris menggoyahkan eksistensi kodrati manusia sendiri
(Iriyanto, 2005). Misalnya, anak-anak sekarang dengan alat-alat permainan yang
serba teknologis seperti playstation, mereka sudah dapat terpenuhi hasrat
hakekat kodrat sosialnya hanya dengan memainkan alat permainan tersebut secara
sendirian. Mereka tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi teknologi
menjadi manusia individualis.Masih terdapat banyak persoalan akibat teknologi
yang dapat disaksikan, meskipun secara nyata manfaat teknologi tidak dapat
dipungkiri. Problematika keilmuan dalam era millenium ketiga ini tidak terlepas
dari sejarah perkembangan ilmu pada masa-masa sebelumnya. Karena itu untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu dikaji aspek kesejarahan dan
aspek-aspek lainnya terkait dengan ilmu dan teknologi. Dari sini,
Problematika
keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai bagi
pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus menggambarkan suatu sistem
filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang sudah
mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai
Pancasila.[2]
Adapun penjelasan
mengenai nilai dapat yaitu, nilai atau “value”
(bahasa Inggris) termasuk bidang kajian filsat. Persoalan-persoalan tentang
nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (axiologi, theory of value). Filsafat
sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam
ilmu filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan”
(Worth) atau kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya
suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.[3]
B. Ilmu dalam Perspektif
Historis
Ilmu pengetahuan
berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan menciptakan
jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, AbadPertengahan, Abad Modern, sampai
Abad Kontemporer.
Masa Yunani Kuno
(abad ke 6 SM – 6 M) saat ilmu pengetahuan lahir, kedudukan ilmu pengetahuan
identik dengan filsafat memiliki corak mitologis. Alam dengan berbagai
aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa ada peranan para dewa yang
merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimanapun corak mitologis
ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan,
untuk mengetahui adanya sesuatu yang esa, tetap, dan abadi, di balik yang
bhinneka, berubah dan sementara.
Memasuki Abad
Pertengahan (abad ke-5 M), pasca Aristoteles filsafat Yunani Kuno menjadi
ajaran praktis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri,
dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi
yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus
mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae).
Selanjutnya Abad
Modern (abad ke 18-19 M) dengan dipelopori oleh gerakan. Renaissance di abad ke
15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di abad ke-18, melalui
langkah-langkah revolusionernya filsafat memasuki tahap baru atau modern.
Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak Renaissance dan
Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei, Kepler, Descartes dan
Immanuel Kant, telah memberikan implikasi yang amat luas dan mendalam. Di satu
pihak otonomi beserta segala kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat
manusia, sedang di lain pihak manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke dunia
sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya yang semula
merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang semula menguasai
dan manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan oleh filsafat. Masing-masing
berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikiran sendiri (Koento
Wibisono, 1985)
Revolusi ilmu
pengetahuan memasuki Abad Kontemporer (abad ke-20-sekarang) berkat teori
relativitas Einsteinyang telah merombak filsafat
Newton (semula sudah mapan) di samping teori kuantumnya yang telah mengubah
persepsi dunia ilmu
tentang sifat-sifat dasar dan
perilaku materi sedemikian rupa sehingga para pakar dapat melanjutkan
penelitian-penelitiannya, dan berhasil mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti:
astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, hasilnya seperti yang dapat
dinikmati oleh manusia sekarang ini (Sutardjo,1982).
Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak
kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia.
Iptek kini telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga diri
(prestige) dan mitos, yang
akan menjamin survival suatu bangsa,
prasyarat (prerequisite)
untuk mencapai kemajuan (progress) dan
kedigdayaan (power) yang dibutuhkan
dalam hubungan antar sesama bangsa. Dalam kedudukannya yang substansif
tersebut, Iptek telah menyentuh semua segi dan sendi kehidupan secara
ekstensif, dan pada gilirannya mengubah budaya manusia secara intensif.
Fenomena perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini
sedang mengalami masa transisi simultan, yaitu:
1.
Masa transisi masyarakat
berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan budaya industri modern.
Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih oleh logos (akal pikir).
Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap sebagai
penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir dengan kekuatan penalarannya
yang handal dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan mengatur kehidupan.
Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja, kaedah-kaedah normatif yang
semula menjadi panutan,
bergeser mencari format baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat
yang berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat“sesama bus kota tidak
boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah
prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan
produktif-inovatif-kreatif.
2.
Masa transisi budaya
etnis-kedaerahan menuju budaya nasional
kebangsaan. Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara konvergen
menuju satu kesatuan pranata kebudayaan
demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang berwilayah dari
Sabang sampai Merauke. Penataan struktur
pemerintahan, sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral
secara intensif merupakan upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati
diri sebagai satu kesatuan bangsa.
3.
Masa transisi
budaya nasional -
kebangsaan menuju budaya global -
mondial. Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti
hak asasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan dalam
ikatan fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan ataupun keagamaan, kini
mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang lebih
konkrit dalam tataran operasional.
4.
Batas-batas sempit menjadi
terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana
digerakkan oleh paham post-modernism.
Implikasi globalisasi menunjukkan pula
berkembangnya suatu standarisasi yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang.
Negara atau pemerintahan di
manapun, terlepas dari
sistem ideologi atau
sistem sosial yang dimilikinya. Dipertanyakan apakah
hak-hak asasi dihormati, apakah demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan
dan keadilan dimiliki oleh setiap warganya, bagaimana lingkungan hidup
dikelola.
Nyatalah bahwa
implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks, karena masyarakat hidup dengan standar ganda. Di
satu pihak sementara orang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya lama yang
diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai
lahirnya budaya sandingan (sub-culture), sedang
di lain pihak
muncul tindakan-tindakan
yang bersifat melawan
terhadap perubahan-perubahan
yang dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan dari mereka yang merasa
dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu,
yang disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).[4]
C. Beberapa Aspek Penting
dalam Ilmu Pengetahuan
Melalui kajian
historis tersebut yang pada hakekatnya pemahaman tentang sejarah kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu
mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.
Aspek fenomenal
menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud / memanifestasikan dalam bentuk
masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam
kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaedah-kaedah ilmiah yang menurut
paradigma Merton disebutuniversalisme, komunalisme, dan skepsisme yang teratur
dan terarah. Sebagai proses, ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut
dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian,
eksperimen, ekspedisi, seminar, kongres. Sedangkan sebagai produk, ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit tadi berupa
teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana disebarluaskan melalui
karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada masyarakat dunia.
Aspek
struktural menunjukkan bahwa
ilmupengetahuan di dalamnya terdapat unsur- unsur sebagai berikut:
1.
Sasaran yang dijadikan
obyek untuk diketahui (Gegenstand);
2.
Obyek sasaran ini
terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal
titik henti. Suatu paradoks bahwa
ilmu pengetahuan yang
akan terus berkembang justru muncul permasalahan - permasalahan baru
yang mendorong untuk terus menerus mempertanyakannya.
3.
Ada alasan dan motivasi
mengapa gegenstand itu terus- menerus dipertanyakan.
4.
Jawaban-jawaban yang
diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento
Wibisono, 1985).
Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat mempercayai akan
kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat
diketahui, diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme ini, mereka selalu
berpetualang untuk melakukan penelitian secara kreatif dan inovatif.[5]
Sedangkan di dalam
Islam, ada 6 aspek penting dalam pendidikan yaitu:
1.
Aspek pendidikan ketuhanan, menjadi aspek pertama dan aspek dasar
pendidikan dalam Islam. Dengan mengenal Allah Swt. sebagai Tuhan dan Pencipta,
pribadi manusia dapat menyadari bahwa segala yang dipelajari adalah
ciptaan-Nya. Dengan bekal itu pula, dalam proses mempelajari ilmu pengetahuan
dan menguak fenoma alam, bukan kesombongan yang muncul dalam diri, melainkan
kesadaran akan kebesaran-Nya serta kedekatan kita dengan-Nya.
2.
Aspek pendidikan akhlak, termasuk dalam aspek penting pendidikan
dalam Islam. Kasus korupsi ataupun tindak kejahatan sosial yang terjadi
sekarang, Akhlak yang baik akan mencerminkan pribadi akan selalu melakukan
segala sesuatu dengan batas-batas yang sesuai ajaran Islam dan jauh dari
perbuatan yang merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang
salah satunya membentuk hubungan yang harmonis antara sesama. Tanpa akhlak,
ilmu pengetahuan dan potensi diri dapat digunakan untuk melakukan tindakan yang
merugikan masyarakat.
3.
Aspek pendidikan akal dan ilmu pengetahuan, menjadi aspek yang
tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Dalam proses belajar mengajar,
pendidik maupun anak didik berkutat dalam diskusi untuk memahami ilmu
pengetahuan. Aspek ini berhubungan dengan kesuksesan di dunia profesi. Dengan
akal dan ilmu pengetahuan, potensi diri untuk berkembang dan berprestasi dalam
dunia profesi tertentu dapat dicapai.
4.
Aspek pendidikan fisik, berhubungan dengan potensi jasmani. Dengan
fisik yang sehat, potensi diri untuk melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan
belajar mengajar dapat berjalan lancar. Adanya mata ajar olahraga, bahkan
kompetisi dalam bidang olahraga, menjadi salah satu media pemenuhan aspek ini.
5.
Aspek Pendidikan Kejiwaan, menjadi salah satu aspek yang harus
dipenuhi dalam pendidikan. Terdapat kata-kata bijak yang sangat familiar dan
menunjukkan pentingnya aspek pendidikan kejiwaan, yaitu, “Di dalam tubuh yang
kuat, terdapat jiwa yang sehat.” Tidak bisa dipungkiri bahwa pikiran positif
dan semangat muncul dari jiwa sehat yang dapat dipentuk dalam proses belajar
mengajar.
6.
Aspek pendidikan keindahan, tidak hanya terbatas pada sesuatu yang
enak untuk dilihat, tetapi aspek ini juga menjadi salah satu aspek dalam
pendidikan. Jika sahabat Abi Ummi lihat dalam Alquran yang merupakan sumber
berbagai ilmu bagi umat manusia, keindahan dalam penyampaiannya dapat kita
temukan dalam rima ayat-ayat dalam berbagai surat, seperti Al-Ikhlas, An-Nas,
dan Al-Falaq. Keindahan dalam berbahasa dan bertutur kata menjadi aspek yang
selalu ditunjukkan dalam penyampaian ilmu dari zaman Nabi Muhammad saw. hingga
saat ini.[6]
D. Pilar-Pilar Penyangga
bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan
Kekuatan bangunan
ilmu terletak pada
sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan.
Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta
prerequisite / saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada
persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
1.
Pilar ontologi (ontology)
Selalu
menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).
a.
Aspek kuantitas
: Apakah yang
ada itu tunggal,
dual atau plural (monisme, dualisme, pluralisme)
b.
Aspek kualitas (mutu,
sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme, teleologisme,
vitalisme dan organisme).
Pengalaman
ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar-dasar
teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan
multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan
kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misalnya masalah krisis moneter, tidak dapat
hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja.Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan
lainyang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, makaperlu bantuan ilmu lain
seperti politik, sosiologi.
2.
Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut
problematika tentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara memperoleh
kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem,
prosedur, danstrategi.
Pengalaman
epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita:
a.
sarana legitimasi
bagi ilmu / menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu;
b.
memberi kerangka acuan
metodologis pengembangan ilmu;
c.
mengembangkan ketrampilan
proses;
d.
mengembangkan daya kreatif
dan inovatif.
3.
Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai
(etis, moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau
pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar
dan arah pengembangan ilmu,
mengembangkan etos keilmuan seorang
profesional dan ilmuwan.[7]
E. Prinsip-Prinsip Berfikir
Ilmiah
1.
Obyektif : Cara
memandang masalah apa
adanya,terlepas dari faktor-faktor subyektif (misalnya : perasaan,
keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita)..
2.
Rasional : Menggunakan akal
sehat yang dapatdipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba
melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3.
Logis : Berpikir
dengan menggunakan asas logika /runtut / konsisten,
implikatif. Tidak mengandung
unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional,
begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4.
Metodologis : Selalu
menggunakan cara dan metode keilmuan
yang khas dalam
setiap berpikir dan bertindak (misalnya: induktif, dekutif,
sintesis, hermeneutik, intuitif).
5.
Sistematis : Setiap cara
berpikir dan bertindakmenggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas
dansaling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Problematika
keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai bagi
pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus menggambarkan suatu sistem
filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang sudah
mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai
Pancasila.
Ilmu pengetahuan
berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan menciptakan
jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, AbadPertengahan, Abad Modern, sampai
Abad Kontemporer.
Melalui kajian
historis tersebut yang pada hakekatnya pemahaman tentang sejarah kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu
mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.
Kekuatan bangunan
ilmu terletak pada
sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan
aksiologi.
Prinsip-Prinsip
Berfikir Ilmiah meliputi: Obyektif, Rasional, Logis, Metodologis, dan
Sistematis.
B. Saran
Makalah ini mungkin
sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi
penulis sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
H.A.W. Widjaja, “Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila”, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
http://abiummi.com/6-aspek-penting-pendidikan-dalam-islam/ diakses pada: Senin 10 Oktober 2016 pukul: 22.53
Kaelan, “Pendidikan
Pancasila” Yogyakarta: Paradigma, 2003.
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila,
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013.
[1] H.A.W. Widjaja, “Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila”, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h. 1
[2] Materi Ajar Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013, h.
111-112
[3] Kaelan, “Pendidikan Pancasila” (Yogyakarta:
Paradigma, 2003) h. 87
[4] Materi Ajar Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013, h.
112-120
[5] Materi Ajar Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013, h.
120-121
[6] http://abiummi.com/6-aspek-penting-pendidikan-dalam-islam/
diakses pada: Senin 10 Oktober 2016 pukul: 22.53
[7] Materi Ajar Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013, h.
123-124
[8] Materi Ajar Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013, h. 125
Komentar
Posting Komentar